JAKARTA, KOMPAS— Guru-guru diajak untuk meninjau kembali makna pendisiplinan yang sesuai dengan semangat perlindungan anak sekaligus menciptakan siswa yang cerdas. Pasalnya, masih ada anggapan bahwa pendisiplinan sama dengan pemberian hukuman.
Hal tersebut mengemuka dalam peluncuran dan diskusi buku Panduan Perlindungan Guru di Sekolah, Madrasah, dan Pesantren karya Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto di Jakarta, Jumat (26/10/2018). "Tujuan buku ini untuk menginformasikan guru mengenai semangat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Di saat yang sama, juga membahas mengenai pola pendidikan yang sesuai dengan tumbuh kembang anak," tuturnya.
Susanto memaparkan, semenjak UU Perlindungan Anak keluar, terdapat banyak keluhan dari guru yang mengatakan tidak bisa lagi menghukum siswa, padahal siswa tersebut nakal. Dulu, guru lazim melakukan penghukuman seperti memukul siswa, menyuruh siswa berlari keliling lapangan, atau pun menyetrap dengan alasan mendisiplinkan dan menguatkan mental siswa. Sekarang, apabila guru melakukan hal tersebut, orangtua siswa dan masyarakat akan melaporkan siswa ke aparat penegak hukum. Umumnya, peristiwa ini berujung dengan pemidanaan guru.
"Artinya, ada miskomunikasi pendidikan antara guru, siswa, orangtua, dan masyarakat," ujar Susanto.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyosialisasikan semua aturan terkait pendidikan kepada semua pihak. Misalnya, sekolah memiliki aturan terkait standar akademik dan perilaku. Apabila siswa belum bisa memenuhi standar tersebut, mereka akan didisiplinkan.
"Disiplin sendiri tidak berarti menghukum. Disiplin merupakan proses mengubah perilaku siswa dari tidak baik menjadi baik. Misalnya, dari sering datang terlambat menjadi tepat waktu. Dari malas belajar menjadi rajin belajar. Caranya bermacam-macam," ujarnya.
Mengubah pemikiran guru
Menurut dia, tantangan terbesar adalah mengubah pemikiran guru terkait konsep anak nakal dan hukuman. Disarikan dari data KPAI, laporan mengenai kekerasan fisik yang dilakukan guru kepada murid semakin menurun. Akan tetapi, terdapat berbagai keluhan guru melakukan kekerasan verbal dan psikis.
"Bentuk kekerasan verbal dan psikis contohnya ialah membandingkan siswa yang satu dengan yang lain, kemudian bisa juga memberi siswa julukan yang terdengar mengejek. Maksud guru ingin memotivasi siswa, tetapi pemilihan kosakata, nada suara, dan cara berbicara justru membuat siswa tertekan," jelas Susanto.
Selain itu, juga perlu pengenalan berbagai jenis pelanggaran seperti pelanggaran pada level etik, disiplin, profesi, dan pidana. Hal ini agar kepala sekolah dan masyarakat bisa melihat masalah secara jernih sebelum mengambil tindakan.
Kasus guru melempar kapur kepada siswa, misalnya, digolongkan kepada pelanggaran etik. Cukup kepala sekolah yang menasihati, tidak perlu memanggil polisi. Lain halnya dengan kasus penganiayaan dan pelecehan seksual yang merupakan pelanggaran pidana dan harus diselesaikan secara hukum.
"Dalam proses penyelesaian perkara, guru berhak mendapat perlindungan sesuai pasal 39 Undang-Undang Guru dan Dosen. Perlindungan ini memastikan guru mendapat keadilan. Dibebaskan apabila tidak bersalah atau dihukum sesuai dengan kesalahan," kata Susanto.
Sosial dan kepribadian
Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Praptono mengatakan, kompetensi sosial dan kepribadian guru terus diasah, di samping kompetensi pedagogik dan profesional. Dalam penerapannya, guru ditekankan melakukan identifikasi sikap, kepribadian, dan intelegensia siswa sebelum mengambil kesimpulan.
"Jangan sampai siswa langsung dicap nakal tanpa ada evaluasi menyeluruh. Jangan-jangan siswa itu hanya bosan atau pun butuh perhatian. Bahkan, harus dilihat kemungkinan siswa itu berkebutuhan khusus, cerdas istimewa, dan memiliki masalah di rumah," ucapnya.
Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Republik Indonesia M Qudrat Nugraha mengatakan, organisasi guru terus mendampingi guru dalam memberi perlindungan, keadilan, dan juga peningkatan kompetensi sesuai tujuan pendidikan yang berkarakter.