Dua pengusaha muda asal Bandung, Jawa Barat, Jovian Agustinus dan Tania Christanty, tanpa ragu menjatuhkan pilihan pada bisnis sayur-mayur. Produk mereka berkualitas tinggi, dipasarkan secara daring, dan diterima di pasar swalayan, bahkan mampu bersaing dengan sayur-mayur impor.
Pengunjung belum membeludak, pagi-pagi benar Jovian telah datang di gerai dan turut menyiapkan sejumlah jenis sayuran dan buah-buahan untuk ditata secara menarik pada acara Keuken, festival kuliner tahunan di Lapangan Yonkav 4, Bandung, Minggu (5/8/2018). Tema yang diusung dalam festival ke-9 itu ”Delightful Discoveries”.
Sejumlah sayuran dibungkus rapi dengan plastik, antara lain bayam, kale curly, kale nero, pakcoi, caisim, selada, brokoli, seledri, dan bawang daun. Selain itu juga kol ungu, kol putih, jahe, kunyit, ubi, ubi ungu, jagung manis, serta buah-buahan, antara lain semangka, nanas, pepaya, lemon, dan jeruk.
”Sampai saat ini ada lebih kurang 20 jenis sayuran yang kami produksi dengan sistem budidaya hidroponik dan organik, termasuk buah-buahan,” ujar Jovian.
Ia menceritakan, bisnis ini mulai dirintis tahun 2012 dengan menyewa lahan seluas 2.000 meter persegi milik warga di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, selama dua tahun. Biaya sewanya Rp 25 juta per tahun. Awalnya, jenis sayuran yang ditanam adalah brokoli dan terong jepang, sesuai permintaan pasar.
Menurut Jovian, sejak kuliah di Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), dirinya memang menaruh minat pada bidang agrobisnis. Bersama teman kuliah, dia mencoba membuat pupuk dengan riset mandiri tahun 2009. Mereka membuat pupuk organik cair yang diperkaya mikrobakteri.
Semula pupuk dibuat untuk dijual kepada petani, termasuk petani kentang di Garut, Jawa Barat. Namun, produksi tersendat karena kendala pemasaran dan harus bersaing dengan produsen besar hingga akhirnya untuk kebutuhan sendiri.
Jovian fokus pada budidaya sayur-mayur. Baginya, bisnis di bidang ini sangat prospektif dengan mempertimbangkan lahan pertanian yang makin sempit, sementara jumlah penduduk makin banyak dan kebutuhan pangan terus meningkat.
Jovian memilih sistem hidroponik yang ramah lingkungan. Budidaya tanaman dengan air sebagai media tanam. Sistem ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi (unsur hara) tanaman. Pestisida dihindari. Dengan cara ini, pertumbuhan tanaman relatif lebih cepat dengan hasil yang lebih bagus.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tingkat pendidikan yang makin tinggi, penduduk cenderung semakin selektif dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Permintaan makin tinggi terhadap bahan pangan yang baik, sehat, dan berkualitas. Masyarakat juga ingin tahu latar belakangnya, di antaranya terkait lokasi penanaman dan proses budidayanya. Tuntutan ini yang kemudian dibidik melalui sistem hidroponik dan organik.
Menambah mitra
Dari usaha di Lembang, bisnis Jovian berkembang. Pemilik lahan tertarik, lalu jadi mitra. Jovian juga mendapat mitra di kawasan Bogor, Jawa Barat, hingga total lahan yang dikelolanya jadi 1 hektar.
”Kami juga bermitra dengan 10 petani di sekitar kebun, terutama untuk memenuhi permintaan untuk jenis sayuran yang belum kami produksi, termasuk buah-buahan. Namun, kami beri pendampingan dan penyuluhan kepada petani terlebih dulu sebab sasaran pasar produk kami adalah supermarket yang menuntut kualitas tinggi juga kemasan yang baik,” tuturnya.
Seluruh produk petani mitra dipasarkan langsung ke supermarket. Cara ini memperpendek rantai distribusi sehingga harga jual di petani bisa lebih tinggi. Keuntungan dan kesejahteraan petani pun terdongkrak.
Produk sayur-mayur Jovian-Tania juga dipasarkan secara daring, antara lain lewat Facebook dan Instagram. Label produk mereka GreGonic.id dengan slogan ”Good Product, Good Process, and Good Service”. ”Penjualan secara daring juga memotong jalur distribusi sehingga keuntungan lebih besar,” ujarnya.
Tahun 2016, bisnis Jovian-Tania makin berkembang, luas lahan yang dikelola bertambah sekitar 5 hektar di kawasan Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Sayur-mayur produksi Jovian-Tania selalu terserap pasar. Sayuran yang kualitasnya tidak memenuhi standar pasar swalayan dijual ke pasar tradisional. Namun, jumlahnya tak sampai 10 persen dari total produksi.
Prospektif
Jovian mendorong generasi muda untuk tidak ragu terjun di bidang agrobisnis. ”Prospeknya sangat menjanjikan karena permintaan akan bahan pangan sangat besar. Namun, yang penting jangan sambilan, harus penuh totalitas. Ada rekan bisnis saya yang mampu menghasilkan rata-rata 30 ton per bulan untuk memasok supermarket. Namun, jumlah itu pun masih kurang, baru memenuhi 60 persen kebutuhan,” tutur Jovian.
Tania menambahkan, pasar kini tengah meminati sayur kale. Permintaannya relatif tinggi. Harga kale lebih tinggi dibandingkan jenis sayuran lain, yaitu Rp 9.000 per 200 gram, sedangkan sayuran lain seperti bayam Rp 7.500 per 250 gram. ”Kale dinilai tinggi antioksidannya. Umumnya dikonsumsi dengan dibuat jus,” ujarnya.
Menurut Tania, perputaran uang dalam bisnis sayur relatif cepat, sementara masa budidayanya 2-3 bulan. Namun, perhitungan harus matang, terutama terkait pemasaran sebab sayur-mayur tak tahan lama karena akan busuk.
Selain tengah menjajaki pemasaran ke hotel dan restoran di Batam serta supermarket di Jakarta, keduanya berencana memperluas area penanaman di Ciwidey, Kabupaten Bandung. Mereka juga menjajaki kemitraan dengan pemilik lahan di Sukabumi, Jawa Barat, untuk penanaman pisang dan lemon.