Rizal Ramli: Indonesia Hasilkan Politisi Kampungan
MALANG, KOMPAS – Sistem kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dinilai kurang kompetisi. Sehingga dalam kehidupan politik pun melahirkan politisi-politisi kampung yang tidak terbiasa adu gagasan dan lebih banyak terjebak dalam hoax.
Hal itu dikatakan ekonom Rizal Ramli dalam kuliah umum Gelar Kebangsaan bertema ‘Menakar Indonesia ke Depan: Antara Tantangan Ekonomi, Politik, dan Persatuan’, di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang, Kamis (25/10/2018).
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Gus Dur serta mantan Menko Bidang Kemaritiman 2015-2016 tersebut berharap Indonesia bisa membangun sistem kompetisi, dimulai dari pendidikan.
Dengan terbangunnya sistem kompetisi sejak dini, Rizal Ramli berharap dalam beberapa tahun ke depan generasi penerus bangsa akan terbiasa dalam beda pendapat dan adu gagasan.
“Politik kita itu politik kampungan. Karena bangsa kita tidak biasa berkompetisi. Harusnya dalam pilpres ini terjadi kompetisi gagasan dan visi. Tapi justru debat soal hoax dan hal-hal yang tidak penting. Sedikit saja beda pendapat, langsung bermusuhan. Itu kampungan. Norak habis. Politisi kita norak abis,” katanya disambut tepuk tangan para mahasiswa peserta kuliah umum tersebut.
Salah satu cara untuk mentas dari hal itu menurut Rizal Ramli salah satunya adalah dengan membuat terobosan kebijakan salah satunya di bidang pendidikan. “Saat ini total anggaran pendidikan kita RP 440 triliun. Namun kebocoran terbesar juga dari sektor pendidikan. Menurut PBB, indeks pendidikan kita nomor 62. Sementara Vietnam nomor 8 dan Singapura nomor 1. Jadi butuh kebijakan radikal dalam pendidikan,” katanya.
Salah satu kebijakan radikal menurut Rizal adalah dengan menyisihkan Rp 20 T dari total Rp 440 T tersebut, untuk kompetisi. “Kita harus terbiasa berkompetisi sejak awal. Dimulai dari tingkat kabupaten dan seterusnya. Dengan kompetisi pendidikan yang berjalan baik, semoga 5-10 tahun lagi kita menjadi lebih baik,” katanya.
Selain itu, Rizal mengatakan pemerintah juga harus bisa membuat terobosan bidang pendidikan tinggi. Dua terobosan itu menurut Rizal adalah memberikan tanah pada kampus, serta membebaskan pajak untuk kegiatan ekonomi kampus. Hal itu menurutnya akan mendorong kampus semakin berkualitas, karena mereka tidak terbebani biaya ‘hidup’ dan hanya memikirkan soal kualitas produk pendidikan yang dihasilkan.
“Kita harus membuat UU land grant (pemberian tahan pada universitas), agar universitas berdaya secara ekonomi. Sehingga, universitas tidak lagi harus bingung selalu menaikkan biaya kuliah dari waktu ke waktu. Dengan biaya kuliah murah, maka kesempatan masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi jauh lebih besar,” katanya.
Demokrasi Kriminal
Dalam kesempatan yang sama, Rizal mengkritik sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, saat ini demokrasi di Indonesia adalah sistem demokrasi kriminal. “Harus ada reformasi pendanaan parpol. Ke depan parpol dibiayai negara. Sehingga tugas parpol adalah mengubah demokrasi kriminal menjadi demokrasi yang amanah,” katanya.
Saat ini menurut Rizal, parpol ‘mencuri’ secara beramai-ramai keuangan negara. Uang tersebut sebagian kecil masuk ke parpol dan sebagian besar masuk ke kantong-kantong pribadi politisi. “Cukup dialokasikan Rp 40 triliun setahun, itu sudah bisa untuk mengubah roh parpol hari ini,” katanya.
Menurut Rizal, Indonesia tidak boleh hanya berbangga dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen semata. Menurutnya, ekonomi Indonesia bisa bertumbuh lebih dari itu hingga 7-8 persen.
“Ada syarat agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7-8 persen. Yaitu, model pembangunan tidak berlandaskan utang dan adanya kebijakan terobosan,” menurutnya.
Negara dibangun tidak menggunakan hutang, menurut Rizal sangat mungkin. Misalnya di Jepang, hingga tahun 1985, menurutnya, Jepang tidak pernah pinjam dari luar negeri. China, dalam sejarahnya pun nyaris tidak ada pinjaman luar negeri. Semua menggunakan kekuatan dari dalam,” katanya.
Adapun beberapa kebijakan terobosan menurut Rizal antara lain revaluasi aset BUMN, fokus menggarap wisata unggulan, menjadikan Indonesia lumbung pangan Asia, serta menghentikan kecanduan impor dari para pejabat.
“Di negara kita, ada pejabat yang kecanduan impor. Ini terjadi pada daging, beras, garam, dan gula. Ada the true scarcity (kelangkaan yangg sungguh-sungguh). Tapi belakangan juga ada artificial scarcity yaitu kelangkaan yang dibuat-buat misal garam di Madura, gula di Jatim, beras (impornya dilebihkan 1 juta ton). Itu hanya problem sindikasi impor,” katanya.
Dengan impor berlebih itu, menurut Rizal, potensi ekonomi negara dirugikan. Bahkan, pemerintah justru menghidupi petani-petani garam di Australia, atau petani padi di Vietnam dan Thailand.
“Pemerintah ini sekarang memompa uang ke luar negeri untuk asing dengan nilai sekitar Rp 24 triliun. Kami minta KPK untuk menyelidikinya. Dalam UU-nya, KPK tidak hanya menyelidiki kerugian keuangan negara, tetapi rupanya juga ada pasal bahwa jika tindakan itu merugikam ekonomi negara (petani dan konsumen) maka juga bisa diusut,” katanya.