JAKARTA, KOMPAS – Kurangnya pembangunan intelektual dan nilai-nilai kedaban semenjak masa kemerdekaan Indonesia mengakibatkan masyarakat tidak memiliki pegangan spiritual dan ideologi. Hal ini yang mengakibatkan mereka beralih ke paham islamisme untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan tanpa disadari terpapar terhadap gagasan antipersatuan dan kebangsaan.
“Pembangunan selalu dikonotasikan dengan infrastruktur, ekonomi, dan hal-hal bersifat material. Akibatnya, terjadi kekosongan pengayaan intelektual, spiritual, dan ideologi,” tutur cendekiawan muslim Fachry Ali pada diskusi “Globalisasi dan Pencarian Budaya Muslim” di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Ia menerangkan, tidak ada pembahasan mengenai nilai-nilai kebangsaan berdasarkan perspektif sejarah dan fraktor-faktor yang memengaruhinya seperti kesadaran beragama, semangat toleransi, bekerja sama, dan membangun prinsip kebangsaan Indonesia. Akibatnya, nilai-nilai ini perlahan dilupakan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di satu sisi, masyarakat mencari jalan keluar terkait berbagai permasalahan yang mereka hadapi.
“Permasalahan-permasalahan itu tidak bisa diselesaikan dengan statistik dan infrastruktur, melainkan melalui gerakan mencerdaskan bangsa yang sayangnya tidak dilakukan pemerintah. Oleh sebab itu, justru gerakan-gerakan islamis yang transnasional mengambil kesempatan dengan kesan membantu mendamaikan pikiran dan memberi solusi. Di saat yang sama, mereka menyebarkan paham anti Pancasila dan anti keindonesiaan,” kata Fachry.
Narasi nasionalisme
Menurut dia, pemerintah perlu mengembangkan narasi kebangsaan yang tidak bersifat primordialisme dan nativistik. Hendaknya narasi kebangsaan ini berlandaskan fakta-fakta sejarah bahwa budaya berbagai suku bangsa di Nusantara berkembang karena adanya berbagai persentuhan dengan masyarakat global seperti Arab, Portugis, China, Belanda, dan India.
Masyarakat Nusantara pada dasarnya sudah sangat kosmopolitan sejak berabad silam. Namun, sejarah ini terkubur dengan pandangan antikeragaman yang kemudian mengotak-kotakkan masyarakat. Lebih parah lagi, berbagai narasi kebangsaan yang dikembangkan kemudian malah sering dikaitkan dengan politik praktis.
“Harus ada penerapan nilai-nilai Pancasila yang tidak sempit. Saat ini, yang terjadi ialah banyak politisi mengaku mendukung Pancasila tetapi tetap melakukan korupsi,” ujar Fachry.
Korban globalisasi
Fachry menjelaskan, terjadinya krisis ekonomi akibat globalisasi membuat masyarakt dunia, ternasuk di negara-negara barat beralih kepada paham ekstrem kanan. Narasi mengenai ketakutan terhadap orang asing beserta masyarakat dan kebudayaan lain dikumnadangkan. Hal ini menciptakan sekat-sekat di masyarakat dengan premis mempertahankan kemurnian identitas maupun suku bangsa.
Penulis Ensiklopedia Cak Nur, Budhy Munawar-Rachman menjelaskan, islamisme lahir dari ketakutan tersebut yang dieksploitasi oleh organisasi-organisasi transnasional. Fungsi agama yang semestinya membawa kedamaian dan kerukunan antarumat manusia dibalikkan dengan menggunakan agama sebagai jurang pemisah.
“Mudahnya sebagian masyarakat terjerumus ke dalam islamisme dipengaruhi adanya sikap dan pemikiran intoleran yang berkembang di dalam diri selama ini,” ujar Budhy.
Oleh sebab itu, dialog antarumat beragama dan suku bangsa perlu dibuka sebanyak-banyaknya agar terjadi pertemuan dan komunikasi di masyarakat untuk menghilangkan stigma serta penghakiman. Selain itu, pemerintah beserta masyarakat juga perlu berhati-hati mengenal definisi islamisme beserta ciri-cirinya agar jangan sampai ekspresi keagamaan serta-merta diasosiasikan dengan islamisme. (DNE)