Perubahan signifikan elektabilitas pasangan kandidat pada Pilpres 2019 bisa terjadi jika ada tekanan eksternal yang tak bisa diatasi atau kesalahan fatal dari petahana yang dieksploitasi penantang.
JAKARTA, KOMPAS - Enam bulan menjelang Pemilihan Presiden 2019, peta dukungan untuk dua pasang kandidat yang ikut kontestasi, yaitu Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, semakin jelas terbaca. Meski demikian, waktu kampanye yang masih akan berlangsung hingga 13 April 2019, sejumlah perubahan masih bisa terjadi.
Dari hasil survei Litbang Kompas pada 24 September-5 Oktober 2018 dengan 1.200 responden, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf adalah 52,6 persen, sedangkan elektabilitas Prabowo-Sandiaga 32,7 persen.
Dengan mempertimbangkan sejumlah faktor, perubahan elektabilitas kedua pasang kandidat masih bisa terjadi hingga pemungutan suara pada 17 April 2019. Faktor itu misalnya margin of error dalam survei ini yang besarnya +/- 2,8 persen, adanya 14,7 persen responden yang merahasiakan atau belum menentukan pilihan, serta adanya pemilih di tiap pasang kandidat yang berpotensi mengubah pilihannya.
Pengajar Departemen Politik Universitas Indonesia Panji Anugrah Permana, Selasa (23/10/2018), saat dihubungi dari Jakarta, menuturkan, ada dua hal yang berpotensi mengubah elektabilitas kedua pasang kandidat secara amat signifikan. Dua hal itu adalah tekanan ekonomi global yang sulit diatasi pemerintah, atau ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang dianggap tidak berpihak ke masyarakat luas dan kemudian isunya dimanfaatkan secara optimal oleh pasangan Prabowo-Sandi.
Panji mencontohkan kasus pemilu terakhir di Jerman. Raihan suara CDU (The Christian Democratic Union), partai pemerintah di Jerman, turun karena pemilihnya beralih ke partai sayap kanan, AfD (Alternative for Germany). Dalam kasus itu, kebijakan pemerintah yang membuka pintu terhadap imigran bisa dieksploitasi optimal oleh AfD.
”Terpilihnya Donald Trump (dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2016) juga begitu. Bukan karena publik suka kepada Trump, melainkan lebih karena mereka tidak menyukai kebijakan partai politik yang sedang berkuasa, Demokrat,” kata Panji.
Terkait hal itu, Panji memperkirakan pasangan Prabowo-Sandi akan berupaya membangun ”perangkap” politik yang canggih untuk bisa memperkecil perbedaan elektabilitas. Namun, dia juga menilai kedua pasangan calon akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan politik. ” Enam bulan ke depan masih panjang. Siapa yang bisa menghindari jebakan blunder bisa berhasil. Blunder atau kejutan eksternal yang dipicu ekonomi global bisa saja berpengaruh terhadap elektabilitas,” kata Panji.
Airlangga Pribadi Kusman, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan, setelah hampir satu bulan kampanye, ada sejumlah hal yang perlu dievaluasi dari strategi kedua pasang kandidat.
Untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf, misalnya, menurut Airlangga, masih terlalu mengandalkan kekuatan partai politik dan belum mengoptimalkan sukarelawan. Padahal, para kader parpol juga disibukkan oleh kampanye pemilu legislatif.
Di sisi lain, kata Airlangga, kesalahan atau blunder politik yang tidak perlu masih kerap dilakukan tim Prabowo-Sandi. Hal itu, antara lain, terlihat dalam kasus berita bohong yang dibuat Ratna Sarumpaet.
Target
Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf menargetkan elektabilitas pasangan itu mencapai 70 persen saat pemungutan suara. Guna mencapai target itu, Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Arsul Sani, mengatakan, pihaknya telah menyusun langkah untuk menandingi pola kampanye Prabowo-Sandi.
”Saat ini kami merasakan pihak lawan menggunakan pola kampanye Presiden Trump. Kami menghadapi situasi di mana tidak bisa mendapati kebijakan alternatif dari lawan. Yang kami dapatkan justru negativisme, blackisme, dan hoaxisme terhadap upaya yang dilakukan pasangan calon kami,” kata Arsul.
Arsul meyakini, pada suatu titik masyarakat Indonesia akan lelah dan bosan karena dicekoki oleh hoaks dan ujaran kebencian. ”Oleh karena itu, kami tetap memakai kampanye yang berbasiskan pada data dan fakta serta kinerja Pak Jokowi,” ujarnya.
Sementara itu, Sudirman Said dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi mengatakan, hal yang wajar jika elektabilitas Prabowo-Sandi yang berstatus penantang masih di bawah Jokowi-Ma’ruf. ”Ketertinggalan itu malah baik, bisa memacu semangat kita,” ujarnya.
Koordinator Juru Bicara Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, optimistis bahwa menjelang akhir tahun nanti, selisih elektabilitas Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf akan makin menipis. Guna mewujudkan hal itu, Prabowo-Sandi akan lebih memaksimalkan pendekatan langsung kepada masyarakat untuk mendengarkan aspirasi mereka. ”Dari banyak rakyat yang telah dikunjungi Prabowo-Sandiaga, keinginan untuk menghadirkan perubahan terasa sangat kuat,” ujarnya.