JAKARTA, KOMPAS - Merebut suara kalangan menengah perkotaan dan milenial menjadi kunci kemenangan masing-masing pasangan calon dalam Pemilihan Presiden 2019. Namun, perlu energi lebih bagi masing-masing pasangan calon untuk memastikan dukungan mereka sebab, kalangan menengah perkotaan dan generasi milenial adalah swing voters yang baru akan menentukan pilihan jelang pemungutan suara.
Peneliti Departemen Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, belum ada narasi yang kuat dari masing-masing pasangan calon (paslon) baik Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk merebut simpati kalangan milenial (17-35 tahun) dan kelas menengah perkotaan. Hal ini yang menyebabkan adanya stagnansi angka elektabilitas kedua paslon selama beberapa periode terakhir.
Arya mengatakan, elektabilitas Presiden Jokowi tumbuh kecil sejak 2017, ketika berada pada angka sekitar 50 persen. Sedangkan pada 2018, 52 persen. Hal yang sama juga terjadi kepada Prabowo.
“Stagnansi ini dapat terjadi karena kalangan kelas menengah perkotaan dan milenial masih belum menentukan pilihan. Mereka yang tergolong terdidik ini masih dalam kondisi wait and see,” kata Arya di Jakarta, Rabu (24/10/2018) sore.
Mereka yang tergolong terdidik ini masih dalam kondisi wait and see
Sepanjang 2018 ini, perolehan elektabilitas kedua paslon cenderung stagnan dengan sejumlah perubahan yang tidak signifikan.
Pada Mei 2018, survei Charta Politika menunjukkan keunggulan Joko Widodo (58 persen) dibandingkan Prabowo Subianto (30 persen). Pada Agustus 2018, survei LSI-Denny JA mengungkapkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sebesar 52,2 persen; Prabowo sebesar 29,5 persen. Pada September 2018, Y-Publica merilis hasil surveinya dengan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sebesar 52,7 persen dan Prabowo 28,6 persen. Pada awal Oktober 2018, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sebesar 60,4 persen; dan Prabowo-Sandiaga 29,8 persen.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas terhadap 1.200 responden pada 24 September–5 Oktober 2018, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf adalah 52,6 persen, sedangkan elektabilitas Prabowo-Sandiaga 32,7 persen. Sementara itu, sebesar 14,7 persen responden mengaku belum menentukan atau merahasiakan pilihannya.
Arya menduga, sebagian besar responden yang belum menentukan pilihan atau merahasiakan tersebut berasal dari kedua segemen khusus di atas, yakni kalangan menengah perkotaan dan milenial. “Mereka ini menunggu momentum atau peristiwa politik yang penting untuk menentukan pilihan mereka; termasuk debat publik dan pemaparan program,” kata Arya.
Untuk itu, Arya mengatakan, kedua tim sukses harus memiliki tenaga yang lebih untuk dapat terus menyosialisasikan paslon masing-masing hingga jelang pemungutan suara. “Kali ini masa kampanyenya cukup panjang, masih ada sekitar enam bulan lagi. Para paslon butuh energi yang panjang,” kata Arya.
Peneliti Populi Center Jefri Adriansyah juga menyatakan hal yang senada. Kedua paslon belum dapat merebut atau menemukan basis suara baru selain yang memberikan dukungan kepada masing-masing paslon Pilpres 2014.
“Tidak ada basis pendukung yang bertambah atau berkurang signifikan sejak Pilpres 2014 dimana figur utama yang bertarung saat itu sama dengan pemilu mendatang,” kata Jefri.
Jefri mengatakan, untuk meyakinkan kalangan terdidik ini, pasangan petahana harus dapat menjawab atau meyakinkan masyarakat bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini dapat diterima di tengah tekanan-tekanan eksternal. Sebab, pasangan penantang akan semakin mengeksploitasi berbagai isu ekonomi seperti melemahnya nilai tukar rupiah dan rasio hutang Indonesia.
Di sisi lain, kubu Prabowo-Sandiaga harus dapat menghindari blunder-blunder politik seperti pada kasus hoaks Ratna Sarumpaet dan komentar Sandiaga Uno kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait pengurusan surat izin penangkapan ikan.
Kerja lebih keras
Meski demikian, Prabowo-Sandi dituntut lebih keras untuk mendapatkan suara swing voters. Berdasarkan hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas, saat ini, dari total pemilih yang belum bersikap; 24,3 persen cenderung memilih Jokowi-Ma’ruf. Sementara 13,6 persen cenderung memilih pasangan Prabowo-Sandi.
Peluang Prabowo-Sandi menguasai swing voters di beberapa wilayah tampak terbuka lebar.
Berdasarkan hasil survei, sejumlah wilayah yang pernah dikuasai Prabowo dalam Pilpres 2014, seperti Aceh, Sumatera Barat, Gorontalo, dan Banten, masih menyisakan pemilih bimbang di atas 20 persen. Swing voters juga masih relatif tinggi di wilayah yang dikuasai pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014, seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat (Kompas, 24/10/2018).
Tidak hanya harus merebut simpati dua segmen khusus tersebut, tugas berat yang dihadapi oleh kedua paslon adalah bagaimana mengubah dukungan dari dua segmen khusus tersebut menjadi suara yang berarti dalam pemilu. Dukungan tidak berarti apabila calon pemilih tidak memberikan suaranya di tempat pemungutan suara.
Arya mengatakan, ada kecenderungan bahwa masyarakat kelas menengah tergolong lebih rendah partisipasinya dalam pemilu.
“Tantangan mereka setelah merebut suara segmen milenial dan middle-class ini, adalah mengajak mereka datang ke TPS,” kata Arya.