Penegak Hukum Agar Cegah Kriminalisasi Pembela Lingkungan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Institusi penegakan hukum lingkungan di kepolisian, kejaksaan, dan kementerian terkait agar menciptakan sistem yang melindungi saksi ahli ataupun pembela lingkungan. Hal itu untuk mengantisipasi timbulnya kriminalisasi terhadap masyarakat yang membela lingkungan.
Gugatan perdata seperti dialami pakar dari Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis, memunculkan kesadaran untuk melindungi para pembela lingkungan.
Di ranah peradilan, ada Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Itu bisa menjadi acuan bagi hakim yang menangani perkara lingkungan agar diputuskan lebih dulu dalam putusan sela.
Raynaldo G Sembiring, Deputi Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Jumat (26/10/2018), di Jakarta mengatakan, perlindungan bagi pembela lingkungan belum diatur sistematis dan aplikatif. Hak atas perlindungan itu tertera dalam Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Raynaldo bersama Sandrayati Moniaga (Komnas HAM), Hasto Atmojo Suroyo (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Made Ali (Jikalahari), M Isnur (YLBHI), Boy Jerry Even Sembiring (Walhi), dan Tama Satrya Langkun (ICW) menanggapi gugatan korporasi terhadap saksi ahli lingkungan.
Idealnya, antisipasi gugatan ataupun kriminalisasi terhadap pembela lingkungan (Strategic Lawsuit Against Public Participation/SLAPP) diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata. ”Namun, tak mudah merevisi kedua kitab itu,” ujarnya.
Penerbitan aturan
Untuk itu, Polri dan Kejaksaan Agung perlu menerbitkan instrumen kepada jajarannya agar tak memidanakan atau memproses hukum seseorang yang berjuang demi lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyusun peraturan menteri terkait anti-SLAPP itu.
Raynaldo mengatakan, gugatan perdata yang dialami Bambang Hero dan Basuki tak sampai membawa konsekuensi penangkapan atau penyitaan yang memicu trauma akibat pelanggaran HAM. Namun, umumnya yang terjadi di Indonesia, kriminalisasi pidana disertai penangkapan dialami masyarakat adat dan komunitas masyarakat yang memperjuangkan lahan dan hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Dalam berbagai kasus, aparat kerap mengenakan pasal karet, seperti penghinaan lambang negara, penghasutan, dan pencemaran nama baik, saat menangkap warga. Pasal-pasal karet itu seharusnya dihapus agar tak dipakai sebagai alat kriminalisasi.
Pasal-pasal karet itu seharusnya dihapus agar tak dipakai sebagai alat kriminalisasi.
Jika penerbitan aturan di setiap instansi terkait anti-SLAPP itu masih sulit, ia meminta KLHK menjalankan Pasal 95 UU No 32/2009 terkait penegakan hukum terpadu. Dalam aturan itu Menteri LHK diberi wewenang mengoordinasikan penegakan hukum secara terpadu dengan penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Detail penerapan harus disusun dalam peraturan pemerintah.
Melalui penegakan hukum terpadu, pertukaran informasi seharusnya berjalan lancar. Diharapkan, misalnya saat polisi memproses warga pembela lingkungan, KLHK bisa memberikan perspektif dan data penguat bahwa masyarakat itu memperjuangkan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Tama mengingatkan, Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) mewajibkan negara melindungi pelapor dan saksi dari pembalasan pihak terpidana korupsi. Gugatan yang dialami Basuki Wasis sebagai buntut kesaksiannya terkait korupsi dan kerusakan lingkungan yang menetapkan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai penghuni terali besi.
Sementara gugatan yang dialami Bambang Hero, permohonan pencabutan berkas oleh penggugat, PT Jatim Jaya Perkasa, dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong. Aktivis dan pembela lingkungan berharap perusahaan itu tak kembali melayangkan gugatan.