Hilirisasi hasil riset kian dibutuhkan untuk menjawab masalah bangsa. Karena itu, paradigma peneliti perlu berubah dengan lebih terbuka terhadap kolaborasi dengan pihak lain.
JAKARTA, KOMPAS—Berbagai riset potensial dihasilkan banyak peneliti di Indonesia. Potensi sumber daya manusia, sumber ide, dan sumber dana riset pun terus meningkat. Namun, potensi yang besar tersebut belum berdampak pada hilirisasi riset. Untuk itu, paradigma peneliti perlu berubah agar hasil risetnya lebih sesuai kebutuhan masyarakat.
”Para peneliti kebanyakan puas jika mendapat hibah dana riset, menghasilkan publikasi, atau mendapat paten. Persentase hasil riset yang masuk pasar sedikit, padahal kebutuhan warga tinggi,” kata Direktur PT Swayasa Prakarsa yang juga pengajar di Departemen Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bondan Ardiningtyas, dalam diskusi ”Hilirisasi Hasil Penelitian untuk Meningkatkan Kesehatan Masyarakat” di Jakarta, Jumat (26/10/2018).
Persentase hasil riset yang masuk pasar sedikit, padahal kebutuhan warga tinggi.
Diskusi itu bagian dari rangkaian acara pemberian dana riset dalam program pendanaan penelitian Ristekdikti-Kalbe Science Awards 2018. Ada lima peneliti terpilih mendapat dana riset dengan nilai total Rp 1,65 miliar. Mereka adalah Anggraini Barlian dari Institut Teknologi Bandung, Dessy Natalia (ITB), Endang Sutrisna Rahayu (UGM), Made Astawan (Institut Pertanian Bogor), dan Rahyussalim (Universitas Indonesia).
Inkubator bisnis
Menurut Bondan, peneliti perlu mengubah pola pikir atau paradigma terkait produk riset agar inovasi yang dihasilkan lebih bermutu dan terjangkau masyarakat. Adanya inkubator bisnis dinilai bisa menjadi solusi untuk menjembatani pemikiran peneliti ke industri dalam proses hilirisasi dan komersialisasi riset.
Secara teknis, inkubator bisnis itu berfungsi menyeleksi dan mengklasifikasi riset-riset yang dihasilkan inventor atau peneliti. Hasil riset itu disesuaikan dengan regulasi dan standar berlaku, serta kebutuhan pasar sebelum dikomersialkan industri. ”Itu bertujuan memenuhi kebutuhan pasar dan mendukung kemandirian bangsa,” katanya.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menambahkan, hilirisasi riset kian relevan dibutuhkan pada era revolusi industri 4.0. Era itu memunculkan istilah demokratisasi inovasi sehingga riset itu tak eksklusif oleh akademisi atau peneliti saja. Pusat inkubator pun tak lagi sekadar berupa infrastruktur fisik karena saat ini semua tempat bisa menjadi pusat inkubasi.
”Peneliti seharusnya bisa menghilangkan sifat eksklusivisme serta perlu lebih bergaul dan terbuka. Perubahan di luar terjadi lebih cepat sehingga kolaborasi menjadi amat penting, terutama antara akademisi di perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, pemerintah, serta industri,” ungkapnya.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PT Kalbe Farma Tbk Sie Djohan mengatakan, kolaborasi dan keterbukaan inovasi memberikan dampak yang baik di dunia farmasi. Peluang keberhasilan riset sampai komersialisasi bisa mencapai tiga kali dibandingkan tanpa ada kolaborasi dan keterbukaan inovasi dengan berbagai aspek.
Kewirausahaan
Menurut dia, riset dari para peneliti yang berfokus pada hilirisasi meningkat. Namun, itu perlu didorong lagi, terutama terkait sifat kewirausahaan dari peneliti. Selain itu, keterbukaan inovasi ini membutuhkan tujuan riset yang jelas, kolaborasi, transparansi, ada royalti bagi semua pihak, serta komitmen kuat. ”Jadi, peneliti, industri, dan pemerintah ini win-win,” katanya.
Boenjamin Setiawan, pendiri PT Kalbe Farma Tbk, mengingatkan, kesadaran akan pentingnya riset di Indonesia perlu ditingkatkan, terutama terkait komitmen pemerintah. Kurangnya komitmen itu bisa dilihat dari dana riset yang masih minim.
Dana penelitian yang dianggarkan di Indonesia baru sekitar 0,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Berkaca dari Korea Selatan, alokasi anggaran riset mencapai 4,5 persen dari PDB. ”Kalau Indonesia mau maju, seharusnya riset menjadi prioritas. Diharapkan penelitian bisa ditingkatkan untuk kemajuan bangsa ini,” ucapnya.