Di masa mendatang, dan itu sudah dimulai dari sekarang, perebutan energi kian ketat, khususnya di Asia. Indonesia, menurut anggota Dewan Energi Nasional, Tumiran, harus bersaing dengan para raksasa konsumsi energi, yakni India dan China. Diversifikasi energi harus dimulai dari sekarang.
Bagaimana ketahanan energi kita? Untuk bahan bakar minyak (BBM), stok yang dimiliki PT Pertamina (Persero) cukup untuk persediaan 20-26 hari. Artinya, tanpa produksi dan impor, persediaan yang ada hanya cukup memenuhi kebutuhan nasional selama kurang dari sebulan. Lewat dari itu, lumpuh.
Listrik, kondisinya sedikit lebih baik. Batubara masih menjadi tulang punggung utama sistem pembangkitan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dengan cadangan melimpah yang disebut-sebut cukup sampai 60 tahun mendatang, ketersediaan batubara bisa dibilang aman untuk kebutuhan pembangkit listrik.
Namun, ketergantungan terhadap konsumsi BBM belum bisa tergantikan sepenuhnya. Apalagi, Indonesia juga bergantung pada impor. Setengah dari konsumsi BBM nasional yang sebanyak 1,4 juta barrel per hari harus diimpor.
Kemampuan impor dipengaruhi sejumlah faktor, seperti harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Harga minyak melambung dan posisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS terbukti menyumbang defisit pada neraca perdagangan.
Masukan agar Indonesia mengantisipasi ketergantungan pada minyak mengemuka dalam diskusi "World and Indonesia Energy Outlook 2018" di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian beberapa waktu lalu. Dalam paparan yang disampaikan Group Chief Economist BP Global Spencer Dale dan Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi, disebutkan, persaingan memperoleh energi di masa mendatang kian ketat seiring pertumbuhan penduduk dan geliat ekonomi.
Kajian BPPT menyebutkan, konsumsi energi nasional meningkat drastis dari 795 juta barrel setara minyak pada 2016 menjadi 4,5 miliar barrel setara minyak pada 2050. Sektor industri dan transportasi adalah dua sektor paling dominan yang "memakan" sekitar 80 persen dari total konsumsi energi di dalam negeri.
Hal yang paling rasional untuk menggantikan ketergantungan pemakaian BBM adalah di sektor transportasi, dengan beralih ke kendaraan listrik.
Masih dari kajian BPPT, pada 2016, konsumsi energi sektor transportasi sebanyak 338,4 juta barrel setara minyak. Dari jumlah tersebut, sekitar 55 persen didominasi gasolin (bensin). Selanjutnya, pada 2050, konsumsi gasolin naik menjadi 62 persen dari konsumsi energi sektor transportasi yang diperkirakan sebanyak 1,5 miliar barrel setara minyak.
Bagaimana dengan listrik untuk transportasi? Kontribusinya sekitar 1 persen. Kecil sekali.
Gebrakan mengoptimalkan pemanfaatan listrik untuk sektor transportasi mesti dipercepat. Khususnya di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta dan sekitarnya, kendaraan listrik bisa membantu mengurangi ketergantungan pada BBM. Selain, tentu saja, dapat mengurangi polusi yang disebabkan gas buang kendaraan berbahan bakar minyak.
Mengajak masyarakat beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum massal juga penting. Namun, dibutuhkan kesiapan dan keandalan infrastruktur agar masyarakat yang semula menggunakan kendaraan pribadi bersedia beralih ke angkutan massal. Angkutan umum massal bertenaga listrik, selain lebih murah dari biaya kendaraan pribadi, juga lebih ramah lingkungan dan mengurangi kemacetan.
Kendati berbagai proyeksi dan masukan sudah dipaparkan, mewujudkan percepatan kendaraan listrik di dalam negeri tak semudah membalik telapak tangan. Peraturan Presiden yang digadang-gadang sebagai payung hukum percepatan penerapan kendaraan listrik itu tak kunjung terbit.
Sekali lagi, dengan produksi minyak di dalam negeri yang tertatih-tatih melayani konsumsi nasional yang terus meningkat, ketergantungan pada impor bukanlah kabar yang bagus. Diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak harus dimulai dari sekarang. Biodiesel, listrik, dan gas bumi adalah sumber yang bisa dioptimalkan.
Berbagai pilihan solusi sudah tersedia. Pembahasannya sudah berkali-kali digelar. Pertanyaannya sekarang, kapan akan dilakukan? (Aris Prasetyo)