JAKARTA, KOMPAS -- Setelah melalui proses panjang pengurusan pinjaman untuk pembangunan MRT Jakarta fase II, akhirnya pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia saling bersepakat tentang pinjaman. Dengan begitu, PT MRT Jakarta akan bisa melakukan lelang konstruksi atas sejumlah paket kontrak (CP) fase II mulai 2019.
Tuhiyat, Direktur Keuangan dan Administrasi PT MRT Jakarta, Rabu (24/10/2018) di DPRD DKI Jakarta menjelaskan, proses pembangunan MRT yang tengah berlangsung saat ini adalah fase I koridor selatan - utara dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia. Pembangunan infrastruktur angkutan umum berbasis rel, massed rapid transit (MRT) fase I sepanjang 16 km itu, sudah hampir selesai dan dijadwalkan siap beroperasi pada Maret 2019.
Sembari menyelesaikan fase I, PT MRT Jakarta juga mengurus pengajuan pinjaman untuk fase II koridor selatan - utara dari Bundaran Hotel Indonesia ke Stasiun Kampung Bandan. Pinjaman yang diajukan adalah sebesar Rp 25,10 triliun, terdiri atas Rp 22,5 triliun untuk pembiayaan pembangunan fase II dan Rp 2,6 triliun untuk pembiayaan pekerjaan tambahan atau variation order fase I.
Setelah poses panjang yang dilakukan sejak awal 2017, dengan target pinjaman bisa disetujui Mei 2018, akhirnya pengajuan pinjaman itu disepakati pada Oktober 2018. Kesepakatan ditandai dengan penandatanganan exchange note atau pertukaran dokumen antara Pemerintah Jepang dengan Pemerintah Indonesia di Kementrian Luar Negeri, Rabu (24/10/2018) pagi. Pemerintah Jepang diwakili Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii. Pemerintah Indonesia diwakili Desra Percaya, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementrian Luar Negeri RI.
Penandatanganan exchange note itu juga diikuti dengan penandatanganan loan agreement atau perjanjian pinjaman di Rabu siang. Penandatanganan dilakukan di Kementrian Keuangan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementrian Keuangan dan Kepala Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) Indonesia.
Shigemi Ando, Konselor bidang Ekonomi Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta menjelaskan penandatanganan exchange note itu untuk pinjaman senilai maksimal ¥ 70,210 miliar atau Rp 9,46 triliun dengan catatan nilai tukar 1 yen setara Rp 134,9.
Dana sebesar itu, kata Ando, merupakan pinjaman fase II tahap 1. Dana itu akan dipakai untuk penyelesaian pekerjaan fase I Lebak Bulus - Bundaran Hotel Indonesia, konstruksi fase II, dan pengadaan rolling stock atau kereta.
Tuhiyat melanjutkan, pinjaman Rp 25,10 triliun itu sudah disepakati semua. Namun untuk pencairan memang dilakukan bertahap sesuai progress pekerjaan MRT.
"Pencairan bertahap sudah disepakati dalam minutes of discussion pada Februari 2018. Yaitu saat ada kunjungan JICA ke Jakarta sebagai appraisal mission," jelas Tuhiyat.
Sehingga dengan pencairan pinjaman yang akan dilakukan bertahap, akan ada penyebutan pencairan sebagai pinjaman fase II tahap 1, pinjaman fase II tahap 2. "Ada lebih dari satu tahap," ujar Tuhiyat.
Meski begitu, dana pinjaman itu belum bisa dipakai untuk membangun. Itu karena dana pinjaman harus terlebih dulu masuk dan teradministrasi dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) APBN dan APBD DKI Jakarta.
Setelah tercantum, proses lelang konstruksi bisa dilakukan di 2019. Dengan bentuk pinjaman yang merupakan Japan tied atau tied loan, dijelaskan oleh William P. Sabandar selaku Direktur Utama PT MRT Jakarta, pinjaman itu berbunga murah 0,1 persen namun komponen Jepang di dalam proyek minimal 30 persen. Komponen Jepang itu misalnya kontraktor, mesin, juga teknologi.
Dijelaskan Tuhiyat, dengan syarat Japan tied itu, lelang konstruksi dilakukan sebagai lelang internasional. "Karena kita tied loan dimana harus 30 persen ada komponen Jepang, maka perusahaan konstruksi Jepang ikut. Artinya kontraktor konsorsium yang dipimpin oleh perusahaan Jepang ikut dalam lelang. Itu sama seperti fase I," ujar Tuhiyat.
Bahkan, perusahaan-perusahaan konstruksi konsorsium Jepang - Indonesia yang memenangkan lelang dan mengerjakan paket di fase I, ada kemungkinan ikut dalam lelang internasional fase II. "Lelang itu akan berlangsung satu tahun sehingga konstruksi fase II baru dimulai 2020," jelas Tuhiyat.
William menambahkan, untuk fase II MRT Jakarta itu akan terdiri atas enam paket kontrak (contract package atau CP). CP 1, CP 2, CP 3, dan CP 4 merupakan paket konstruksi. CP 5 merupakan paket sistem dan CP 6 merupakan paket rolling stock atau train set.
"Untuk trainset, nanti semua akan berjumlah 30 set dengan 180 cars. Yang sudah ada 16 train set atau 96 cars. Yang akan diadakan di fase II sebanyak 14 set dengan 84 cars," jelasnya.
Adapun sambil menuntaskan pengajuan pinjaman, lanjut William, PT MRT Jakarta juga menyusun rancang teknis dasar atau basic engineering detailed (BED) atas fase II. BED yang penyusunannya saat ini sudah mencapai 60 persen itu akan menjadi dasar dari proses konstruksi.
Tomoyuki Kawabata, Senior Representative Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) untuk Indonesia menjelaskan, melihat rancangan fase II nantinya semua akan merupakan konstruksi bawah tanah. Dari delapan stasiun yang melayani fase II, tujuh stasiun merupakan stasiun bawah tanah dan satu stasiun merupakan stasiun at grade atau sejajar muka tanah.
Dijelaskan Kawabata itu membuat biaya pembangunan fase II lebih mahal dibandingkan fase I.
Tuhiyat juga menjelaskan, biaya pembangunan bawah tanah dan layang rata-rata memiliki perbandingan 2 : 1. "Jadi kalau untuk membangun konstruksi layang itu Rp 1, maka untuk membangun konstruksi bawah tanah itu Rp 2. Namun yang paling mahal adalah teknologi bornya," jelas Tuhiyat.
Seperti yang diberitakan Kompas, fase II akan didominasi konstruksi bawah tanah karena faktor struktur tanah dan situasi kawasan yang semakin padat ke arah utara. Sehingga, bila fase II siap dibangun pada 2020 maka dijadwalkan konstruksi bisa selesai di 2025.
Adapun untuk progres konstruksi fase I, per 30 September 2018 sudah 96,54 persen dengan konstruksi depo dan layang 95,36 persen dan konstruksi bawah tanah 97,72 persen.