Pemilu Sebabkan Stres pada Orang Dewasa Muda
Pemilihan Umum Amerika Serikat 2016 menjadi pelajaran penting bagi Indonesia yang akan melaksanakan pemilu serentak pada 17 April 2019. Hasil penelitian menunjukkan, Pemilu AS itu menyebabkan stres pada kalangan dewasa muda AS yang menyerupai gangguan stres pascatrauma.
Penelitian berjudul ”Gangguan Klinis Terkait Kegiatan pada Mahasiswa: Respons terhadap Pemilihan Presiden AS 2016” itu dimuat dalam Journal of American College Health 22 Oktober 2018 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com.
Pemilu 8 November 2016 di AS berlangsung keras dan dramatis yang hampir membelah rakyat AS. Pemilu AS itu menghasilkan kemenangan Presiden Donald Trump dari Partai Republik yang mengalahkan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.
Penelitian dilakukan tim ilmuwan Universitas Negeri Arizona, AS, seperti Melissa Hagan, Linda Luecken, dan Leah Doane, serta Michael Sladek dari Universitas Harvard.
Pada bulan-bulan setelah Pemilu AS 8 November 2016, Hagan dan rekan-rekannya mengetahui, banyak dari mahasiswa mereka sangat terpengaruh oleh pemilu. Beberapa survei pada saat itu menegaskan bahwa pemilu AS itu merupakan sumber stres bagi orang-orang di seluruh AS. Namun, yang kurang dari survei itu adalah studi tentang seberapa sering stres itu tumbuh begitu kuat sehingga menghalangi kehidupan orang-orang, mengganggu hal-hal seperti pekerjaan dan sekolah.
Dalam abstrak disebutkan, penelitian dilakukan karena mahasiswa telah menyebutkan pemilihan presiden AS 2016 sebagai sumber stres yang signifikan. Studi saat ini memeriksa prevalensi dan korelasi demografis dari penghindaran dan gangguan klinis yang signifikan di antara mahasiswa perguruan tinggi dua-tiga bulan setelah pemilu.
Peserta penelitian adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Negeri Arizona dengan jumlah sampel 769 orang berusia rata-rata 19 tahun. Sebanyak 48,2 persen responden perempuan dan 58,4 persen berkulit putih. Mereka disurvei pada Januari dan Februari 2017.
Metode yang digunakan adalah peserta menyelesaikan pengukuran yang divalidasi dari gejala gangguan terkait kegiatan yang signifikan secara klinis, misalnya pikiran yang mengganggu atau penghindaran. Responden juga menjawab pertanyaan demografis.
Hasilnya, satu dari empat siswa memenuhi kriteria untuk gejala klinis yang signifikan terkait dengan pemilu. ”Apa yang membuat kami tertarik untuk meneliti adalah apakah pemilu untuk beberapa orang merupakan pengalaman traumatis? Kami menemukan bahwa stres itu terjadi pada 25 persen dari orang dewasa muda,” kata Melissa Hagan.
Sebanyak 25 persen siswa yang disurvei melintasi ambang itu menunjukkan tingkat stres yang secara klinis signifikan. Hagan dan rekan-rekannya juga menemukan dampak yang sangat kuat pada kelompok-kelompok tertentu. Mahasiswa kulit hitam dan Hispanik nonkulit putih lebih tinggi skor stresnya daripada teman sekelas berkulit putih.
Jender, afiliasi politik, dan agama memainkan peran besar sebagai penyebab stres. Perempuan mencetak skor stres lebih tinggi sekitar 45 persen daripada laki-laki. Mahasiswa yang berafiliasi ke Partai Demokrat mencetak skor stres dua setengah kali lebih tinggi daripada mahasiswa yang berafiliasi ke Partai Republik. Mahasiswa non-Kristen juga sangat terpengaruh dengan pemilu.
Jadi, apa yang membuat pemilihan ini begitu menegangkan? Salah satu faktor yang dipercaya para peneliti adalah kejutan ketika Donald Trump terpilih sebagai presiden AS. Percakapan bernada memecah belah selama musim pemilu mungkin telah memainkan peran juga dalam menyebabkan stres.
”Ada banyak wacana selama pemilu seputar ras, identitas, dan apa yang membuat orang Amerika bernilai. Saya pikir itu benar-benar meningkatkan stres bagi banyak orang,” kata Hagan.
Di Indonesia, stres karena pemilu juga terjadi pada musim Pemilu 2014 dengan berbagai variasi kasus. Namun, dari pemberitaan di harian Kompas, umumnya orang yang stres karena pemilu tidak mendatangi psikolog atau diteliti dengan kaidah ilmiah.
Harian Kompas, 12 April 2014 di halaman 5, menampilkan foto Witarsa Winata (33), suami calon anggota legislatif (caleg) yang juga kader Partai Demokrat Jawa Barat, duduk menunduk saat datang di Pondok Al-Busthomi milik Ujang Busthomi di Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu, Cirebon, Jawa Barat.
Witarsa Winata menghabiskan Rp 250 juta untuk mengusung istrinya, Nur Asiyah Jamil (35), dalam Pemilu 2014. Istrinya maju sebagai caleg untuk DPRD Jawa Barat di Daerah Pemilihan Kota/Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Nur Aisyah tidak terpilih dalam Pemilu 2014.
Ketika wartawati Kompas, Rini Kustiasih, datang, Ujang Busthomi sudah didatangi tujuh caleg yang meminta bantuan agar didoakan dan ditenangkan pikirannya. Dari tujuh caleg, lima orang dari Partai Demokrat, satu dari Golkar, dan satu lagi dari Hanura. Mereka adalah caleg untuk DPRD kabupaten dan provinsi di dapil Cirebon dan Indramayu. ”Setelah pengumuman hasil pemilu, mungkin makin banyak caleg yang ingin ditenangkan pikirannya,” kata Busthomi. Pada 2009, ia merawat 67 caleg depresi.
Harian Kompas, 12 April 2014 di halaman 25, juga memberitakan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Tangerang, Banten, mendapatkan informasi adanya kasus dugaan percobaan bunuh diri simpatisan atas kekalahan caleg yang dijagokan. Farid (19), warga Kampung Cisauk Kaler, RT 001 RW 004, Desa Situ Gadung, Pagedangan, Kabupaten Tangerang, nyaris tewas bunuh diri.
Kejadian itu berawal ketika Farid kecewa setelah mengetahui perolehan suara AG, salah seorang caleg dari Partai Persatuan Pembangunan untuk DPRD Banten, tidak mencukupi raihan suara yang dipersyaratkan. Calon yang dijagokannya itu kalah di tempat pemungutan suara, tempat dirinya menyalurkan hak suara. Perasaannya semakin tersiksa setelah teman-teman selalu mengolek-olok korban setiap kali bertemu dengannya. Dengan perasaan malu, korban memilih masuk dan mengurung diri di rumah.
Harian Kompas, 15 April 2014 di halaman 1 dan 4, memberitakan puluhan caleg yang gagal terpilih sebagai wakil rakyat dari beberapa daerah mendapat penanganan di Pondok Pesantren Dzikrussyifa Asma Berojomusti di Desa Sendangagung, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Pondok pesantren ini juga membantu menangani gangguan jiwa dan rehabilitasi pencandu narkoba.
Dua tempat rehabilitasi yang terletak di Dusun Sekanor dan Dusun Kimas itu ramai dikunjungi calon wakil rakyat yang gagal. Sejak pencoblosan dari 9 April 2014 hingga 14 April 2014 sudah 51 calon wakil rakyat yang ditangani karena stres dan depresi akibat gagal terpilih sebagai anggota legislatif ataupun Dewan Perwakilan Daerah. Bahkan, sebelum pencoblosan sudah ada tiga caleg yang harus direhabilitasi.
Apa yang telah terjadi selama Pemilu 2014 dan Pemilu AS 2016 itu tampaknya akan serupa terjadi selama kampanye menjelang pencoblosan 17 April 2019. Semua pihak, baik calon presiden/wakil presiden, partai politik, maupun para pendukung, dapat menahan diri agar tidak mengulang peristiwa di AS.
Jadi, siap-siaplah menghadapi stres karena Pemilu 2019.