JAKARTA, KOMPAS – Respons Indonesia atas Laporan Khusus Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC yang merekomendasikan target penurunan emisi lebih ambisius agar kenaikan suhu Bumi tak melebihi 1,5 derajat celsius dinilai lamban. Pemerintah masih akan menganalisis kembali laporan tersebut dalam konteks Indonesia.
Hal ini disayangkan karena menurut laporan tersebut Bumi hanya memiliki waktu 12 tahun untuk berubah secara cepat demi mengerem emisi gas rumah kaca. Jika itu tak dipilih, artinya dunia memilih kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius yang membawa berbagai bencana hidrometeorologi, bencana kelaparan dan air bersih, dan penyakit.
Karena itu, Indonesia didorong menghentikan tergantungan pada energi fosil terutama batubara, mempercepat transisi energi bersih yang berkeadilan, menghentikan deforestasi, dan konversi lahan gambut. Selain itu, perlu ada persiapan terhadap kemungkinan terburuk yaitu sisi adaptasi harus segera mendapatkan tempat agar kawasan-kawasan rentan terdampak lebih siap menghadapinya.
Saat membuka Hari Aksi Pengendalian Perubahan Iklim Tahun 2018 bertema Aksi Nyata Satu Tujuan Di Bawah 2°C, Rabu (24/10/2018) di Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyampaikan responsnya atas Laporan Khusus IPCC yang dihasilkan setelah para pakar bersidang 1-5 Oktober 2018 di Incheon, Korea Selatan.
“Saya meminta para pakar dan ilmuwan perubahan iklim di Indonesia untuk segera melakukan analisa ilmiah dan memberikan masukan kepada pemerintah dalam menyikapi laporan IPCC tersebut dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan kondisi negara kita. Itu sebagai bahan perumusan kebijakan lebih lanjut dalam melaksanakan pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim di Indonesia,” kata dia.
Siti Nurbaya, dalam sambutan tertulis, mengakui ketidakberhasilan Indonesia merealisasikan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), akan meningkatkan biaya adaptasi di kemudian hari seiring peningkatan berbagai bencana dan penyakit. Mengutip studi yang dilakukan Bank Dunia, perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan kerugian ekonomi di Indonesia setidaknya 4,5 persen produk domestik bruto (PDB).
Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, menyayangkan KLHK belum serius menerjemahkan laporan khusus IPCC. Apalagi, di dalam IPCC, ada pakar Indonesia yang dilibatkan dalam pembahasan. “Tema hari pengendalian perubahan iklim saja masih menetapkan dibawah 2 derajat celsius sebagai target, artinya KLHK masih belum secara serius menerjemahkan rekomendasi IPCC terkait menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius,” ungkapnya.
Tema hari pengendalian perubahan iklim saja masih menetapkan dibawah 2 derajat celsius sebagai target. Artinya, KLHK masih belum secara serius menerjemahkan rekomendasi IPCC terkait menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius.
Revisi target
Ia menegaskan, komitmen menjaga suhu Bumi di bawah kenaikan 1,5 derajat celsius seharusnya mendorong Pemerintah Indonesia untuk merevisi target dalam dokumen kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (NDC) agar lebih ambisius dibandingkan dengan target NDC sekarang. Itu termasuk membuat peta jalan untuk meninggalkan batubara sebagai energi primer pada tahun 2050 dan memerpanjang moratorium sawit hingga 25 tahun untuk menjamin tidak ada alih fungsi hutan dan lahan untuk perkebunan terutama sawit.
Terkait hal itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan kajian tidak dilakukan dari nol dan tidak membutuhkan waktu hingga 10 tahun. “Begitu keluar special report (IPCC), sehari kemudian sudah baca bagaimana terhadap kemungkinan-kemungkinan (dampaknya) ke Indonesia,” kata dia.
Pihak Ditjen PPI KLHK juga sudah membentuk kelompok kerja dalam menyikapi laporan khusus IPCC berisi internal kementerian dan pakar-pakar perubahan iklim. “Apakah (rekomendasinya) langsung mem-fine tuning NDC atau kita menanti yang disampaikan pada COP di Katowice, Polandia, itu nanti,” kata dia.
Indonesia juga harus mengambil sikap strategis agar tidak buru-buru mengambil langkah merespons laporan khusus IPCC. Secara global, laporan itu akan dibahas langkah lanjutannya di COP-24 Katowice, Polandia. Indonesia sebagai negara anggota UNFCCC mengikuti langkah global yang diperlukan.
Laporan khusus IPCC yang terbit 8 Oktober 2018 menyatakan pemanasan global akibat aktivitas manusia telah mencapai sekitar 1 derajat celsius pada 2017 dibandingkan masa pra-industri dan terus naik sekitar 0,2 derajat celsius tiap 10 tahun. Jika emisi global naik dengan kecepatan seperti sekarang, pemanasan global akan melewati batas 1,5 derajat celsius antara tahun 2030-2052.
Naiknya suhu hingga 1,5 derajat celsius akan mengakibatkan dampak yang tidak dapat dihindari terutama bagi keberlangsungan hidup manusia dan spesies lain yang ada di bumi serta memperkecil kesempatan untuk melakukan adaptasi. Dampaknya akan semakin buruk bagi pulau-pulau kecil, negara-negara tropis dan subtropis di belahan bumi selatan termasuk Indonesia.
Laporan itu membandingkan dampak yang terjadi saat suhu bumi meningkat 1,5 derajat celsius dan 2 derajat celsius. Perbedaan kecil sebesar 0,5 derajat celsius bisa menyelamatkan puluhan juta orang di dunia dan kemusnahan ekosistem.