JAKARTA, KOMPAS – Pengendalian biaya jaminan kesehatan semestinya ditangani holistik baik pada upaya pengobatan maupun pencegahan penyakit. Dalam jangka pendek, pembenahan regulasi dan langkah-langkah untuk mengurangi defisit masih dilakukan.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Selasa (23/10/2018) di Jakarta mengatakan, Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) tengah meninjau kembali regulasi-regulasi yang ada setelah ada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam perpres ini, diatur kontribusi cukai rokok bagian hak daerah provinsi/kabupaten/kota untuk membantu pembayaran layanan kesehatan. Besaran kontribusi itu adalah 75 persen dari separuh (50 persen) realisasi penerimaan pajak rokok bagian daerah.
“Kami sedang perbaiki dan melihat lagi regulasi-regulasi yang kita buat, baik di Kementerian Kesehatan maupun BPJS (Kesehatan),” tuturnya seusai menyampaikan keterangan pers terkait 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK di Kompleks Sekretariat Negara, Jakarta.
Perdirjampelkes
Salah satu pengaturan yang menimbulkan kontroversi adalah pembatasan manfaat bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat terutama untuk pelayanan katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik.
Namun, Mahkamah Agung membatalkan tiga peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan. Ketiga aturan tersebut adalah Perdirjampelkes BPJS Kesehatan Nomor 2 yang mengatur penjaminan layanan katarak, Nomor 3 yang mengatur penjaminan persalinan dengan bayi lahir sehat, dan Nomor 5 tentang penjaminan pelayanan rehabilitasi medik.
Perhimpunan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) mengajukan uji materi perdirjampelkes tersebut. Sebab, pengaturan ini dinilai berpotensi merugikan pasien, dokter, dan fasilitas kesehatan.
Kini, pembatasan tersebut tak berlaku lagi. Menkes mengatakan telah mendengar putusan MA ini kendati belum menerima salinan putusan secara resmi. Kendati demikian, pembenahan regulasi tetap dikerjakan.
Awalnya, Perdirjampelkes tersebut diterbitkan dengan harapan bisa mengendalikan pembiayaan yang harus dikeluarkan BPJS Kesehatan. Sebab, klaim operasi katarak pada 2017 mencapai Rp 2,65 triliun dari 376.527 kasus, klaim bayi baru lahir sehat Rp 1,17 triliun karena unit cost bayi baru lahir sehat Rp 3,8 juta, dan klaim rehabilitasi medik dan fisioterapi sebesar Rp 965 miliar.
Sejauh ini, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. Dalam perhitungan BPJS Kesehatan, kekurangan dana jaminan kesehatan nasional-kartu Indonesia sehat (JKN-KIS) tahun 2018 mencapai Rp 16,5 triliun. Jumlah ini terdiri atas defisit tahun 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan defisit tahun 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.
Namun, hasil penghitungan arus kas oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit dana JKN sebesar Rp 10,9 triliun saja.
Untuk menutup defisit, pemerintah mengalokasikan anggaran tambahan Rp 4,9 triliun. Alokasi BPJS juga didukung dari bagian cukai rokok. Selain itu, Menkes menambahkan, dugaan kecurangan dalam klaim BPJS dan jebakan moral terhadap peserta BPJS Kesehatan akan diatasi. Harapannya, pembiayaan BPJS Kesehatan bisa semakin terkendali.
Menyeluruh
Adapun dalam jangka panjang, pengendalian pembiayaan BPJS Kesehatan harus dilakukan secara holistik dari semua sektor. Sebab, mendorong pola hidup sehat berarti mengubah perilaku. Kemenkes misalnya menerapkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), tetapi masyarakat perlu teredukasi baik, bisa mengakses air bersih dan hidup di lingkungan sehat, dan lainnya.
“Saya bisa saja memberi obat cacing, tetapi ketika Kemendes (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi) membangun MCK dan fasilitas air bersih, sanitasi tersedia. Selain itu, Kementerian Agama bisa membantu mengurangi perkawinan dini yang kerap mengakibatkan stunting,” tutur Nila dalam paparannya.
Defisit dan keterlambatan pembayaran biaya operasional rumah sakit dari BPJS Kesehatan pun menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Dalam pembukaan Kongres XIV Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) di Jakarta, Rabu (17/10/2018), Presiden meminta hal tersebut tak terjadi lagi. BPJS Kesehatan diharap menyiapkan manajemen yang lebih baik untuk mengelola pembayaran tagihan dari rumah-rumah sakit.
“Kok enak banget. Kalau kurang, minta. Seharusnya ada manajemen sistem yang jelas sehingga rumah sakit mendapatkan kepastian pembayaran,” tutur Presiden saat itu.
Defisit dan keterlambatan pembayaran, lanjut Presiden, adalah masalah yang terjadi sejak tiga tahun lalu. Presiden memaklumi bahwa manajemen BPJS Kesehatan tak mudah karena ada ribuan rumah sakit di Indonesia dan tersebar di 17.000 pulau, 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Meski begitu, Presiden mengatakan sering memarahi Dirut BPJS Kesehatan dari dalam hati, bahwa ini masalah manajemen negara yang memang tak mudah di negara sebesar Indonesia. Namun, sesungguhnya bila sistem pengelolaan yang dibangun benar, masalah pembayaran rumah sakit bisa ditangani dengan mudah.