JAKARTA, KOMPAS — Urbanisasi tidak dapat dihentikan dan dihindari. Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat urbanisasi dapat menyejahterakan warga yang tinggal di kawasan yang urban tersebut.
Pengertian urbanisasi secara sederhana adalah kawasan yang mengurban atau menjadi kota. Hal ini disebabkan oleh migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota dan memicu kota eksisting terus bertambah penduduknya dan berkembang. Juga karena pertambahan penduduk alami di dalam kota.
Selain itu, urbanisasi juga dapat terjadi di kawasan yang sebelumnya bukan kota, tetapi lantas bertransformasi menjadi kota karena berbagai hal, termasuk migrasi penduduk.
Ketua Dewan Eksekutif Kemitraan Habitat Wicaksono Sarosa, Rabu (24/10/2018), seusai The 2nd International Conference of Strategic and Global Studies di Universitas Indonesia mengungkapkan, pertumbuhan kota seharusnya memberi kesejahteraan dan keadilan bagi warganya. Namun, selama ini yang banyak terjadi, orang berpindah ke kota tanpa disertai keterampilan sehingga akhirnya muncul kemiskinan.
Pengertian urbanisasi, menurut Wicaksono, juga berlaku untuk desa yang bertransformasi menjadi kota. Ini terjadi pada banyak wilayah di pinggiran Jakarta ketika pengembang besar membangun kota mandiri di daerah yang sebelumnya merupakan desa dengan warga yang bertani. Warga asli di tempat itu yang tidak dibekali keterampilan memadai akhirnya terpinggirkan dan miskin.
”Persoalan di Indonesia adalah urbanisasi sangat sedikit membawa kesejahteraan. Ini terlihat dari angka setiap 1,0 persen urbanisasi di Indonesia berpengaruh terhadap kenaikan 4,0 persen GDP per kapita. Bandingkan dengan China yang kenaikan GDP-nya bisa naik 9,10 persen karena urbanisasi,” kata Wicaksana.
Saat ini, kata Wicaksono, 56 persen penduduk Indonesia hidup di perkotaan. Ke depan, pada 2035 diperkirakan jumlahnya meningkat hingga 67-70 persen.
Karena itu, semua pihak harus bersiap. Paradigma lama harus diubah. Pemerintah harus responsif, pihak swasta harus bertanggung jawab, dan sesama warga harus saling berempati. Semua orang tanpa terkecuali harus dapat mengakses pelayanan dasar.
Saat ini, Kemitraan Habitat tengah membahas kebijakan perkotaan nasional dengan pemerintah yang nantinya akan dituangkan dalam sebuah peraturan pemerintah. ”Kami mendorong penguatan metropolitan di luar Jawa sebab pulau Jawa, khususnya Jakarta, daya dukungnya sudah tidak memadai,” ujar Wicaksana. Untuk itu, perlu insentif dan disinsentif dari pemerintah pusat untuk bisa mendorong hal itu.
Sementara itu, Jane M Jacobs, Professor in Urban Studies Yale-National University of Singapore, mencermati bagaimana kota harus menjadi inklusif. Kota yang ideal adalah yang ramah bagi semua, termasuk kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan.
”Dalam segala aspek, kota harus mengakomodasi semua kepentingan. Ini bukan hanya bicara tentang mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Tetapi tentang yang baik untuk semua, yang mengakomodasi segala perbedaan,” ujar Jane.
Jane juga mengatakan, perlu ada perubahan kebijakan makro untuk membuat kota menjadi kota yang inklusif, yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai sistem, misalnya sistem transportasi, sanitasi. Dari sana, implementasi kemudian dilakukan dari hal yang paling mendasar.
Itu semua, kata Jane, berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) yang mencakup berbagai bidang kehidupan. Untuk itu, SDG pada implemenyasinya perlu diterjemahkan sesuai kondisi dan kebutuhan setiap negara.
Pengajar School of Strategic and Global Studies UI Mia Siscawati mengatakan, tema ICSGS tahun ini adalah mengenai ”Gender, Urban Space and Global Circulation”. Jender menjadi bahasan yang penting dalam pembangunan kota karena menyangkut berbagai aspek kehidupan.
”Selalu ada dimensi jender. Di perkotaan ini sangat penting dalam pengambilan kebijakan di mana selama ini kerap hanya berorientasi pada laki-laki, muda, dalam kondisi sehat. Padahal, itu tidak cukup mewakili kebutuhan seluruh warga kota,” kata Mia.