Pekerja Rumahan Merintis Langkah Awal Pengakuan
Keberadaan pekerja rumahan belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Eksistensi mereka dibenamkan demi menekan komponen ongkos produksi. Sementara perhatian terhadap nasib mereka masih minim. Peluncuran panduan penguatan pekerja rumahan dan organisasi pekerja rumahan untuk advokasi kerja layak, Kamis (25/10/2018), menjadi langkah awal untuk mendapat pengakuan.
Pekerja rumahan menurut Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 177 Tahun 1996 adalah seseorang yang mengerjakan pekerjaan dari perusahaan atau pemberi kerja. Pekerja rumahan melakukan pekerjaannya di rumahnya sendiri atau di tempat lain yang ia pilih yang bukan merupakan tempat dari pemberi kerja.
Konvensi ILO 1996 tersebut belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Akibatnya pekerja rumahan tidak diakui termasuk dalam kategori pekerja atau buruh. Dengan demikian, pekerja rumahan tidak memperoleh perlindungan hukum dan program pengaman sosial yang disediakan oleh pemerintah.
Direktur Semarak Cerlang Nusa-Crest (SCN Crest) –sebuah lembaga nirlaba untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial di Indonesia – Dini Anitasari Sabaniah, mengatakan, isu pekerja rumahan merupakan isu baru dalam gerakan sosial. Keberadaan pekerja rumahan selama ini sering dianggap tidak ada. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengakui secara eksplisit keberadaan pekerja rumahan.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara pekerja rumahan dengan pekerja pada umumnya. Pekerja rumahan khususnya perempuan, di samping mendapat upah dan kondisi kerja tidak layak juga rentan menjadi korban kekerasan. Karena pekerjaan dilakukan di rumah, banyak pihak yang menganggap mereka tidak bekerja, melainkan hanya mengisi waktu luang.
Tidak seperti pekerja pada umumnya, hubungan antara pekerja rumahan dengan pemberi kerja atau perusahaan bersifat informal. Tidak ada kontrak kerja resmi. Mereka diupah jauh di bawah upah minimum kabupaten/provinsi, bahkan tidak memiliki jaminan sosial. Artinya, hak-hak mereka rentan diabaikan.
Penelusuran SCN-Crest menemukan banyak di antara pekerja rumahan merupakan pencari nafkah utama di keluarganya. Beberapa di antaranya bahkan merupakan orangtua tunggal. Meski belum ada angka pasti, akan tetapi jumlah pekerja rumahan di Indonesia diperkirakan kurang lebih sekitar 5 juta orang.
Beberapa situasi yang mendorong perempuan memilih menjadi pekerja rumahan karena mereka harus mengurus keluarga. Tanggungan itu membuat mereka tidak bisa meninggalkan rumah, sementara di satu sisi mereka menjadi tulang punggung keluarga. Oleh sebab itu, pilihan menjadi pekerja rumahan merupakan sebuah bentuk kompromi.
Jam kerja panjang
Situasi ini digunakan sejumlah pemberi kerja untuk merekrut pekerja rumahan dengan upah yang rendah dan jam kerja panjang. Menurut penelitian skala kecil yang dilakukan ILO pada 2013 di Indonesia menunjukkan, pekerja rumahan pada umumnya bekerja dengan jam kerja panjang dan memiliki volume produk yang besar untuk diselesaikan dalam waktu singkat.
Penelitian tersebut juga menemukan rata-rata jam kerja pekerja rumahan lebih panjang dari pada rata-rata jam kerja perempuan di angkatan kerja. Pekerja rumahan bekerja antara 6 hingga 7 hari per minggu selama rata-rata 6 hingga 7 jam per hari. Di Indonesia, rata-rata jam kerja per bulan adalah 42 jam, dengan pekerja yang bekerja antara 5 hingga 6 hari per minggu selama 8 jam per hari.
Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan Budi Wahyuni mengatakan, kondisi kerja yang dijalani pekerja rumahan berpotensi menjurus pada praktik eksploitasi. Menurut Wahyuni, pemberi kerja memanfaatkan momentum bahwa perempuan khususnya ibu rumah tangga membutuhkan pekerjaan yang memungkinkannya mengurus keluarga dalam waktu yang bersamaan.
Wahyuni mengapresiasi peluncuran panduan tersebut. Namun, ia menilai tetap perlu ada advokasi lanjutan agar terdapat payung hukum bagi pekerja rumahan. Payung hukum yang diharapkan minimal setingkat peraturan menteri (Permen).
“Ini adalah jurus yang sangat jitu untuk membangkitkan semangat perempuan agar bersedia menerima tawaran. Keluwesan waktu dan target menjadi iming-iming perusahaan untuk menggaet pekerja rumahan,” kata Wahyuni.
Pada titik ini perlu dipahami secara menyeluruh mengenai jam kerja dan target yang harus dikerjakan pekerja rumahan. Wahyuni menjelaskan, meski dapat dikerjakan di rumah, pemberi kerja tetap memberikan target yang harus dipenuhi pekerja rumahan. Akibatnya, pekerja rumahan kerap harus bekerja lembur di rumah karena terbatasnya waktu antara mengurus rumah tangga dan kewajiban mengejar target.
Survei ILO pada 2015 di 6 provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten menunjukkan kondisi kesehatan perempuan. Menurut survei tersebut, pekerja rumahan banyak yang memiliki keluhan kesehatan meliputi demam, pusing, sakit pingang, infeksi, batuk, dan sesak napas. Kondisi kesehatan mereka menurun karena dikejar target dan bekerja melebihi jam kerja agar mendapat upah yang lebih besar.
Panduan
Anitasari menyampaikan, penerbitan panduan penguatan pekerja rumahan dan organisasi pekerja rumahan untuk advokasi kerja layak menjadi penting karena isu ini belum banyak diangkat. Panduan tersebut bisa menjadi modal bahan untuk para pekerja rumahan dan lembaga pekerja rumahan meningkatkan kapasitas mereka.
Panduan disusun SCN-Crest yang bekerja bersama program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan) sejak April 2018. Penyusunan juga melibatkan 4 mitra MAMPU, yaitu Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA), Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), dan Trade Union Rights Centre (TURC).
Lebih lanjut Anitasari menjelaskan, tujuan utama diterbitkannya panduan tersebut agar pekerja rumahan mampu mendorong terwujudnya lingkungan kerja layak dan kesejahteraan pekerja rumahan, khususnya perempuan.
Buku panduan itu terdiri dari 13 panduan yang terbagi ke dalam 4 bagian. Bagian pertama membahas terkait panduan perspektif. Panduan perspektif terdiri dari panduan perspektif kesetaraan dan keadilan jender, panduan kepentingan terbaik anak, panduan keadilan sosial, dan panduan perspektif keselamatan dan kesehatan kerja.
Bagian kedua merupakan panduan inti. Bagian ini terdiri dari panduan organisasi dan pengorganisasian dan panduan advokasi untuk penegakan dan perubahan hukum serta kebijakan bagi pekerja rumahan. Kemudian pada bagian ketiga adalah panduan penunjang. Lalu bagian keempat atau bagian terakhir, yaitu panduan evaluasi.
Anitasari berpendapat, penerbitan panduan penguatan pekerja rumahan dan organisasi pekerja rumahan untuk advokasi kerja layak menjadi penting karena isu ini belum banyak diangkat. Panduan tersebut bisa menjadi modal bahan untuk para pekerja rumahan dan lembaga pekerja rumahan meningkatkan kapasitas mereka.
“Sehingga mereka menjadi kritis dan sadar bahwa keberadaannya itu seharusnya diakui,” ujar Dini.
Upaya pekerja rumahan untuk diakui sebagai pekerja kebanyakan akan mengubah perspektif orang terhadap mereka. Jika pekerja rumahan pada akhirnya diakui sebagai pekerja, maka akan ada implikasi terhadap pemberi kerja. Mereka harus memenuhi hak-hak pekerja rumahan. Kondisi tersebut tetunya tidak menguntungkan bagi pemberi kerja. Hal itulah yang diakui Dini menjadi tantangan terberat bagi perjuangan pekerja rumahan.
Direktur Eksekutif Yasanti, Amin Muftiyanah, menjelaskan, pihaknya melakukan diskusi bersama untuk menyusun materi panduan. Kesetaraan dan keadilan jender menjadi materi awal karena mereka menilai persoalan pekerja rumahan bersumber dari sana.
Adapun beberapa materi panduan salah satunya membahas pengelolaan pengetahuan pekerja rumahan. Menurut Amin, selama ini pekeraja rumahan hanya mendapatkan wawasan dan pengetahuan yang terbatas. Bahkan kadang kadang pengetahuan itu tidak terkelola dengan baik. Sehingga perlu ada pengelolaanpengetahuan yang lebih sistematis dan terstruktur.
Selain itu ada strategi keberlanjutan untuk mewujudkan kemandirian pekerja rumahan dan organisasi pekerja rumahan.
“Di sini dijelaskan pentingnya menemukan cara tepat mendokumentasikan data atau informasi,” katanya.
Pada akhirnya, SCN-Crest maupun mitra-mitra mereka sepakat, panduan hanyalah cara untuk meraih pengakuan dari publik. Pengakuan itu penting bagi jutaan pekerja rumahan di Indonesia. Hanya dengan cara itu mereka dapat memperjuangkan kepentingannya untuk meraih tujuan yang jauh lebih besar, kesejahteraan sosial.