Pancasila dan Produk Revolusi Industri Gelombang Keempat
Satu bulan yang lalu, tepatnya Kamis (20/9/2018), tercatat setidaknya ada 200 inovator dari berbagai latar belakang berkumpul di Jakarta dalam gerakan Inovator 4.0 Indonesia. Mereka hendak menyiapkan bagaimana Indonesia bisa menjadi salah satu negara terdepan dalam revolusi industri gelombang keempat.
Revolusi industri gelombang keempat adalah sebuah era lanjutan dari otomatisasi di era revolusi industri ketiga, yang pada era sebelumnya ditandai dengan temuan listrik dan mesin uap. Pada era 4.0 ini, penggunaan mahadata (big data) dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) cenderung menjadi semakin jamak.
Sejumlah tokoh hadir menyesaki ruangan tempat digelarnya deklarasi. Sebagian di antara mereka adalah Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis dan pianis Ananda Sukarlan yang turut memainkan salah satu komposisinya.
Mereka dikumpulkan oleh politikus PDI-P lulusan Universitas Cambridge, Inggris, Budiman Sudjatmiko, yang juga Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia. Malam itu Budiman tampil berapi-api menjelaskan latar belakang deklarasi dan juga membacakan pernyataan resmi terkait gerakan tersebut.
Para inovator itu terdiri atas berbagai macam latar belakang: ilmuwan teknologi, pakar medis, pendiri startup, pakar hukum, praktisi pendidikan.
Mereka terdiri atas tiga jenis latar belakang dan ketertarikan bidang. Masing-masing ketertarikan pada bidang pencerdasan masyarakat dengan inovator yang bergerak sebagai pejabat publik atau politisi, pendidik, budayawan, advokat, dan wirausaha sosial.
Kedua, ketertarikan untuk mencerdaskan alat, yang terdiri dari peneliti kecerdasan buatan, ilmuwan data, pakar blockchain, ahli internet of things, dan sebagainya. Ketiga, inovator dengan ketertarikan untuk menyehatkan dan mencerdaskan individu, seperti dokter, peneliti rekayasa genetika, psikolog, dan ilmuwan saraf otak.
Kategori pertama menyediakan ekosistem terkait revolusi industri 4.0 dalam bentuk model bisnis, kebijakan, aturan, kurikulum, dan sebagainya. Sementara kelompok kedua dan ketiga melakukan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam konteks revolusi industri 4.0 tersebut.
Sejumlah pakar di bidang masing-masing dilibatkan dalam diskusi yang terbagi jadi dua sesi. Sesi pertama diisi diskusi bersama Sabda PS yang merupakan pendiri Zenius Education dan dokter Mariya Mubarika yang tengah menggagas pergantian RUU Pendidikan Kedokteran. Sesi kedua diisi advokat Dini Purwono yang mengusung ide open judiciary dan Cyril Raoul Hakim yang membahas sains olahraga.
Selain mereka, bergabung pula Muhammad Najib yang tengah berada di Universitas Oxford, Inggris, membawakan topik tentang kecerdasan artifisial. Seluruh sesi dikaitkan dengan konteks revolusi industri 4.0 dengan Budiman menjadi pemantik diskusinya.
Sejumlah penanda ia garis bawahi terkait revolusi industri 4.0 yang kini mulai berlaku. Misalnya bahwa ini adalah sebuah era di mana perkembangan alat, atau teknologi, menjadi lebih cepat dibandingkan perkembangan ide.
Pada bagian awal, Budiman mengajukan sejumlah narasi teologis, ideologis, dan teknologis terkait gerakan tersebut. Ia, misalnya, menyebut ekspresi teknologi sejumlah ideologi besar di sejumlah negara yang menghasilkan teknologi tertentu untuk menunjang peradaban manusia.
Di Amerika Serikat, misalnya, liberalisme melahirkan perusahaan-perusahaan teknologi di Silicon Valley. Sosialisme di China menghasilkan pelantar perdagangan elektronik Alibaba. ”Sosial demokrat Inggris hasilkan Deep Mind (perusahaan AI), Pancasila lahirkan apa?” tanya Budiman.
Pertanyaan itu kemudian mulai dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan lain dalam sesi diskusi yang mengundang banyak pertanyaan pula dari hadirin.
Sabda, misalnya, melihat sistem pendidikan saat ini masih dijalankan dengan logika revolusi industri 2.0, yakni orang-orang dididik untuk menghasilkan lulusan dalam jumlah banyak secara konstan, sesuai kebutuhan industri. Ia menggarisbawahi, jenis sekolah tersebut melihat sekolah sebagai tempat utama mendapatkan informasi.
Padahal, saat ini, ketika informasi tersedia dengan sangat melimpah, yang lebih dibutuhkan justru cara berpikir kritis dan bersikap rasional. Kemampuan ini penting dimiliki untuk menghadapi keberadaan konten-konten informasi yang cenderung menyesatkan, palsu, dan tidak benar.
Menurut Sabda, pada saat ini, ketimbang membuat bahan ajar secara sendiri-sendiri, akan jauh lebih efektif jika mengumpulkan ratusan pakar guna menghasilkan bahan ajar untuk kepentingan bersama. Ia menyebut, hal ini bisa mengatasi persoalan ketidaksetaraan bahan ajar pendidikan.
Untuk pengoperasiannya, bahan ajar tersebut bisa saja hanya diampu oleh puluhan guru, tetapi mampu menjangkau puluhan juta siswa. Perpaduan mesin dan manusia dalam jejaring teknologi komputasi yang menjadi logika revolusi industri 4.0 menjadi landasannya.
Pendidikan dengan model seperti itu idealnya dipraktikkan pada saat ini sebagai cara untuk beradaptasi secara kultural dengan dunia modern. Pasalnya, lanjut Sabda, jika mengandalkan respons biologis dalam menghadapi segala macam perubahan zaman, waktu yang dibutuhkan bakal menjadi jauh lebih lama.
”(Kecuali dengan) Neuroscience (adaptasi) bisa lebih cepat,” ujar Sabda. Neuroscience yang merupakan studi ilmiah terkait hubungan antara otak, kognisi, dan perilaku belakangan diintegrasikan dengan pemodelan komputer untuk pemahaman yang lebih komprehensif.
Mariya Mubarika, yang belakangan aktif dalam gerakan NKRI Sehat, memberikan pandangannya terkait disiplin bioinformatika. Menurut dia, perkembangan pengetahuan dalam ilmu yang mempertemukan disiplin biologi molekuler dan teknologi itu salah satunya berwujud dengan kemampuan manusia untuk melakukan penyuntingan genetik (genome editing).
Menurut Mariya, kemampuan itu memberikan manusia kemungkinan untuk memperbaiki generasi tatkala keturunannya masih berada dalam kandungan. Hal ini dilakukan dengan penyuntingan gen seseorang sebelum ia dilahirkan.
Kemampuan ini meninggalkan pertanyaan terkait etik. Misalnya saja ancaman terjadinya segregasi fisik menyusul kemungkinan lebih besar yang tersedia bagi orang-orang kelas atas untuk mengakses kemajuan itu dan merekayasa keunggulan genetik serta fisik keturunan mereka.
Eksploitasi dan kolonialisme
Sementara Najib memaparkan tentang ancaman eksploitasi atau bahkan kolonialisme oleh bangsa-bangsa yang menguasai teknologi dan data kepada negara-negara yang mengabaikan hal-hal tersebut. Ia mencontohkan, China dengan jumlah mahadata yang sangat banyak menerapkan ”sistem tertutup” dengan pelantar teknologi seperti layanan mesin pencari yang dimiliki sendiri dengan keberadaan data tetap di dalam negeri.
Hal ini, ujar Najib, menimbulkan positive feedback loop terkait kebutuhan data untuk optimalisasi layanan dan operasionalisasi kecerdasan buatan sebagai landasan revolusi industri 4.0 yang ideal. ”(Sementara) Di Indonesia hanya users. Data yang berharga keluar (berakhir) di Silicon Valley, atau ke Jepang dan Korea,” ujar Najib.
Ia menambahkan, dengan proyeksi yang lebih menggentarkan, misalnya ancaman yang mengintai Indonesia untuk menjadi bangsa yang tidak relevan. Dilupakan. Useless nation.
Ancaman itu, ucap Najib, mesti dihadapi bersama-sama saat ini juga. Tidak bisa lagi menunggu dan menganggap ancaman tersebut masih jauh.
Pasalnya, jika anggapan itu dilestarikan, hal ini cenderung sama tatkala sebagian bangsa-bangsa di Asia menganggap ringan temuan mesin uap di era perdana revolusi industri. ”(Saat itu sebagian bangsa beranggapan) Buat apa mikir (tentang penemuan) kapal uap. Ternyata setelah beberapa dekade, (sebagian bangsa itu) menjadi negara koloni Inggris,” ujarnya.
Budiman pada bagian lain paparannya mengatakan, salah satu yang mendesak dalam merespons hal tersebut adalah perlunya dihasilkan RUU Pengelolaan Pemerintahan Berbasis Kecerdasan Buatan. Salah satu muaranya adalah pembentukan kementerian atau unit kerja pengelolaan pemerintahan berbasis kecerdasan buatan.
Di dalamnya terdapat sumbangsih Kementerian Ristek Dikti, Kementerian Kominfo, Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Keuangan. Sejumlah hal yang mendesak disikapi adalah melakukan alih transisi terkait pekerjaan-pekerjaan repetitif yang akan diambil alih oleh robot atau kecerdasan buatan.
Salah satu alasan mengapa kelompok-kelompok masyarakat dapat melakukan hal-hal yang membawa bencana adalah karena mereka gagal mengantisipasi masalah sebelum benar-benar datang.
Menurut Budiman, pada kelompok pekerja ini, mesti ada jaminan atas hak untuk hidup layak atas pekerjaan rutin yang hilang karena dampak otomatisasi atau pengembangannya dalam konteks revolusi industri 4.0 ini. Pengalihan dilakukan untuk melakukan kerja-kerja kreatif alih-alih pada pekerjaan rutin yang berulang dan sudah diambil alih oleh robot.
Antisipasi memang harus dilakukan untuk menghadapi tantangan, sebagian orang menganggapnya ancaman, di depan. Hal ini sekalipun sebagai bangsa, kita cenderung belum memiliki pengalaman mengenai hal-hal tersebut.
Akan tetapi, justru pada hal inilah kita mesti menaruh waspada. Seperti ditulis Jared Diamond dalam bukunya yang berjudul Collapse: How Societies Choose to Fail or Suceed (2005), salah satu alasan mengapa kelompok-kelompok masyarakat dapat melakukan hal-hal yang membawa bencana adalah karena mereka gagal mengantisipasi masalah sebelum benar-benar datang. Ini terjadi, mungkin, karena sebelumnya mereka tidak pernah mengalami masalah serupa dan bisa jadi tidak peka terhadap kemungkinan bakal terjadinya persoalan tersebut.