Cerita dari Digoel
“If I’m an advocate for anything, it’s to move. As far as you can, as much as you can. Across the ocean, or simply across the river. Walk in someone else’s shoes or at least eat their food.” — Anthony Bourdain
Menyebut Boven Digoel selalu menyisakan ingatan melankolik tentang orang-orang buangan di era kolonial. Seperti rekaman kumpulan kisah dalam buku suntingan Pramoedya Ananta Toer, yang judulnya diambil untuk tulisan ini. Namun, perjalanan ke salah satu kabupaten di Papua ini bukanlah untuk membuka luka lama. Di Digoel kami berpesta, pesta ulat sagu!
Akhir September lalu di bawah langit pagi yang biru gemilang, kami tiba di Kampung Uni di Distrik Bomakia, lokasi perhelatan Festival Ulat Sagu. Kampung di Kabupaten Boven Digoel ini cukup terpencil, berselimut rimba belantara. Dari Bomakia, kami menyusuri sungai dengan perahu motor selama 1,5 jam hingga tiba di Uni. Sepanjang sungai yang lebar dan berkelak-kelok itu pemandangan yang tersaji adalah hutan, hutan, dan hutan.
Rombongan kami tiba di Kampung Uni dengan sambutan yang meriah dari ratusan penduduk suku Kombai. Mereka menari dan bernyanyi riuh dalam irama ritmik. Kampung ini masih begitu menyatu dengan hutan, seolah tak terjamah sentuhan modernisasi apapun. Curahan sinar matahari pagi yang menerobos di antara dahan-dahan pepohonan terasa hangat mengecup kulit. Udara segar segera menyusupi paru-paru. Ah, bagi orang urban, ini sungguh suatu kemewahan.
Selain rumah-rumah kayu yang menapak tanah, di sana-sini terlihat rumah-rumah kayu yang bertengger di atas pohon-pohon hidup. Penduduk setempat menyebutnya “rumah tinggi”, yang berada di ketinggian mencapai sekitar 30an meter dari tanah. Imaji ini menerbitkan ingatan akan fantasi masa kanak-kanak tentang rumah pohon. Ah, inilah rumah pohon yang sesungguhnya.
“Jangan lupa nanti harus naik ke rumah tinggi ya. Belum ke Kampung Uni kalau belum naik ke rumah tinggi,” ujar Mama Martha, warga kampung yang cukup lancar berbahasa Indonesia.
Penduduk kampung sudah menyiapkan begitu rupa pesta ulat sagu ini. Setidaknya sejak 6-8 pekan sebelumnya. Serangkaian tahapan persiapan sekalipun merupakan bagian sakral dari penyelenggaraan festival.
Rombongan kami sebagai tamu festival terdiri dari beberapa wartawan dari beberapa media, organisasi non-pemerintah Econusa, perkumpulan Silva Papua Lestari (SPL), dan Rainforest Foundation Norway (RFN). Saat itu, hadir pula beberapa pejabat pemerintahan lokal, seperti Bupati Boven Digoel Benediktus Tambonop dan beberapa perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Boven Digoel.
Perhelatan festival tersebut sedianya digelar sebagai wadah bagi penduduk kampung untuk menyampaikan aspirasi mereka, yakni hak pengelolaan hutan. Ironis sebenarnya. Betapa mereka harus memohon ruang hidup di atas tanahnya sendiri. Seperti juga tokoh-tokoh pergerakan di era kolonial Hindia Belanda dulu yang dibuang ke Boven Digoel, kini malah masyarakat adat setempat yang seperti terbuang di rumah sendiri.
“Hutan di Boven Digoel kondisinya masih cukup baik ketimbang di kawasan Papua lainnya. Penduduk sangat berharap hutan yang sudah seperti napas mereka ini tetap terjaga baik, tidak ikut dialihfungsikan dan dieksploitasi secara industrial seperti kawasan lainnya,” kata Kristian Ari dari perkumpulan SPL.
Sagu adalah Ibu
Bagi masyarakat Papua seperti suku Kombai, sagu bukanlah sekadar makanan pokok yang diakrabi sejak zaman leluhur mereka. Dalam sebuah jurnal “Irian: Bulletin of Irian Jaya” volume XVII, 1989 berjudul “Sago Grub Festival” yang ditulis Hank Venema disebutkan, sagu begitu dihormati oleh penduduk Papua, khususnya suku-suku yang rutin menggelar ritual festival ulat sagu seperti suku Kombai. Sagu dipandang sebagai ibu yang melahirkan anak yakni ulat sagu, yang merupakan larva dari kumbang Rhynchophorus ferrugineus. Dengan begitu, sagu sebagai ibu merupakan sumber kehidupan bagi mereka.
Dalam jurnal itu dijelaskan, festival ulat sagu digelar tak lain tujuannya untuk merawat harmoni dan keseimbangan demi keberlangsungan putaran kehidupan. Dalam kepercayaan suku Kombai, dunia ini terbagi menjadi tiga elemen yakni; dunia arwah, alam, dan manusia.
Relasi ketiga elemen tersebut harus dipelihara dengan berbagai aturan, yang jika dilanggar akan berakibat bencana. Seperti banjir, gempa, gerhana matahari, hingga wabah penyakit. Di sinilah sagu merupakan bagian paling penting dari elemen alam tadi. Oleh karena itu, festival ulat sagu menjadi ritual yang menjamin keseimbangan tiga elemen dunia tersebut. Fungsi serupa ini juga menjadi tujuan ritual festival babi pada suku-suku lainnya di Papua.
Selain orang Kombai, beberapa suku lain di wilayah Boven Digoel juga melakukan ritual festival ulat sagu. Seperti suku Korowai, Citak, Jair, Awyu, Sait, dan Tsakwambo. Suku Jair, Awyu, dan Sait juga memiliki ritual festival babi selain festival ulat sagu.
Ada serangkaian tahapan panjang yang sakral yang harus dilalui dalam festival ulat sagu orang Kombai. Sejak dari tahap persiapan, selama penyelenggaraan festival, hingga penutupan. Mulai dari menyalakan api yang harus dijaga oleh seorang wambeno (orang yang khusus bertugas mengawasi api tetap menyala), pembangunan rumah panjang, penebangan pohon sagu baik untuk diambil pati sagunya maupun sebagai medium pembiakan ulat, menyiangi daun dan tanaman yang berlebih, membawakan lagu bere beserta tarian, hingga pembakaran sebuah sarang burung yang digantung di rumah panjang.
Sagu diperoleh dari bagian dalam pokok pohon sagu (Metroxylon sagu) atau rumbia, sejenis palma yang banyak tumbuh di kawasan Asia Tenggara. Penduduk di Kampung Uni misalnya, memperoleh sagu dari hutan sagu yang menyatu dengan kampung mereka. Tak heran, keberlangsungan hutan menjadi amat krusial bagi masyarakat ini.
Pesta ulat sagu dibuka dengan pembacaan petisi oleh perwakilan suku Kombai, Datus Waremba. Petisi itu memuat 29 poin permintaan warga, khususnya desakan pengesahan peraturan daerah soal pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayat di seluruh wilayah Kabupaten Boven Digoel. Setelah pembacaan itu, warga pun sibuk hilir mudik menyiapkan masakan ulat sagu.
Ulat sagu, selain bisa dimakan hidup-hidup, biasanya juga dimasak. Setidaknya ada dua macam cara, yakni dibakar bersama tepung sagu di atas kayu bakar atau dengan cara bakar batu. Metode bakar batu yaitu, membakar batu-batu hingga menjadi bara panas untuk memasak.
Ulat-ulat sagu yang dimasak itu mengeluarkan lemak sehingga menghasilkan rasa gurih alami. Nikmat ketika dimakan bersama sagu bakar yang rasanya tawar. Sementara, jika ulat disantap mentah atau hidup-hidup rasanya cenderung manis dan segar. Ulat sagu yang masih cukup muda, kulitnya ketika digigit terasa lebih liat. Sementara, ulat yang sudah cukup tua lebih lembek dan tak semanis ulat muda. Selain ulatnya, orang Kombai juga memakan kumbangnya, yakni wujud sempurna dari daur metamorfosa ulat sagu. Saya sendiri saat itu hanya mencicipi ulat-ulat sagunya, baik yang masih hidup maupun yang sudah dimasak.
Memakan ulat atau serangga sebenarnya juga dilakukan banyak masyarakat di berbagai negara. Ulat sagu misalnya, juga biasa dinikmati masyarakat seperti di Thailand juga di Sarawak, Malaysia. Ulat sagu merupakan sumber protein yang cukup baik bagi penyantapnya.
“Ini soal merontokkan benteng psikologis saja sebenarnya. Kalau itu sudah bisa rontok, mungkin baru akan mudah buat saya,” ujar Geir Erichsrud, koordinator program Asia Tenggara dan Oseania dari Rainforest Foundation Norway.
Seiring ucapannya itu, ulat sagu montok berwarna putih gading ginuk-ginuk menggeliat di telapak tangan Vladimir, rekan Geir. Tatapan mata Geir nanar. Ia belum sanggup meruntuhkan benteng psikologisnya untuk menyantap sang ulat menggemaskan itu dalam keadaan masih bernyawa.
Makanan dari alam
Andreas Viestad, chef asal Norwegia yang ikut dalam rombongan bercerita, secara naluriah, warga asli suatu kawasan hutan di berbagai negara yang pernah dikunjunginya cenderung memakan bahan pangan yang serupa, yang disediakan oleh alam sekitar.
Di Norwegia pun, sejenis ulat kayu juga dikeringkan, dikemas modern, dan menjadi penganan manusia. Øyvind Eggen, Direktur Eksekutif RFN, membawa sebungkus ulat kering dari Norwegia. Rasanya gurih, walau tanpa bumbu. Saya membayangkan, soto lamongan dengan taburan ulat kering ini pasti akan memunculkan bauran rasa yang cukup sensasional. Mungkinkah ulat sagu bisa dikreasikan menjadi penganan modern semacam ini?
Di sela-sela keriuhan pesta, tiba-tiba terdengar suara teriakan Mama Martha memanggil dari kejauhan. Ah, rupanya dia berseru dari salah satu rumah tinggi. Äyo sini naik, jangan takut!" serunya dengan senyuman lebar.
Saya pun memberanikan diri menaiki rumah tinggi yang menjulang hampir 30an meter dari tanah. Setelah jalinan tangga kayu, saya masih harus memanjat sebuah pokok kayu dengan memeluknya hingga kaki akhirnya menapak di lantai pondok. Chef Andreas kemudian menyusul.
Rumah atau pondok kayu ini hanya terdiri dari satu ruangan seluas sekitar 6 x 6 meter persegi. Pondok ini semua materinya terbuat dari tetumbuhan dari hutan, termasuk pohon sagu, juga daunnya (rumbia) yang dijadikan atap. Bilah-bilah kayu dijalin dengan akar-akaran membentuk dinding dan lantai. Ketika angin berembus cukup kencang, pondok akan terasa agak terayun-ayun.
Di langit-langit pondok, terlihat berbagai bentuk tulang belulang dan bulu-bulu binatang yang disematkan di antara jalinan atap rumbia. Mulai dari tulang ikan, cangkang lobster air tawar, gigi buaya, kulit rusa, hingga bulu burung, Menurut Daniel Kombonggey, warga asal Kampung Uni, tulang-tulang dan aneka bulu itu merupakan sisa dari berbagai jenis hewan yang dimakan. Selain dijadikan aksesoris tubuh, orang Kombai punya kebiasaan menyematkan sisa-sisa tersebut di langit-langit pondok mereka. "Maksudnya untuk membawa keberuntungan," imbuh Daniel.
Chef Andreas memberi penjelasan yang menarik soal sumber pangan kaum pemburu dan peramu (hunters and gatherers) tersebut. Dalam kehidupan kaum ini, sebenarnya tak melulu mereka setiap hari berhasil mendapatkan hewan buruan untuk dimakan. Dalam rentang masa tak ada hewan buruan itulah mereka secara naluriah memakan bahan pangan apa saja yang lebih mudah diperoleh di alam bebas.
"Seperti misalnya semut, ulat, hingga kerang-kerangan misalnya,” kata Andreas yang telah berkelana ke berbagai negeri mencermati makanan berbagai bangsa dunia.
Daniel dan Mama Martha pun membenarkan, orang-orang Kombai kadangkala juga memakan beberapa jenis semut. Perilaku tersebut juga serupa dengan penduduk asli di hutan hujan di Amazon misalnya. Bahkan, dalam dunia gastronomi di Amerika Selatan seperti di Venezuela, semut-semut Amazon diolah menjadi sajian unik dalam menu andrawina atau fine dining. Kebetulan, beberapa tahun saya pernah mencicipi semut-semut Amazon tersebut dalam sebuah acara kuliner Venezuela di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Investasi jangka panjang
Dalam pandangan Andreas, merawat keberlangsungan hutan hujan (rainforest) seperti di Papua merupakan bentuk investasi jangka panjang yang amat bernilai. Ia paham, di negara berkembang yang tengah menggenjot industri di berbagai sektor, menjadikan hutan sebagai hutan produksi memang menggiurkan untuk performa perekonomian jangka pendek.
"Ada perspektif yang sering dilupakan. Menebangi hutan dan membakarnya, misalnya untuk perkebunan sawit, sebenarnya bukanlah bentuk investasi yang baik. Segelintir orang (pemodal) bisa menghasilkan uang yang sangat banyak dalam waktu relatif singkat. Namun, jika kita maju sekian dekade ke depan, ketika kawasan tersebut ditinggalkan, segelintir orang-orang tadi tetap akan menikmati hasilnya. Namun, penduduk di kawasan yang ditinggal itu yang akan merana. Kawasan yang sudah rusak pun tidak bisa dikembalikan seperti semua," kata Andreas.
Øyvind Eggen menambahkan, menjaga keberlangsungan hutan hujan di Papua tak hanya demi kepentingan masyarakat penduduk asli sendiri melainkan juga warga dunia. Hutan hujan berkontribusi penting untuk menahan laju pemanasan global yang gejala buruknya telah dirasakan, misalnya berupa anomali cuaca yang terjadi di berbagai wilayah dunia.
"Dalam pengalaman kami selama ini, keberlangsungan hutan lebih terjamin ketika masyarakat asli (hutan) terlibat, diberi kewenangan untuk mengelolanya,"kata Øyvind.
Catatan Econusa, laju alih fungsi lahan terus terjadi di Indonesia, termasuk di Papua. Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015, luas hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat tercatat 38.153.269 hektare. Luasan ini sudah termasuk hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan lindung. Padahal, hingga tahun 2009, luas hutan di kedua provinsi ini masih mencapai 42 juta hektare. Tahun 2011 lalu, Organisasi Greenpeace mencatat, laju deforestasi rata-rata per tahun di Provinsi Papua mencapai 143.680 hektare, sementara di Provinsi Papua Barat seluas 293.000 hektare.
Kristian dari SPL mengatakan, mengingat kondisi memprihatinkan tersebut, perlu digagas upaya transformasi untuk menjadikan hutan sebagai sumber perekonomian kreatif tanpa harus mengeksploitasi dan merusaknya. Perhelatan festival ulat sagu misalnya, menjadi salah satu upaya untuk menjadikannya sebagai wahana wisata yang bisa digelar rutin oleh penduduk asli.
"Moratorium penebangan hutan di Papua oleh pemerintahan saat ini sejauh ini cukup efektif dan disyukuri penduduk. Namun kami masih khawatir, suatu saat izin akan dibuka kembali. Jika pemodal sudah datang dan bilang punya izin dari negara, kami bisa apa, pasti kalah. Itulah perlunya ada perundangan yang mengunci celah kemungkinan eksploitasi hutan kami," kata Kristian.
Malam itu, Kampung Uni masih terasa meriah dalam temaram hutan, yang samar diterangi api unggun dan taburan jutaan bintang di langit. Tentu saja tiada listrik di sini. Nyanyian dan tarian ritmik orang-orang Kombai mewarnai malam yang merambat kian larut. Mereka mengelilingi rumah panjang berkali-kali sambil menari dan bernyanyi.
Festival Ulat Sagu suku Kombai memang berlangsung semalam suntuk. Bukan sekadar pesta pora, namun merupakan ritual sakral yang dilakukan berkesinambungan hingga matahari terbit kembali. Sampai akhirnya menjelang fajar, sarang burung yang digantung di rumah panjang dibakar, menandai usainya festival.
Pagi-pagi sebelum kami meninggalkan Kampung Uni, tradisi barter pun digelar. Kami sebagai tamu undangan bertukar berbagai barang dengan penduduk setempat. Barang tersebut tentu saja sekaligus sebagai kenang-kenangan. Penduduk rupanya amat meminati jenis barang fungsional seperti pisau dan senter. Untunglah saya sudah menyiapkan sebuah senter untuk acara barter.
Senter itu saya serahkan kepada Mama Martha. Sementara, Mama Martha memberi saya kalung dari untaian biji-bijian hutan. "Kapan-kapan datang lagi ya..." ucapnya dengan senyum lebarnya.