Fondasi Kesehatan yang Rapuh
Seminggu sebelum berakhir, capaian Kampanye Nasional Imunisasi Campak-Rubela Tahap II di luar Pulau Jawa baru 65 persen. Meski target cakupan pada tahap I di Pulau Jawa tercapai, minimal 95 persen, komitmen melahirkan generasi yang sehat dan produktif terancam.
Matahari belum berada tegak di atas kepala ketika sejumlah siswa SD YPPK Picetehi Sibena di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat berbaris rapi setelah menyambut kedatangan Menteri Kesehatan Nila Moeloek di sekolah mereka pada Agustus 2018. Mereka terlihat tenang, tapi ada juga yang tegang dan menunjukkan wajah cemas. Wajar saja karena mereka akan disuntik.
Siswa kelas V dan VI itu mengantre untuk diimunisasi campak-rubela. Dokter dan petugas kesehatan dari puskesmas dan dinas kesehatan pun telah bersiap sejak pagi. Nila hadir untuk melihat langsung pelaksanaan imunisasi di sana.
Imunisasi merupakan upaya yang paling efektif dan efisien untuk mencegah penyakit tertentu. Tak heran jika negara-negara di dunia mengeluarkan anggaran yang tak kecil untuk program imunisasi nasionalnya. Hal itu tidak dilihat sebagai sebuah beban biaya melainkan sebuah investasi yang dalam jangka panjang akan memberikan imbal hasil berupa penduduk yang sehat dan produktif. Negara berkewajiban untuk menjaga penduduknya tetap sehat tercegah dari penyakit.
Salah satu imunisasi yang baru tahun 2017 diintroduksi di Indonesia adalah imunisasi campak-rubela melalui Kampanye Nasional Imunisasi Campak-Rubela (Measles-Rubella/MR). Vaksin campak yang sudah sejak lama dipakai dalam program imunisasi dasar kini digabungkan dengan vaksin rubela.
Pada tahun 2017 kampanye tahap I dilakukan di Pulau Jawa dengan sasaran 70 juta anak berusia 9 bulan hingga 15 tahun yang berada di enam provinsi di Jawa. Setelah digelar dua bulan, Agustus-September, target cakupan minimal 95 persen pun berhasil diraih.
Tahun 2018 ini pemerintah melanjutkan kampanye tahap II di luar Pulau Jawa. Sebanyak 31,9 juta anak berusia 9 bulan hingga 15 tahun yang tersebar di 28 provinsi menjadi sasarannya. Targetnya sama: minimal 95 persen anak mendapat imunisasi MR. Karena hingga akhir September 2018 target cakupan belum tercapai akhirnya kampanye diperpanjang hingga akhir Oktober 2018.
Sejauh ini capaian cakupan di luar Jawa tidak menggembirakan seperti di Jawa. Hingga tanggal 23 Oktober cakupan baru mencapai sekitar 65 persen. Baru Provinsi Papua Barat yang sudah berhasil melampaui target cakupan. Adapun Aceh merupakan provinsi dengan cakupan terendah, tidak sampai 10 persen.
Penyebab rendahnya cakupan imunisasi adalah mencuatnya isu status kehalalan vaksin MR produksi Serum Institute of India (SII) yang dipakai dalam Kampanye Nasional Imunisasi MR sekarang. Buntut dari kencangnya embusan isu ini memicu sikap pemerintah daerah maupun tokoh agama di daerah yang meminta imunisasi MR ditunda.
Meski keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhirnya membolehkan pemberian vaksin karena alasan kedaruratan dan belum adanya vaksin MR yang halal, penggunaan frasa “hukumnya haram” pada pernyataan awal fatwa, diakui atau pun tidak, membuat bingung banyak masyarakat.
Masa kampanye nasional imunisasi MR di luar Jawa pun kemudian diperpanjang hingga akhir Oktober 2018. Harapannya, cakupan imunisasi bisa digenjot. Akan tetapi, ini pun nampaknya kurang optimal. Kementerian Kesehatan sendiri memperkirakan, maksimal cakupan yang bisa dicapai sekitar 75 persen.
Kekebalan kelompok
Cakupan yang kurang dari 95 persen membuat kekebalan kelompok/ lingkungan (herd immunity) tidak terbentuk. Konsekuensinya, penularan campak dan rubela masih banyak terjadi. Kita masih akan melihat banyak anak terkena campak dan banyak anak yang terlahir dengan kondisi penuh gangguan.
Campak merupakan penyakit akibat virus yang mudah menular melalui batuk dan bersin. Gejalanya adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit disertai dengan batuk dan/atau pilek dan/atau konjungtivitis. Jika disertai dengan komplikasi pneumonia, diare, dan meningitis campak bisa berujung pada kematian.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, Indonesia termasuk 10 negara dengan kasus campak terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus terduga campak dan rubela dalam lima tahun terakhir, sejak 2014 hingga Juli 2018, adalah 57.056 kasus. Dari jumlah tersebut, 8.964 kasus positif campak dan 5.737 kasus positif rubela.
Berdasarkan data surveilans Kementerian Kesehatan, setiap tahun ada 11.000 kasus terduga campak. Sebesar 12-39 persen di antaranya terkonfirmasi laboratorium positif campak, sedangkan 16-43 persen di antaranya positif rubela.
Sementara rubela atau campak jerman adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan, ditandai ruam merah pada kulit. Penularan terutama melalui butiran liur di udara yang dikeluarkan penderita melalui batuk atau bersin. Bisa juga melalui kontak langsung, misalnya berbagi makanan dan minuman dalam piring atau gelas yang sama dengan penderita.
Rubela lebih ringan dari campak. Namun, jika menginfeksi perempuan hamil terutama pada trimester pertama, atau sebelum konsepsi, dapat menyebabkan abortus, kematian janin, atau Sindrom Rubela Kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi yang dilahirkan.
Di Indonesia, rubela merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan efektif yang serius. berdasarkan studi tentang estimasi beban penyakit CRS di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.767 kasus CRS atau 82/100.000 terjadi pada usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000 pada usia ibu 40-44 tahun.
CRS inilah yang dialami Zikra Nadhifsyah. Putri kedua dari warga Cipete, Jakarta Selatan, Yunelia, itu terlahir dengan kelainan bawaan berupa kerusakan/ kebocoran pada dua ruang atas jantungnya (Atrial Septal Defect/ASD) dan penyempitan katup paru yang mengatur aliran darah dari bilik jantung ke paru (Pulmonary Stenosis/PS).
Tidak hanya itu, ia juga mengalami gangguan pendengaran atau tuli berat. Bagian otaknya yang mengatur fungsi motoriknya pun terserang virus rubela. Akibatnya, perkembangan motorik Zikra lambat.
Momentum hilang
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan, Indonesia sedang berupaya mencapai target eliminasi campak tahun 2020. Untuk itulah, kampanye nasional imunisasi MR dilakukan. Imunisasi yang dilakukan serentak dalam kurun waktu tertentu diharapkan bisa membentuk kekebalan kelompok.
Namun, momentum itu hilang ketika cakupan di luar Jawa tidak optimal. Dengan kondisi cakupan imunisasi rutin campak dosis kedua (usia 2-3 tahun) sekitar 70 persen atau lebih kecil dari cakupan dosis pertama (9-11 bulan) yang sebesar 90 persen maka kekebalan masyarakat akan tetap rapuh.
“Imunisasi campak sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Masak kita tidak bisa bebas dari penyakit ini. Tidak ada cara lain selain harus meningkatkan cakupan imunisasi hingga tidak ada lagi kasus campak yang terbukti secara laboratorium,” kata Miko.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan, menilai, kampanye nasional imunisasi MR di luar Jawa gagal. Pada situasi ini kita tidak bisa hanya mengandalkan Kementerian Kesehatan untuk bekerja lebih keras. Berbagai kementerian terkait, pemerintah daerah, MUI, bahkan pimpinan negeri ini pun harus terjun langsung meyakinkan masyarakat akan pentingnya imunisasi MR.
“MUI juga seharusnya ikut meyakinkan masyarakat bahwa imunisasi MR ini penting dalam rangka mencegah penyakit dan kematian,” ujar Aman.
Rendahnya cakupan imunisasi MR di luar Jawa akan berpengaruh terhadap capaian secara nasional. Fakta ini tentunya akan menjadi catatan buruk kinerja pemerintah saat ini juga menjadi sorotan dunia internasional. Jika memang berkomitmen melahirkan generasi Indonesia yang sehat, produktif, dan lebih baik maka imunisasi adalah salah satu pondasinya.