Defisit produksi beras diperkirakan meningkat pada kurun Oktober-Desember 2018. Perum Bulog menjamin stok beras cukup dan akan menambah volume penyaluran dalam operasi pasar.
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga beras diperkirakan terjadi bertahap pada akhir Oktober 2018-Februari 2019. Pemerintah dan pemangku kepentingan dinilai perlu mewaspadai dan mengantisipasinya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdulah, kepada Kompas, Kamis (25/10/2018), mengatakan, sebagian besar dari 2,85 juta ton perhitungan surplus beras tahun ini ada di rumah tangga produsen. Artinya, beras itu akan dijadikan simpanan dan tidak diperdagangkan di pasar.
Perum Bulog akan sulit menyerap beras yang berada di rumah tangga produsen karena terikat ketentuan penyerapan beras, seperti harga dan kadar air. Di sisi lain, pada Oktober-Desember 2018 terjadi defisit produksi beras. ”Artinya, pasokan beras di pasar akan semakin berkurang sehingga menyebabkan kenaikan harga beras. Di sisi lain, Perum Bulog akan kesulitan menambah stok lagi hingga panen musim tanam pertama,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, surplus beras tahun 2018 sebesar 2,85 juta ton. Sebanyak 44 persen di antaranya ada 14,1 juta keluarga petani atau rumah tangga produsen. Sementara 3 persen lainnya di rumah tangga konsumen.
Defisit beras selama 2018 terjadi pada Januari 960.000 ton, Oktober 99.000 ton, November 1,23 juta ton, dan Desember 1,29 juta ton. Menurut Rusli, melihat pola harga gabah yang selalu meningkat pada akhir tahun, ada moral hazard untuk memanfaatkan situasi sehingga perlu ketegasan Satuan Tugas Pangan.
Dalam jangka panjang, pemerintah tidak boleh berhenti pada menyediakan data produksi, tetapi juga memantau peredaran dan jumlah beras yang keluar dari penggilingan padi per daerah. ”Penghitungan konsumsi dan stok di tiap daerah penting dilakukan agar jika ada kelebihan stok di satu daerah lain bisa dipakai menyuplai daerah lain yang kekurangan,” ujarnya.
Operasi pasar
Direktur Utama PT Food Stasion Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi mengatakan, saat ini stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, masih normal, yakni sekitar 48.000 ton. Stok itu di atas batas aman 30.000 ton per bulan.
Kendati demikian, stok beras akhir Oktober ini hingga Februari 2019 diperkirakan berkurang 10.000 ton-15.000 ton per bulan. Hal itu perlu diantisipasi dengan operasi pasar, terutama jika harga beras medium naik 10 persen dari harga normal pasar, yaitu Rp 8.600-Rp 8.900 per kg.
”Kami akan bekerja sama dengan Perum Bulog untuk menyediakan stok 75.000-100.000 ton per bulan selama Oktober 2018-Februari 2019,” katanya.
Arief menambahkan, harga beras medium di PIBC dan pasar-pasar tradisional mulai bergerak naik. Di PIBC, harga beras medium naik di kisaran Rp 50-Rp 100 per kg, sedangkan di pasar tradisional Rp 500-Rp 1.000 per kg.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh menyebutkan, penyaluran beras untuk operasi pasar saat ini sekitar 2.000 ton per hari. ”Meski tak signifikan, angka penyaluran meningkat, operasi mulai menyasar sentra produksi, seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Barat,” kata Tri saat dihubungi, Kamis (25/10/2018).
Berdasarkan pengalaman, operasi pasar beras tertinggi pada Januari bisa mencapai 5.000 ton- 6.000 ton per hari. ”Hingga awal tahun kami jamin stok Perum Bulog cukup,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, berpendapat, pemerintah perlu memperhatikan stok beras awal tahun 2019 yang secara keseluruhan diperkirakan 4,1 juta ton. Angka stok awal sebesar itu dinilai tergolong rawan untuk kebutuhan dua bulan pertama sebab rata-rata konsumsi beras nasional mencapai 2,5 juta ton per bulan.