DPR berhasil membuat publik yang hadir di Rapat Kerja Komisi VII DPR bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terkekeh kesal. Satu jam pertama rapat terbuang hanya untuk menentukan jadi tidaknya rapat membahas pemaparan Menteri ESDM tentang pembatalan kenaikan harga bahan bakar minyak premium. Layaknya drama dengan twist ending, raker yang biasanya dilaksanakan terbuka akhirnya dinyatakan tetap berjalan, tetapi tertutup dari jangkauan publik.
Rabu (24/10/2018) siang, rapat dimulai terlambat sekitar 20 menit dari jadwal pukul 14.00 WIB yang telah disepakati. Setelah sempat tertunda dua pekan karena Menteri ESDM Ignasius Jonan berhalangan hadir, agenda pertama raker itu adalah mendengarkan pemaparan Jonan terkait alasan pembatalan kenaikan harga premium yang ditetapkan pada 10 Oktober 2018. Agenda kedua, penyesuaian Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) 2019 sesuai hasil pembahasan Badan Anggaran DPR.
Ridwan Hisjam dari Partai Golkar bertindak sebagai pemimpin rapat. ”Premium sempat diumumkan naik, tetapi langsung dibatalkan 44 menit kemudian. Kebijakan tersebut dapat menjadi preseden yang kurang baik dalam kehidupan bernegara. Apalagi, premium menyangkut hajat hidup banyak orang. Karena itu, mari kita dengarkan paparan dari Bapak Menteri,” ujar Ridwan memulai, kemudian membuka rapat dengan tiga kali ketokan palu.
Pemaparan Jonan tertunda. Yulian Gunhar dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan gesit menekan tombol on/off mikrofon dan menyerukan interupsi. Ia mempertanyakan, mengapa agenda tersebut harus dibahas. Sebab, rapat kerja seharusnya tidak dilakukan hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu anggota dewan.
Adian Napitupulu, juga dari Fraksi PDI-P, menggemakan penolakan ini. ”Rapat harus punya urgensi. Apa alat ukurnya bahwa ini penting? Kalau tidak ada kerugian, tidak ada pelanggaran etika, kita lewati saja!” serunya.
Ridwan mengingatkan, agenda tersebut telah disepakati, jadi lebih baik raker tetap mendengarkan paparan Jonan. Anggota Fraksi Partai Gerindra, Kardaya Warnika, berpendapat, agenda rapat kerja yang telah tertunda dua minggu itu sebaiknya tetap dibahas.
”Boleh saja orang menganggap ada atau tidak ada dampaknya. Tetapi, BBM menguasai hajat hidup banyak orang dan pengelolaannya harus memenuhi prinsip-prinsip, seperti transparan dan terjangkau. Kita perlu kepastian dari pemerintah, jadi ya kita dengarkan saja. Lagi pula, rapat ini kita yang memutuskan, masak kita sendiri yang membatalkan?” ujar Kardaya.
Premium—bahan bakar bernilai oktan 88 yang diimpor dari beberapa negara—memang berpengaruh pada hidup rakyat Indonesia. Namun, menurut data Indexmundi.com, rerata harga minyak Brent, WTI, dan Dubai menunjukkan tren meningkat, dari 66,23 dollar AS per barrel pada Januari 2018 menjadi 75,36 dollar AS per barrel pada September 2018. Pada saat yang sama, rupiah telah melemah melampaui Rp 15.000 sejak awal Oktober 2018.
Jonan pun menyatakan, harga premium akan dinaikkan menjadi Rp 7.000 per liter dari Rp 6.450 pada 10 Oktober, tetapi rencana tersebut segera dibatalkan. Padahal, dengan alokasi premium sebanyak 11,8 kiloliter untuk tahun 2018, Pertamina harus menanggung beban Rp 23,6 triliun (Kompas, 4 Oktober 2018). Pemerintah menghadapi dilema karena kenaikan harga premium dapat menyebabkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, terutama terhadap barang-barang kebutuhan pokok.
Kendati demikian, pembahasan tersebut tak muncul dalam kesengitan perdebatan yang berlangsung. Dengan alasan tambahan bahwa agenda raker ”sudah basi”, Adian, Yulian, dan beberapa anggota DPR lainnya ngotot pemaparan Jonan dilewati. Kardaya, dibantu rekan separtainya, seperti Ramson Siagian, bersikeras agenda terus berjalan.
Ridwan sempat mempertanyakan, mengapa saat rapat internal Komisi VII sebelum raker tidak ada satu pun anggota dewan yang mengusulkan pembatalan agenda. Sekonyong-konyong, Maman Abdurrahman dari Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar agenda tetap berlangsung, tetapi dilaksanakan secara tertutup.
”Ini untuk mencegah tumbuhnya opini-opini di luar sana. Kita ini anggota DPR, berhak menentukan rapat tertutup. Tugas kita pula menjelaskan hasil rapat kepada rakyat,” ujarnya setelah berkali berupaya menginterupsi.
Suara itu didukung satu-satunya anggota dewan perempuan yang bersuara, Ari Yusnita dari Fraksi Partai Nasional Demokrat. Ia mengingatkan perdebatan sudah berlarut-larut. ”Harusnya, sih, agenda ini dibahas tertutup. Kalau enggak, lebih baik voting,” katanya.
Mulai gerah mendengarkan debat tak berujung selama 45 menit, anggota dewan lainnya mulai mendesak Ridwan mengambil suara. Ridwan pun akhirnya menskors rapat selama 15 menit untuk berunding dengan beberapa pihak. Setelah rapat dimulai kembali, ia berubah pikiran dan memutuskan pemaparan Jonan dilaksanakan secara tertutup tanpa memberikan alasan.
Bambang Haryadi dari Fraksi Gerindra mempertanyakan keputusan itu. ”Rapat kan tadi sudah dibuka, kenapa diubah di tengah jalan? Kenapa keberatan kalau publik terbuka? Jangan sampai publik bertanya-tanya,” ujarnya didukung Kardaya dan Ramson.
Menurut Pasal 247 Ayat 1 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, rapat terbuka yang tengah berlangsung memang dapat diubah menjadi tertutup. Ramson dan Kardaya menyatakan, raker biasanya terbuka kecuali membahas perseorangan. Tidak puas dengan putusan pasca-skors, Fraksi Gerindra memutuskan walk-out. Para wartawan yang bertugas melaporkan isi rapat kepada publik juga terpaksa keluar.
Lebih kurang 30 menit, pintu ruang rapat kembali dibuka untuk publik. Di luar dugaan, ternyata raker telah berakhir. Para anggota dewan yang tadinya berdebat sengit tidak lagi terlihat. Wartawan pun segera mencari Jonan untuk meminta keterangan, tetapi ia menghindar. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pun hanya menjawab, ”Saya ada janji dengan orang,” sambil berlalu.
Akhirnya, pertanyaan mengapa harga premium batal naik tak terjawab, padahal premium menyangkut hajat hidup banyak orang. Tidak ada anggota DPR yang berusaha menjelaskan, sedangkan aksi walk-out Fraksi Gerindra tak banyak membantu. Meski tiada berita, setidaknya publik yang hadir terhibur oleh twist ending di teater kompleks parlemen. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)