TANGERANG, KOMPAS - Kolaborasi antar intansi pemerintah dan pengusaha berkomitmen mendorong peningkatan ekspor furnitur, perikanan, dan tekstil. Dua strategi yang ditempuh adalah memanfaatkan celah perang dagang Amerika Serikat-China dan negara-negara tujuan ekspor baru.
Hal itu mengemuka dalam dua agenda Trade Expo Indonesia 2018 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Jumat (26/10/2018). Kedua agenda itu adalah International Furniture and Craft Summit 2018 dan Business Matching and Counseling for Fisheries Sector.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, furnitur dan perikanan merupakan dua sektor unggulan ekspor manufaktur. Keduanya berbahan baku lokal, sehingga tidak memerlukan impor bahan baku yang besar.
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembauran pemasaran, mulai dari membuat desain sesuai dengan permintaan atau selera pasar hingga promosi. Khusus furnitur, Indonesia memiliki kekhasan, yaitu buatan tangan.
“Upaya kedua adalah memanfaatkan celah perang dagang AS-China. Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) telah memanfaatkan celah perang dagang itu, sehingga ekspor TPT pada tahun ini meningkat 25 persen. Caranya adalah Indonesia membeli bahan baku kapas, sedangkan AS meningkatkan pembelian TPT Indonesia,” ujarnya.
Enggartiasto juga berharap pelaku usaha bekerja sama dengan pemerintah menggarap pasar-pasar nontradisional. Pasar-pasar baru itu antara lain Afrika, Euroasia, Timur Tengah, Asia Selatan, dan ASEAN.
Ketua Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Anggoro Ratmadiputra mengatakan, belakangan ini ekspor furnitur berada dalam kondisi stagnan. Nilainya pada tahun ini diperkirakan 1,8 miliar dollar AS atau kurang lebih sama dengan ekspor tahun lalu.
Selain kalah bersaing dengan sejumlah negara penghasil furnitur, kenaikan biaya logistik menjadi kendala. Tidak hanya biaya logistik ke luar negeri yang mahal, tetapi di dalam negeri juga mahal.
“Pembangunan infrastruktur memang telah dilakukan, sehingga ke depan diharapkan biaya logistik kontainer ke Aceh tidak lebih mahal dari biaya ke Singapura,” kata dia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), tren pertumbuhan eskpor furnitur dari 2013-2017 kecil, yaitu sebesar 4,4 persen. Nilai ekspor furnitur kayu, rotan, dan bambu pada 2013 sebesar 1,29 miliar dollar AS, dan pada 2017 sebesar 1,36 miliar dollar AS.
Negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor furnitur Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), Jepang, Belanda, Inggris, dan Jerman. Ekspor furnitur kita ke lima negara tersebut berkontribusi lebih dari 64 persen ekspor furnitur di 2017.
Adapun perwakilan Asian Furniture Industries Council Ernie Koh menyatakan, kolaborasi antara negara-negara penghasil furnitur sangat diperlukan. Hal itu baik dalam hal diversifikasi produk, pengembangan produk-produk khas masing-masing negara, maupun menembus pasar-pasar baru. Upaya itu perlu dilakukan agar Asia dapat masuk dalam 4 besar ekonomi dunia pada 2030.
Tantangan ekspor perikanan
Dalam forum dialog bisnis sektor perikanan terungkap, banyak negara meminati produk ikan segar dan olahan Indonesia. Namun, ada pebisnis dari sejumlah negara yang menghadiri forum tersebut mengeluhkan kualitas dan harga produk ikan Indonesia yang relatif mahal ketimbang negara lain.
Wakil Ketua Umum Kelautan dan Perikanan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yugi Prayanto mengatakan, beberapa pembeli potensial itu antara lain berasal dari Serbia, Rusia, Afrika, Bangladesh, dan Tunisia. Namun, ekspor perikanan ke negara-negara itu tergantung dari yang diperlukan pembeli.
Kerap kali negara-negara itu memiliki kriteria yang bermacam-macam dan berbeda-beda, seperti standardisasi produk. Kendati sudah melalui pengecekan dan karantina di Indonesia, mereka memiliki standar sendiri.
“Misalnya negara-negara di Uni Eropa, mereka memiliki prosedur sendiri. Salah satunya adalah mengecek pabrik produksi ikan yang berada di Indonesia. Dalam pengecekan itu, mereka menemukan ada yang bagus dan ada yang tidak bagus. Nah, kadagkala mereka memukul rata. Ada satu atau dua pabrik yang tidak bagus, mereka pukul rata semuanya tidak memenuhi persyaratan,” ujarnya.
Yugi menambahkan, tantangan yang lainnya adalah harga ikan segar dan produk olahan ikan Indonesia lebih mahal dari negara-negara lain. Hal itu terjadi karena Indonesia sedang menerapkan perizinan yang ketat untuk menangkap ikan di laut. Ketika permintaan banyak sementara hasil laut sedikit, harga ikan segar akan meningkat.
“Tantangan lainnya adalah perlunya mengekspor komoditas perikanan yang bernilai tambah tinggi, seperti surimi dan ikan dalam kaleng. Untuk itu, investasi pabrik pengolahan ikan di wilayah-wilayah penghasil ikan perlu ditumbuhkan,” ujarnya.
Kemendag mencatat, Indonesia masih banyak mengekspor ikan segar, ketimbang ikan olahan ke pasar dunia. Pada 2017, nilai ekspor ikan dan kompditas perikanan lainnya (ikan beku, ikan segar, ikan, dan ikan hias) sebesar 1,07 miliar dollar AS. Adapun ekspor ikan olahan pada 2017 sebesar 514 juta dollar AS.