Tahun 2002, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono dalam tulisan di Opini Kompas (12 Mei 2002) mengatakan, kebiasaan tawuran sudah muncul selama 20 tahun di Jakarta dan sekitarnya. Saat ini, tawuran sudah eksis selama 36 tahun. Bahkan, makin lama makin mengerikan dan meresahkan dengan kian beringasnya para pelaku.
Di Kota Depok, akhir pekan lalu, terjadi dua tawuran yang melibatkan remaja di Cinere (Jumat, 19/10/2018) dan di Radar Auri Cimanggis (Minggu, 21/10/2018). Rizky Ramadhan (16) dan Andika Saputra (20) tewas akibat dianiaya menggunakan senjata tajam. Di Cinere, sudah ada 11 pelaku yang ditangkap yang sebagian besar adalah pelajar, sedangkan di Cimanggis, polisi masih mengejar para pelakunya.
Di Curug, Kabupaten Tangerang, Polres Tangerang Selatan juga menangkap lima siswa usia 16 tahun yang terlibat dalam tawuran pada Kamis (18/10) lalu. Mereka mengeroyok korban Aditya (18) dengan senjata tajam sehingga terluka parah.
Diketahui ada 20 remaja yang terlibat dalam tawuran antara siswa SMK Mandiri di Panongan dan SMK Yupentek 2 Curug. Awalnya, kata Kapolres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan, Selasa (23/10/2018), siswa antarsekolah itu bermain futsal bersama, tetapi diduga terjadi selisih paham.
Setelah itu, salah seorang siswa Yupentek menantang siswa Mandiri untuk tawuran. Mereka telah menyiapkan senjata tajam masing-masing dan akhirnya meletuslah tawuran di Jalan STPI Curug hingga mengakibatkan korban Aditya (18) terluka parah di bagian tangannya.
Ferdy menyebutkan, kecenderungan tawuran di kalangan remaja kian tak terkendali. Sebab, telah banyak upaya dilakukan untuk menekan dan mencegah terjadinya tawuran yang memang sudah terjadi sejak dulu. Akan tetapi, tawuran masih saja terjadi dan menimbulkan korban.
”Masalahnya, berbagai upaya persuasif sudah dilakukan, imbauan ke sekolah-sekolah. Berbagai pendekatan sudah dilakukan, termasuk melakukan pembinaan terhadap pelaku tawuran yang masih usia anak. Tapi masih saja tawuran lagi,” ujar Ferdy.
Karena itu, kini polisi tetap menindak tegas pelaku tawuran dengan memidanakan mereka. Hal itu diyakini harus dilakukan untuk memberi efek jera.
Masalah lain, para remaja ini juga dapat dengan mudah mendapatkan senjata tajam. Mereka menggunakan alat-alat berkebun, seperti celurit ataupun golok yang dengan mudah didapat di pasar atau toko bangunan.
Tahun 2002, Sabtu (8/6/2002), seorang pelajar SMP 16 siang Tangerang, Robi Resma Jaya (16), tewas akibat kena bacok senjata tajam saat tawuran di Bundaran Bumi Serpong Damai. Demikian juga pada dua kasus tawuran lain pada tahun yang sama di Tangerang, menewaskan dua pelajar karena terkena senjata tajam. Senjata tajam menjadi alat yang paling mudah bagi remaja untuk digunakan saat tawuran.
Ferdy menduga, saat ini media sosial semakin membawa pengaruh besar. Para remaja yang masih dalam fase mencari jati diri itu tampak berusaha eksis dan merasa bangga jika ia tampak menonjol. Di sisi lain pula, kabar-kabar yang berlebihan di media sosial dengan mudah diterima tanpa dicerna dengan baik sehingga membuat mereka mudah tersulut.
Di Depok, tawuran termasuk salah satu kerawanan yang kerap terjadi. Beberapa waktu lalu, Kasubag Humas Polresta Depok Ajun Komisaris Firdaus menyampaikan, banyaknya tawuran dan kejahatan jalanan di Kota Depok membuat Polresta Depok membentuk tim Jaguar, tim khusus untuk berpatroli dan menekan angka kejahatan jalanan, terutama di jam-jam malam.
”Dengan adanya Jaguar sudah sangat membantu mengurangi kejadian. Kerap kali mereka sudah siap-siap mau tawuran, sudah kepergok sehingga tidak jadi,” ungkap Firdaus.
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku maupun korban kekerasan fisik berupa penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian ada kecenderungan naik dari tahun ke tahun walaupun terkadang juga menurun. Jumlah anak yang menjadi pelaku pada tahun 2017, misalnya naik menjadi 112 anak dari sebelumnya 108 anak. Adapun anak yang menjadi korban penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian tahun 2017 sebanyak 173 anak, naik dari 2016 sebesar 146 anak.
Selain upaya persuasif dari kepolisian, sekolah pun melakukan berbagai upaya untuk menekan angka kejadian tawuran, seperti bekerja sama dengan polisi dan TNI untuk pemberian materi-materi mengenai tawuran dan narkoba. Selain itu, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler juga tersedia agar para siswa memiliki kegiatan positif selain kegiatan akademik.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok Mohammad Thamrin mengungkapkan, kebanyakan dari pelaku tawuran atau geng motor yang masih pelajar berasal dari keluarga bermasalah. Kalau tidak demikian, mereka biasanya salah gaul. Bergaul dengan teman-teman yang memiliki pengaruh buruk.
”Tawuran itu terjadi di luar sekolah, di luar jam sekolah, sehingga pengaruh lingkungan dan keluarga sangat besar,” kata Thamrin.
Oleh karena itu, pendekatan harus dilakukan dari berbagai sisi. Tidak hanya sekolah. Orangtua serta lingkungan tempat tinggal dan bermain anak juga harus diintervensi.
Seperti yang diungkapkan sosiolog Imam B Prasodjo (Kompas, 23/10/2018) bahwa peningkatan jumlah penduduk usia produktif tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah sejalan dengan kebutuhan mereka. Hal mendasar yang dibutuhkan para remaja ini adalah tersedianya ruang publik yang cukup sebagai sarana aktualisasi diri warga, terutama pemuda.
Minimnya ruang publik ini sangat terasa di Kota Tangerang Selatan dan Kota Depok. Belum ada alun-alun kota di dua wilayah ini. Kota Depok sudah memulai pembangunan alun-alun kota di Grand Depok City. Di beberapa titik tampak taman-taman tersedia, tetapi tidak merata di seluruh wilayah.
Hal serupa terjadi di Kota Tangsel, beberapa taman kota yang ada berada dalam kawasan milik pengembang. Di tempat-tempat lain yang lebih padat penduduknya nyaris tidak ada tempat untuk bermain atau berolahraga. Di sisi lain, pusat perbelanjaan komersial menjamur.
Oleh karena itu, Imam mengatakan, para remaja ini membutuhkan perhatian serius mengingat mereka adalah generasi penerus bangsa. Duh, mau jadi apa bangsa ini kalau penerusnya hanya tawuran.