Menyikapi keberatan yang diajukan warga atas pajak, Pemprov DKI Jakarta mengabulkan keringanan pajak untuk sekitar 8.000 warga pemohon.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·2 menit baca
Menyikapi keberatan yang diajukan warga atas pajak, Pemprov DKI Jakarta mengabulkan keringanan pajak untuk sekitar 8.000 warga pemohon.
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 8.000 keberatan pajak yang diajukan warga kepada Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta dikabulkan. Total nilai keringanan pajak sekitar Rp 80 miliar. Sebagian besar merupakan keberatan atas besarnya pajak bumi dan bangunan, dampak dari kenaikan nilai jual obyek pajak tahun ini.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta Faisal Syafruddin mengatakan, keberatan atas nilai pajak ini merupakan hak wajib pajak. Keberatan-keberatan itu diakomodasi berdasarkan peraturan yang berlaku.
”Sesuai peraturan, keberatan itu diteliti, apakah memang wajib pajak yang kurang mampu atau alasan lainnya. Nanti ada tabel keringanan, termasuk juga bagi warga yang keberatan karena nilai pajak dirasa terlalu tinggi,” katanya seusai meluncurkan pusat informasi (call center) pajak daerah DKI Jakarta di kantor BPRD DKI Jakarta, Jumat (26/10/2018).
Menurut Faisal, pemberian keringanan pajak hingga Rp 80 miliar itu belum akan mengganggu penerimaan pajak daerah DKI Jakarta. Pengurangan bisa ditutup dengan penerimaan pajak dari sektor lain.
Hingga akhir Oktober 2018, penerimaan pajak daerah DKI sekitar Rp 30,99 triliun atau sekitar 81 persen dari target penerimaan pajak daerah tahun 2018 sebesar Rp 38,125 triliun.
Tunggakan terbanyak adalah pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Faisal optimistis, dalam dua bulan yang tersisa ini, pemasukan pajak dapat mencapai target.
Pemprov DKI menaikkan nilai jual obyek pajak (NJOP) bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan lewat Peraturan Gubernur Nomor 24 Tahun 2018.
Warga di beberapa kawasan keberatan dengan tingginya kenaikan PBB akibat kenaikan NJOP tersebut dan mengajukan keberatan kepada Pemprov DKI.
Perbarui zonasi
Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta Santoso mengatakan, sampai saat ini DKI belum memperbarui zonasi pajak. Zonasi pajak masih menggunakan zonasi lama yang sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini.
Akibatnya, banyak warga keberatan saat kenaikan NJOP sebab permukiman warga yang biasanya berada di belakang kawasan komersial ikut terimbas. Padahal, banyak perkampungan di belakang kawasan komersial justru merupakan permukiman padat dan kurang mampu.
Masalah ini terjadi sejak kenaikan NJOP pada 2014. ”Saat itu kenaikan sangat tinggi, 200-300 persen. Kami sebenarnya sudah ingatkan sejak lima tahun lalu untuk perbarui dulu zonasi pajak sebelum menaikkan,” katanya.
Menurut Santoso, keringanan pajak yang terlalu besar dinilai tidak sehat untuk keuangan daerah. Ini disebabkan seluruh fiskal seharusnya dihitung secara akurat, sesuai dengan pertumbuhan ekonomi daerah dan daya beli warga.
Untuk itu, lanjut Santoso, Pemprov DKI Jakarta perlu segera memperbarui zonasi pajaknya.