Keprihatinan Menggugah Kesadaran
Kecerdasan, keberanian, dan kepekaan terhadap ketidakadilan yang dialami rakyat kecil memicu sejumlah pegawai Belanda dan para pelajar pribumi memperjuangkan nasib masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Tiga sikap yang akhirnya juga menjadi awal tumbuhnya kesadaran kebangsaan tersebut sampai saat ini tetap dirindukan kehadirannya, terutama di kalangan elite politik.
”Orang Jawa itu manusia, pembaca!” – Ernest Douwes Dekker dalam”Tunjukkan Aku Tempat, Di Mana Aku Telah Menabur”.
Sebuah bangunan serupa rumah dengan dua pintu utama yang berdiri di tengah kompleks Rumah Sakit Umum Daerah Dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten, seakan menjadi partikel terpisah dari hiruk pikuk di sekitarnya. Bangunan yang berdekatan dengan kawasan parkir itu terkesan sudah lama diabaikan. Lalu lalang orang di sekitarnya pada awal Oktober lalu lebih karena akses dari lokasi parkir ke gedung utama rumah sakit memang harus lewat bangunan itu. Namun, sejatinya bangunan itu sudah berdiri sejak abad ke-19. Bangunan yang dulu memiliki 21 ruangan dengan luas sekitar 1.000 meter persegi itu awalnya adalah rumah jabatan Asisten Residen Lebak.
Nyaris dua abad berdiri, bangunan tersebut telah berganti fungsi beberapa kali. Kepala Museum Multatuli di Rangkasbitung, Banten, Ubaidillah Muchtar menuturkan, setelah tidak menjadi rumah Asisten Residen Lebak, bangunan itu pernah rusak oleh bom Sekutu saat perang kemerdekaan.
Seiring berjalannya waktu, bangunan itu pernah dipakai untuk berbagai hal berbeda. Pada 1980-an, bangunan itu pernah dipugar untuk dijadikan kantor koperasi dan kemudian jadi bagian dari rumah sakit pada dekade 2000-an. Sempat berfungsi sebagai apotek, kemudian hingga 2012 bangunan itu jadi gudang bagi perabotan rumah sakit.
Padahal, di dalam rumah itu, Asisten Residen Lebak periode 21 Januari-28 Maret 1856 Eduard Douwes Dekker alias Multatuli menyadari adanya ketidakberesan Pemerintah Hindia Belanda di bumi Banten. Dipicu sikap korup Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara, Eduard menuding Natanegara telah menindas dan memeras penduduk pribumi.
Penindasan dan pemerasan terhadap penduduk pribumi yang didasari kebijakan tanam paksa ini tergambarkan di roman Saijah dan Adinda. Di dalam kisah yang menjadi bagian dalam salah satu bab karyanya, Max Havelaar (1860), Eduard menguraikan sikap pimpinan daerah yang memanfaatkan masyarakat Lebak untuk memenuhi tuntutan pemerintah kolonial.
Kisah itu berawal dari perampasan seekor kerbau milik ayah Saijah oleh Demang Parungkujang yang berdampak pada kehancuran keluarga dan masa depan Saijah.
Ibunya meninggal dunia karena sedih yang berlarut. Sang ayah pun meninggal di tangan penjajah karena ”hijrah” ke Bogor tanpa surat jalan. Saijah akhirnya harus ke Batavia untuk bekerja dan menabung agar bisa meminang sahabat kecilnya, Adinda. Namun, ketika kembali ke Lebak, ia mengetahui Adinda juga telah meninggalkan kampung halaman.
Kisah itu, menurut Ubaidillah, merupakan hasil perenungan Eduard dari berbagai keluhan yang ia dengar dari masyarakat Lebak. Eduard juga membaca berbagai laporan dari para mantan asisten residen pendahulunya, terutama CEP Carolus yang tewas karena diracun.
Melalui Max Havelaar, Eduard ingin menyadarkan masyarakat Belanda atas perilaku negerinya terhadap warga pribumi di Hindia Belanda. Di bagian terakhir buku itu, ia menunjukkan kemarahannya kepada para petinggi negerinya, terutama Raja Willem III. Ia menulis, ”…Dan bahwa nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari 30 juta disiksa dan diisap atas nama Tuan?”
Selain itu, dalam surat yang tidak jadi dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist, 9 April 1956, Eduard mencoba menggugah Van Twist. ”Ataukah Yang Mulia tidak mau tahu atau merasa tidak melihat, bahwa ada air mata putus asa, bahwa ada darah yang melekat pada setiap mata uang dari gaji Yang Mulia selama di Hindia?” tulisnya.
Pengalaman
Moechtar dalam buku Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran (2005) menulis, kegelisahan Eduard tentang berbagai ketidakadilan di Lebak tidak hadir tiba-tiba. Namun, merupakan akumulasi dari 17 tahun pengalamannya sebagai pegawai Pemerintah Hindia Belanda. Puncaknya ketika di Lebak ia tak dapat cukup tanggapan dari atasannya saat mengadukan perilaku pejabat pribumi yang korup.
”Tidak hanya situasi dan kondisi di Hindia Belanda yang membuat dia jadi Multatuli, tetapi kedewasaannya yang menyebabkan ia berontak menentang sikap tidak dewasa dari ribuan tanggapan dan pertanyaan yang diajukan,” tulis Moechtar.
Empat dekade setelah Eduard, Conrad Theodore van Deventer menulis artikel berjudul ”Een Eereschuld (Hutang Budi)” di majalah De Gids. Dalam tulisannya pada tahun 1899 itu, ia menjelaskan, rakyat Hindia Belanda telah membantu pemulihan keuangan Kerajaan Belanda seusai sejumlah perang melalui tanam paksa sehingga pemerintah perlu membalas cucuran keringat pribumi itu.
Deventer pernah bertugas di Hindia Belanda pada 1859-1897, mulai dari pegawai pengadilan di Ambon, Maluku, hingga sebagai jaksa di Semarang, Jawa Tengah.
Tekanan yang dimulai dari para mantan pegawai di Hindia Belanda itu, dan kemudian juga oleh tokoh politik dan masyarakat Belanda, membuat Belanda memperkenalkan Politik Etis. Ratu Wilhelmina di hadapan Parlemen Belanda pada 17 September 1901 mengumumkan Politik Etis dengan tiga kebijakan prioritas, yaitu irigasi, imigrasi, dan pendidikan.
Jejak awal
Praktik Politik Etis di bidang pendidikan membuka lebih banyak kesempatan pemuda pribumi mengenyam pendidikan. Hal ini, kemudian, ternyata juga memberikan pengaruh signifikan pada timbulnya kesadaran bersama sebagai bangsa Indonesia. Kesadaran itu, salah satunya, dimulai dari Gedung School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Enam tahun setelah gedung itu diresmikan, organisasi perintis kebangkitan nasional Budi Utomo didirikan oleh sembilan siswa STOVIA pada 20 Mei 1908.
Pergerakan awal Budi Utomo tidak bisa dilepaskan dari pengaruh cucu kemenakan Eduard, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Danudirdja Setiabudi. Sejak 1907, Ernest menjadi staf redaksi koran Bataviaasch Nieuwsblad.
Dalam otobiografinya berjudul Kenang-kenangan (1934), pendiri Budi Utomo, yaitu Soetomo, menulis, Ernest berperan signifikan dalam lahirnya Budi Utomo. Sebagai redaktur media ketika itu, lanjut Soetomo, Ernest telah memberikan semangat kepada ia dan delapan rekannya di STOVIA untuk memulai kehadiran organisasi pergerakan nasional. ”Hubungan saya dengan Ernest cukup dekat. Rumahnya selalu terbuka untuk saya,” kenang Soetomo.
Melalui tulisan dan karikatur di Bataviaasch Nieuwsblad, Ernest menyiarkan pergerakan Budi Utomo dan mengingatkan Pemerintah Belanda terkait nasib Hindia Belanda yang akan memperjuangkan kemerdekaan serupa dengan Britania India.
Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada Suhartono Wiryopranoto, Ernest menjadikan Budi Utomo sebagai awal letupan perjuangan dirinya untuk memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Letupan itu pun bermuara pada hadirnya organisasi politik, Indische Partij, yang dia dirikan bersama Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara pada 25 Desember 1912. ”Nasionalisme itu pertama kali digelorakan Indische Partij. Organisasi itu mengakui Hindia untuk Hindia, sekaligus mengakui Indonesia sebagai tanah air,” kata Sartono.
Sementara itu, bagi Soetomo, kesadarannya untuk membentuk Budi Utomo juga dipengaruhi oleh didikan ayahnya, Raden Soewarji Poetro. Soewarji yang adalah seorang wedana (pembantu bupati) di Madiun, Jawa Timur, menjadi pendukung utama Soetomo agar melanjutkan pendidikan di STOVIA.
Dalam Kenang-kenangan, Soetomo menjelaskan, keinginannya menjadi dokter merupakan bentuk bakti kepada ayahnya. Soewarji, menurut Soetomo, telah berkorban dengan jadi wedana meski harus menjadi saksi perlakuan tidak adil pemerintah kolonial.
”Bila pekerjaan ini tidak saya jalani, apakah kau kira, kamu sekalian dapat makan roti dengan mentega?” jawab sang ayah ketika Soetomo menanyakan penyebab Soewarji menjadi pejabat pemerintahan. Percakapan itu terjadi sekitar tahun 1901.
Dalam perkembangannya, Soetomo memilih spesialisasi yang tetap menjaga kedekatannya dengan masyarakat bawah. Ia menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin di Rumah Sakit Central Burgelijke Ziekeninrichting (CBZ) di Surabaya, Jawa Timur. Pada sore hari, seusai bertugas di rumah sakit, ia membuka klinik di rumahnya untuk rakyat. Bahkan, bagi pasien yang kurang mampu, Soetomo juga memberikan uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Puncaknya, pada 13 Juli 1930, ia mendirikan Gedung Nasional Indonesia (GNI) di daerah Jalan Bubutan, Surabaya. Gedung itu terdiri atas tiga bagian, yakni satu pendopo untuk pertemuan Indonesische Studie Club–bentukan Soetomo–serta dua gedung bertingkat dua, salah satunya untuk ruang redaksi majalah Penjebar Semangat. Soetomo pun dimakamkan di kompleks GNI sesuai dengan wasiatnya.
Suhartono menuturkan, keberpihakan para pegawai Belanda hingga para pelajar dilatarbelakangi pengalaman pribadi mereka saat bersentuhan langsung dengan masyarakat pribumi. Sentuhan langsung itu hingga kini tetap relevan dilakukan untuk menumbuhkan empati terhadap nasib rakyat.
Ubaidillah menambahkan, nilai-nilai pemimpin yang ditanamkan Eduard tetap relevan hingga kini. Nilai-nilai itu adalah pemimpin harus mengabdi kepada rakyat, tidak boleh mengambil keuntungan pribadi dari jabatannya, serta harus menjauhi perilaku buruk yang menyengsarakan masyarakat, seperti penyalahgunaan hukum, perampasan hak, dan korupsi.
Akhirnya, kesadaran dan keprihatinan itu hingga kini tetap diperlukan, khususnya di kalangan para elite bangsa ini, untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik….