Ganjil Genap Hanya Efektif untuk Jangka Pendek
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pembatasan kendaraan pribadi melalui sistem ganjil genap dinilai hanya efektif untuk jangka pendek. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mampu mengatasi kemacetan untuk jangka panjang, seperti electronic road pricing atau sistem jalan berbayar, integrasi angkutan umum, serta pembatasan sepeda motor.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus terkait efektivitas penerapan kebijakan ganjil genap di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang diadakan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan, Kamis (25/10/2018) di Jakarta Pusat.
Pengamat transportasi Elly Adriani Sinaga juga mengatakan, kebijakan ganjil genap bukan kebijakan yang cocok untuk diberlakukan permanen. Kebijakan ganjil genap ini, lanjutnya, hanya memindahkan rute kemacetan.
”Selain memindahkan rute kemacetan, ganjil genap itu hanya memindahkan pengguna jalan dari angkutan pribadi ke angkutan daring serta memindahkan waktu macet,” ucap Elly.
Memindahkan waktu kemacetan maksudnya adalah memindahkan jumlah kendaraan di jalan yang biasanya tinggi pada pukul 06.00-09.00 dan 18.00-21.00 ke waktu yang lain. Hal tersebut, menurut Elly, terjadi karena pengguna jalan cenderung akan menunggu waktu pemberlakuan ganjil genap berakhir untuk melakukan perjalanan.
”Berdasarkan survei Balitbang yang dilengkapi dengan pandangan stakeholder, kebijakan ganjil genap ini hanya menghasilkan kelancaran lalu lintas pada rute ganjil genap,” ujar Kepala Balitbang Kementerian Perhubungan Sugihardjo. Sementara itu, di jalur-jalur yang tidak ada pembatasan ganjil genap kemacetan tetap terjadi.
Berdasarkan survei Balitbang yang dilengkapi dengan pandangan stakeholder, kebijakan ganjil genap ini hanya menghasilkan kelancaran lalu lintas pada rute ganjil genap.
Hingga minggu ketiga Oktober, kecepatan rata-rata di ruas jalan yang dibatasi meningkat hingga 43,27 persen dibandingkan sebelumnya. Sementara itu, di ruas jalur yang tidak terkena pembatasan, kecepatan rata-rata kendaraan turun sekitar 4,29 persen.
Tak hanya itu, ternyata tidak semua pengguna kendaraan pribadi memilih untuk menggunakan transportasi umum sebagai alternatif. Dari data yang dipaparkan oleh Sugihardjo, 24 persen pengguna kendaraan pribadi mulai beralih ke angkutan umum massal seperti bus dan kereta komuter serta angkutan umum tak massal seperti taksi daring dan ojek daring.
Sebanyak 53 persen pengguna jalan memilih untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. Hal itu karena mereka memilih untuk mencari jalan alternatif, menunggu waktu pemberlakuan ganjil genap berakhir, beralih ke sepeda motor, serta memiliki mobil berpelat ganjil dan genap.
Jika kebijakan ganjil genap diterapkan permanen, 30 persen pengguna jalan memilih untuk membeli mobil dengan nomor pelat yang berbeda, 40 persen tidak membeli mobil lagi dan 30 persen ragu-ragu.
”Jika ganjil genap dipermanenkan, yang ragu-ragu itu cenderung akan memilih untuk membeli mobil lagi,” katanya. Hal itu tentu akan menambah jumlah populasi mobil pribadi di jalan.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono menyebutkan, dengan adanya berbagai pertimbangan, sistem ganjil genap tidak akan dipermanenkan. ”Tidak permanen, paling lama dua tahun. Tidak akan lebih,” ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 106 Tahun 2018, ganjil genap akan dilanjutkan hingga 31 Desember 2018. Dengan begitu, pemerintah memiliki waktu lebih untuk memikirkan langkah selanjutnya.
Bambang mengatakan, saat ini pihaknya tengah mempersiapkan pemberlakuan electronic road pricing (ERP). Dengan adanya sistem jalan berbayar, terlebih jika tarifnya tinggi, sebagian besar orang akan mencari alternatif lain, yaitu naik angkutan umum.
Uji coba ERP
Sugihardjo mengapresiasi BPTJ dan polda karena mulai menguji coba pemberlakuan ERP. Di sisi lain, ia juga mengingatkan sistem mana yang akan digunakan BPTJ untuk pembayaran.
Menurut Sugihardjo, ada dua jenis sistem pembayaran ERP yang bisa diterapkan di Jabodetabek. Sistem tersebut adalah radio frequency identification (RFID) dan dedicated short-range communication (DSRC). Namun, ia menyarankan BPTJ memilih RFID yang harganya lebih murah.
RFID adalah alat pembayaran untuk melalui sebuah jalan. Hampir mirip seperti kartu e-toll, RFID berbentuk striker. Stiker itu dilengkapi dengan teknologi untuk memancarkan sinyal radio.
Setiap pengguna jalan nantinya harus memasang stiker ini di bagian depan mobil mereka. Sinyal radio dari stiker tersebut akan terbaca oleh alat pembaca sinyal yang terpasang di setiap gerbang. Dengan demikian, saldo pada RFID otomatis akan terpotong.
Adapun DSRC adalah teknologi komunikasi jarak pendek yang menggunakan alat pembaca sinyal. Alat itu langsung terkoneksi dengan kamera yang ada di pusat. Kamera tersebut mampu mengenali dan mendeteksi setiap pelat nomor secara otomatis.
Tantangan lain ERP adalah terkait sistem free flow atau bebas hambatan, artinya tidak ada pembatas seperti palang pintu di gerbang-gerbang tol. ”Ini, kan, memungkinkan semua kendaraan bisa lewat sekalipun yang tidak punya saldo. Saya rasa, penegakan hukumnya untuk ERP juga harus dimantapkan,” lanjut Sugihardjo.
Ia menyarankan pihak kepolisian segera memantapkan sistem tilang elektronik untuk kebijakan ERP.
Angkutan umum harus masuk sampai ke perumahan-perumahan. Semuanya diintegrasi dari ujung ke ujung.
Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, harus ada integrasi angkutan umum yang disiapkan jika ERP diterapkan.
”Angkutan umum harus masuk sampai ke perumahan-perumahan. Semuanya diintegrasi dari ujung ke ujung,” ujarnya.
Menurut Djoko, selama ini masyarakat cenderung malas untuk naik transportasi umum karena sistem berkelanjutannya belum memadai.
Salah satu cara terakhir apabila jumlah kendaraan di jalan masih tetap tinggi, menurut Djoko, pemerintah harus membatasi operasionalisasi kendaraan roda dua atau sepeda motor. Selain mobil pribadi, selama ini sepeda motor merupakan penyumbang kepadatan lalu lintas. (KRISTI DWI UTAMI)