Akses Perempuan pada Teknologi Digital Masih Terbatas
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·2 menit baca
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ternyata belum banyak dinikmati oleh kaum perempuan dan anak perempuan di dunia. Berbagai kondisi masih menghambat perempuan untuk mengakses teknologi digital tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perempuan yang mengakses teknologi informasi dan komunikasi, termasuk teknologi digital, masih sangat terbatas dibandingkan dengan laki-laki.
Faktornya, selain karena minimnya pengetahuan, kondisi sosial ekonomi dan letak geografis, serta norma sosial, juga adalah kesenjangan upah dengan laki-laki. Di samping itu, masih banyak perempuan yang bergantung pada pasangannya.
”Dibandingkan dengan pria, hanya sekitar 33 persen perempuan yang menggunakan internet untuk bekerja,” ujar Tammy Kenyatta, Pejabat Bidang Politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, saat menjadi pembicara dalam The International Young Muslim Women Forum ”Finding Creative Ways for a Better World” yang digelar Fatayat Nahdlatul Ulama di Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Menurut Tammy, secara global baru sekitar 250 juta perempuan yang mengakses teknologi informasi dalam jaringan (daring), 1,7 miliar perempuan tak memiliki telepon genggam, dan perempuan yang menggunakan koneksi internet kurang dari 50 persen dari laki-laki.
Kesenjangan dalam mengakses teknologi digital bisa menjadi ancaman bagi kemajuan ekonomi, politik, dan sosial. ”Dunia membutuhkan teknologi inovatif, internet yang dapat diakses dan dioperasikan dengan mudah, dapat diandalkan, serta aman untuk semua orang,” katanya.
Para pembicara di The International Young Muslim Women Forum “Finding Creative Ways for a Better World” yang digelar Fatayat Nahdlatul Ulama di Jakarta, Kamis (25/10/2018). Tingkatkan akses
Kesenjangan tersebut bisa diatasi antara lain dengan cara meningkatkan dan menyediakan akses perempuan terhadap penggunaan TIK, termasuk meningkatkan keterampilan dan literasi pemanfaatan TIK kepada perempuan. “Selain itu bisa mengembangkan aplikasi dan konten yang disesuaikan dengan kebutuhan wanita,” ujar Tammy.
Tampil juga berbicara Abida Rafique dari Asian Resource Forum Kashmir/ARFK di Pakistan), Chusnunia Chalim (Bupati Lampung Timur), Badriyah Fayumi (Pemimpin Pesantren Mahasina Bekasi), Rozana Isa (Executive Director Sisters in islam Malaysia), dan Hilda Rolobessy (Fatayat NU Ambon).
Menurut Chusnunia perempuan mengalami beban ganda. Bahkan perempuan di wilayah pedesaan bertanggung jawab untuk semua urusan rumah tangga. "Isu kesetaraan jender belum menjadi isu seksi untuk dibicarakan," ujarnya.
Adapun Abida menyampaikan pengalaman ARFK dalam melakukan kampanye tentang perdamaian dan hak asasi manusia, berdialog dengan pemerintah dan berbicara di media.
ARFK juga mempromosikan pendidikan untuk anak-anak, hak anak, pemberdayaan perempuan, dialog antar agama, dan pengembangan para pemimpin muda.