JAKARTA, KOMPAS — Penurunan luas baku sawah dari 7,75 juta hektar menjadi 7,1 juta hektar selama 2013-2018 dinilai perlu disikapi pemerintah secara serius. Sebab, tekanan terhadap lahan bakal semakin kuat di tengah pertumbuhan penduduk dan industri, sementara kebutuhan pangan terus bertambah.
Data luas baku sawah merupakan salah satu poin yang diteliti oleh pemerintah terkait data pertanian. Selain luas baku sawah, pemerintah menyampaikan data luas panen, produksi padi, dan rata-rata konsumsi beras per kapita, Senin (22/10/2018).
Penelitian yang melibatkan sejumlah lembaga dan kementerian itu menghasilkan proyeksi produksi beras nasional 2018 sebesar 32,42 juta ton. Angka itu lebih rendah dari data Kementerian Pertanian yang mencapai 46,5 juta ton.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin yang dihubungi, Selasa (23/10/2018), menggarisbawahi berkurangnya luas baku sawah 653.000 hektar (ha) lima tahun terakhir. ”Pemerintah perlu serius memperhatikan kebijakan-kebijakan yang mengonversi lahan pertanian,” ujarnya.
Terkait itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Kementerian Pertanian terus meningkatkan produktivitas tanaman pangan. ”Tugas Mentan (Menteri Pertanian) menanam padi di sawah yang sudah dihitung (luasnya). Selama ini data luas lahan lebih besar (dari kondisi faktual),” ujarnya.
Menurut Kalla, guna mencukupi kebutuhan beras nasional, bahkan surplus atau eskpor, lahan baku sawah 7,1 juta ha cukup. ”Tidak sulit (meningkatkan produktivitas) dengan dana ke pertanian yang sudah naik tiga kali dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2015 sudah Rp 30 triliun dibanding sebelumnya hanya Rp 10 triliun. Naik banyak,” kata Kalla.
Meski demikian, kata Kalla, pemerintah tetap mengalokasikan lahan sawah abadi meski dinilai tidak mudah. Hal ini menjadi salah satu tema yang disinggung dalam rapat terbatas tentang Undang-Undang Pertanahan.
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, neraca beras nasional masih surplus. Luas panen padi tahun ini 10,9 juta ha dan produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau 32,42 juta ton beras. Sementara rata-rata konsumsi pada 2017 adalah 111,58 kg per kapita per tahun dengan total konsumsi 29,50 juta ton. Artinya, ada surplus 2,85 juta ton untuk tahun ini.
Sejumlah pihak menyoroti kontradiksi surplus dan impor beras tahun ini. Menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, izin impor beras didasarkan pada keputusan rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian. Impor beras dilakukan untuk memperkuat cadangan beras pemerintah di Perum Bulog agar dapat menstabilkan harga beras yang waktu itu naik.
Terkait hasil koreksi data beras, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sumarjo Gatot Irianto mengatakan, pihaknya masih menunggu rincian data dari BPS. ”Ke depan, sesuai amanat undang-undang, metode baru dan data BPS itu bisa jadi acuan tunggal pemerintah dalam mengambil kebijakan pangan,” ujarnya.