Dengan kekuatan yang dimiliki, kekuasaan pada dirinya sendiri adalah netral. Saat berada di tangan yang tepat, kekuasaan itu akan menghadirkan kesejahteraan dan harapan. Akan tetapi, sebaliknya, kekuasaan pun dapat menjadi kekuatan yang menakutkan sekaligus mematikan. Dalam sejarah dunia modern tercatat sejumlah peristiwa yang menjadi penanda saat kekuatan dari sebuah kekuasaan disalahgunakan.
Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan secara terbuka bertanya, siapa yang memerintahkan 15 orang Arab Saudi datang ke Istanbul lalu membunuh Jamal Khashoggi? Pertanyaan itu diajukan tepat tiga pekan setelah jurnalis senior itu dibunuh di dalam kompleks Konsulat Arab Saudi di Istanbul.
Sebagian menyebut Erdogan mengajukan pertanyaan retoris. Sebab, 18 orang yang ditangkap karena terlibat pembunuhan Khashoggi tercatat berkedudukan tinggi di pemerintahan Arab Saudi. Jejak digital sebagian orang itu menunjukkan mereka dekat dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS).
Sebagian pihak menyebut MBS adalah penguasa Arab Saudi yang sebenarnya. Tanpa rekam jejak jelas sebelum diberi kekuasaan oleh ayahnya, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, MBS menjadi orang kuat di kerajaan itu. Ayahnya tidak hanya menjadikan MBS sebagai putra mahkota. Sederet jabatan lain, seperti Wakil Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, Ketua Dewan Keamanan dan Politik, dan pimpinan sejumlah lembaga hukum, juga diembannya.
Dengan deretan jabatan itu, MBS dengan mudah melibatkan Arab Saudi dalam penyerbuan ke Yaman dengan alasan membantu pemerintahan sah menghadapi pemberontak. Ia juga menangkapi paman dan sepupunya dengan tuduhan korupsi.
Para paman dan sepupunya serta banyak orang di Saudi gelisah saat ia mengenalkan reformasi yang dinilai menabrak nilai tradisional Saudi. Di bawah arahannya, Saudi membuka bioskop, menggelar konser, mengizinkan perempuan ke stadion dan mengemudikan mobil.
Di luar negeri, ia memicu kemarahan banyak orang Palestina. Ia dituding bekerja sama dengan menantu sekaligus utusan khusus Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner, mengusulkan ibu kota Palestina bukan di Jerusalem Timur.
Negara lain
Namun, di dunia modern, ia bukan satu-satunya anak penguasa yang mendapat kekuatan besar. Kim Jong Un bisa menjadi pemimpin Korea Utara hanya karena berstatus sebagai anak Kim Jong Il, pemimpin kedua Korut sejak negara itu berdiri. Kim Jong Il pun demikian, otomatis menjadi pemimpin Korea Utara setelah Kim Il Sung meninggal.
Kim Jong Un pun dikenal sebagai pemimpin yang keras. Dalam catatan Kompas, dua tahun setelah duduk di kursi puncak kekuasaan Korea Utara, pada 2013, Jong Un mencopot jabatan pamannya sendiri, Jang Song Thaek, karena tuduhan korupsi, berkhianat, dan berupaya menggulingkan Jong Un.
Menurut Badan Intelijen Nasional Korea Selatan (NIS), Kompas, 4 Desember 2013, Jang Song Thaek (67) dipecat dari posisi Wakil Ketua Komisi Pertahanan. Seorang anggota DPR Korsel saat itu, Jung Cheong-rae, mengatakan, sebelumnya, Jong Un memecat dua pembantu Jang Song Thaek, yaitu Ri Yong Ha dan Jang Soo Kil, dan mengeksekusi mereka di depan umum pada November 2013.
Setelah diajukan ke persidangan, kantor berita Korut KCNA pada 13 Desember 2013 mengabarkan Jang Song Thaek telah dieksekusi.
Demikian pula Joseph Kabila, yang menjadi Presiden Republik Demokratik Kongo setelah ayahnya, Laurent Kabila, tewas ditembak. Masa jabatannya seharusnya habis pada November 2016. Walakin, sampai sekarang, ia tetap menjadi presiden dan belum ada tanda negara itu akan melaksanakan pemilu.
”Mereka sangat kejam, menggunakan kekuatan berlebihan untuk menopang kekuasaan mereka,” kata Jeremi Suri, pengajar sejarah dan humas pada Universitas Texas, AS, seraya menyatakan warisan kekuasaan berdasarkan jalur darah adalah hal umum di negara otoriter.
Di negara lain, anak-anak penguasa juga punya kekuasaan besar dan catatan negatif atas kekuasaan yang mereka miliki. Di Timur Tengah, orang mengenal Uday Hussein dan Qusay Hussein. Uday dikenal sebagai sosok kejam dan kerap menyiksa banyak orang. Ia bebas melakukan banyak hal karena ayahnya, Saddam Hussein, sangat berkuasa. Bersama Qusay, Uday akhirnya tewas pada 2003. Mereka ditembak di Mosul, Irak, oleh milisi yang disokong AS.
Sosok yang tidak kalah berkuasa adalah Saif al-Islam, putra Moammar Khadafy. Ia mewakili Libya dalam berbagai forum internasional. Ia juga mengurus banyak hal di Libya sebelum Khadafy jatuh. Setelah kekuasaan ayahnya berakhir, ia sempat dipenjara. Walakin, ia akhirnya dibebaskan.
Di Mesir, orang-orang mengenal Gamal Mubarak dan Alaa Mubarak. Mereka pernah ditahan karena tuduhan korupsi selama masa kekuasaan ayahnya, Hosni Mubarak. Akan tetapi, proses atas kasus yang menghadang mereka tidak berlanjut.
Adapun di Suriah, Bashar al-Assad menjadi presiden setelah ayahnya, Hafez al-Assad, meninggal pada Juni 2000. Sampai 1994, Bashar nyaris tidak dianggap. Ia sibuk menjadi dokter spesialis mata. Hafez menyiapkan Bassel, kakak Bashar, sebagai calon penggantinya. Sayangnya, Bassel tewas dalam kecelakaan pada 1994. Insiden itu membuat Bashar disiapkan menjadi penguasa Suriah. Di era Bashar, Suriah jatuh dalam perang saudara dan dia dituduh memerintahkan pembunuhan massal. (AP)