Mencampuradukkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari jamak ditemui. Sebagian penuturnya merasa lebih gaul dengan "keminggris" atau mencampurkan berbagai bahasa ini dalam percakapan. Tetapi, ada kekhawatiran atas masa depan Bahasa Indonesia dengan keminggris ini.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS
·3 menit baca
Mencampuradukkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari jamak ditemui. Sebagian penuturnya merasa lebih gaul dengan "keminggris" atau mencampurkan berbagai bahasa ini dalam percakapan. Tetapi, ada kekhawatiran atas masa depan Bahasa Indonesia dengan keminggris ini.
Pemakaian bahasa “keminggris”, yaitu gaya bertutur yang mencampuradukkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi, bukan hal istimewa bagi kaum milenial ibu kota. Mereka biasa menggunakan bahasa yang dicampur-campur itu dalam percakapan sehari-hari. Namun ada kekhawatiran cara seperti itu akan melunturkan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Istilah ‘keminggris’ menjadi viral ketika Twitter beberapa pekan lalu diramaikan cuitan yang mengomentari penggunaan kata which is, even, totally, like that yang dicampur dengan bahasa Indonesia.
Gaya berkomunikasi seperti itu dianggap biasa, wajar-wajar saja, bahkan menjadi guyonan. Tak hanya di Jakarta Selatan, tren “keminggris” ini juga menjangkiti daerah lain di ibu kota, sekaligus merebak di media sosial.
Hal ini terlihat dalam hasil jajak pendapat Kompas bulan lalu. Hampir sepertiga publik milenial menganggap fenomena ini sebagai hal yang lumrah.
Mencampuradukkan bahasa adalah hal biasa, yang penting makna atau maksud tersampaikan.
Seperti yang dilakukan oleh hampir 60 persen anak muda yang menggunakan bahasa campuran ini saat bercakap-cakap.
Tidak hanya di kalangan anak muda, pemakaian bahasa gado-gado juga kerap dilakukan oleh pelaku bisnis, akademisi, maupun pejabat pemerintah. Mereka lebih suka menggunakan istilah asing daripada padanan katanya dalam bahasa Indonesia.
Gejala pemakaian ‘Indoenglish’ yang meluas ini juga dirasakan oleh hampir 40 persen responden yang orang-orang di lingkungan sekitarnya pun sering berbahasa campuran.
Selain menganggap biasa, 27,5 persen responden lainnya menanggapi gaya bahasa keminggris sebagai hiburan atau lelucon. Tak heran jika mayoritas kalangan milenial ibu kota tak terganggu dengan gaya bertutur seperti itu.
Sejak abad ke-20
Dalam kajian ilmu tentang bahasa (linguistik), campur aduk bahasa dikenal sebagai code-mixing atau code-switching, alias fenomena campur aduk bahasa.
Hal ini ditengarai sudah ada sejak awal abad ke-20 ketika pemerintah kolonial memberlakukan kebijakan politik etis yang membolehkan kaum elite Indonesia mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa Belanda.
Saat itulah, Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda digunakan bersamaan dalam percakapan sehari-hari.
Mereka yang gemar berbahasa Belanda dan bergaya ala orang barat dicap “Kemlondo” atau kebelanda-belandaan.
Biar dianggap gaul
Tanggapan lain muncul dari seperempat lebih responden yang menyatakan gaya berkomunikasi ‘keminggris’ ini adalah positif karena merupakan tanda kemajuan dan kemodernan, mengikuti perkembangan zaman.
Gaya berbahasa semacam ini diklaim sudah mengisi ruang percakapan dunia maya maupun dunia nyata. Kaum milenial yang tak menggunakannya malah dicap kuno dan nggak gaul.
Hal ini sejalan dengan motivasi lainnya penggunaan bahasa campuran untuk meningkatkan gengsi sosial sebagaimana diutarakan 16 persen responden. Penggunaan bahasa gado-gado dipakai untuk menunjukkan status dan posisi sosial dalam komunitas.
Namun, sepertiga bagian responden berpendapat lain. Mereka mengaku dengan bertutur kata keminggris sekadar untuk alasan praktis, ingin melatih kelancaran berbahasa inggris dengan memperbanyak penggunaan kosakata Bahasa Inggris.
Ada pula sebagian kecil publik (11 persen) yang menanggapi negatif dan menganggap norak fenomena "keminggris" ini. Sekitar 23 persen bahkan merasa terganggu mendengar pembicaraan dengan bahasa campur aduk.
Pendapat lain diungkapkan sekitar 6 persen publik responden, menganggap orang menggunakan bahasa campur aduk karena masih mencari identitas dan jati diri.
Menurut pegiat bahasa, Ivan Lanin, gaya bahasa keminggris muncul karena ketidakmampuan menyusun kalimat, memilih kosakata, serta ketidakteraturan dalam berpikir. Hal ini menunjukkan lemahnya kemampuan berbahasa.
Berbagai pandangan positif maupun negatif terhadap tren “keminggris” itu wajar saja sebagai dialektika berbahasa Indonesia.
Hanya saja, yang patut diingat jangan sampai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menghadapi krisis identitas dengan lunturnya penggunaan bahasa Indonesia yang benar.