Sampai triwulan III-2018, penyaluran biodiesel baru 2,1 juta kiloliter dari target 3,92 juta kiloliter tahun ini. Problem pengangkutan menjadi kendala utama penyaluran.
JAKARTA, KOMPAS — Pendistribusian biodiesel di sejumlah wilayah di Indonesia terkendala ketersediaan kapal angkut. Dari 86 titik serah biodiesel yang semula ditentukan kini dipangkas menjadi 10 titik saja. Sampai triwulan III-2018, penyaluran biodiesel sebanyak 2,1 juta kiloliter dari target tahun ini yang sebanyak 3,92 juta kiloliter.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana mengakui bahwa ada kendala penyerapan biodiesel yang disalurkan ke seluruh wilayah di Indonesia. Namun, ia tetap optimistis serapan biodiesel bisa mencapai target untuk tahun ini. Salah satu kendala terletak pada persoalan pengangkutan dengan kapal.
”Selain ketersediaan kapal, ada pula masalah infrastruktur pelabuhan atau dermaga. Akibatnya, penyaluran biodiesel menjadi tersendat. Lintas kementerian sedang berusaha menuntaskan masalah ini,” ujar Rida, Jumat (26/10/2018), di Jakarta.
Rida mencontohkan, masalah ketersediaan kapal angkut adalah kapasitas kapal tak sesuai dengan volume biodiesel yang harus diangkut. Akibatnya, kapal mesti mengangkut lebih dari sekali dan proses itu memakan waktu untuk disalurkan. Selain itu, ada beberapa dermaga yang belum layak disandari kapal angkut.
Dari hasil kajian sementara, lanjut Rida, lokasi titik serah biodiesel dari produsen yang semula sebanyak 86 titik dipangkas menjadi 10 titik saja. Ke-10 titik tersebut adalah enam kilang di Riau, Palembang, Cilacap (Jawa Tengah), Balikpapan, Tuban (Jawa Timur), Balongan (Jawa Barat), dan Kasim (Papua). Adapun empat titik lainnya adalah terminal bahan bakar minyak di Pulau Laut (Kalimantan Selatan), Tuban, Medan, dan Sambas (Kalimantan Barat).
Hemat devisa
Pemerintah mempercepat program kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar yang merambah ke seluruh sektor, yakni pelayanan publik (PSO) dan non-PSO per 1 September 2018. Program yang dikenal dengan mandatori B20 tersebut adalah mencampur biodiesel ke dalam solar murni dengan komposisi akhir dalam setiap liter solar mengandung 20 persen biodiesel. Program ini juga bertujuan mengurangi defisit perdagangan sektor minyak dan gas bumi.
”Dengan target serapan biodiesel 3,9 juta kiloliter tahun ini, devisa yang dapat dihemat adalah 2,1 miliar dollar AS,” kata Rida.
Secara terpisah, pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, target yang lebih realistis dalam hal serapan biodiesel sebaiknya ditetapkan. Perlu ada regulasi yang mengatur berapa volume biodiesel yang mampu dipasok produsen demi terwujudnya kepastian pasokan. Regulasi tersebut penting saat harga minyak kelapa sawit (CPO) melambung tinggi.
”Sebab, seandainya harga CPO menguntungkan untuk diekspor, hal itu menjadi semacam insentif bagi produsen untuk lebih memilih ekspor ketimbang memasok ke dalam negeri. Dengan demikian, program B20 dapat berjalan efektif dan terukur,” ujar Pri Agung.
Soal upaya mengurangi defisit perdagangan migas, menurut Pri Agung, program B20 sudah sesuai jalur. Hanya saja, persoalan defisit migas adalah persoalan kompleks yang perlu solusi mulai dari hulu sampai hilir. Pemerintah seharusnya sudah memiliki peta jalan yang jelas untuk mengatasi defisit perdagangan migas karena Indonesia berstatus negara net importir minyak sejak 2004.