Pesan Politik dari Rangkaian Paket Bom di AS
Gugus Tugas Gabungan yang dipimpin Biro Investigasi Federal AS (FBI) menangkap tersangka pengirim paket bom. Cesar Sayoc, yang ditangkap Jumat (26/10/2018) di dekat Miami, Amerika Serikat, memperlihatkan kecenderungan sebagai penentang Demokrat.
Pengiriman paket bom bukan hal yang asing dalam sejarah AS. Presiden Harry S Truman pada 1947 juga dikirimi paket seperti itu. Umumnya paket bom mengandung pesan politik atau merupakan respons atas sebuah kebijakan.
Dalam pekan ini, selama beberapa hari, Amerika Serikat dikejutkan dengan berita paket bom yang dikirimkan kepada tokoh-tokoh besar negeri itu. Mulanya paket dalam amplop kertas manila ditujukan kepada pebisnis besar George Soros pada awal pekan. Belum hilang rasa terkejut, ada kiriman serupa untuk sejumlah nama besar lainnya.
Paket bom mulai ditemukan Senin dan terus beruntun diterima ke alamat sasaran sampai Jumat, saat tersangka ditangkap. FBI, dalam keterangan setelah penangkapan, mengingatkan kemungkinan masih ada kiriman bom yang belum sampai.
Dari 14 nama yang dikirimi paket bom, kebanyakan adalah politisi dari Partai Demokrat atau setidaknya simpatisan partai tersebut.
Soros, misalnya, merupakan salah satu penyumbang besar Partai Demokrat dalam pemilihan presiden dua tahun silam. Demikian juga miliarder Tom Steyer atau aktor Robert de Niro yang ikut mengampanyekan Hillary Clinton sekaligus pengkritik Donald Trump.
Sebelum polisi dan FBI menangkap Cesar Sayoc (56) sebagai tersangka, kuat dugaan adanya motif politik di balik pengiriman paket bom. Lebih spesifik lagi, diduga pelakunya adalah penentang Demokrat.
Dari van yang juga digunakan sebagai tempat tinggal tersangka, ditemukan banyak tempelan gambar bagus tentang Trump. Sebaliknya, terlihat gambar yang memperlihatkan, antara lain, kebencian terhadap Hillary Clinton dan jaringan televisi CNN. Hillary dan CNN termasuk di antara target yang dikirimi bom.
Bukan untuk melukai
Tersangka Cesar Sayoc sejauh ini diketahui merangkai rencana hingga pelaksanaan pengiriman seorang diri. Sayoc yang akan mulai dibawa ke Pengadilan Florida, Senin besok, sedikitnya akan didakwa lima pasal dengan hukuman maksimum 48 tahun penjara.
Dari hasil pemeriksaan sementara, lelaki yang mempunyai riwayat kriminal ini mengaku bom yang dikirimnya tidak dimaksudkan untuk melukai seseorang. Namun, polisi mengonfirmasi paket bom itu sungguhan, bukan hoaks, dan jika meledak bisa membahayakan. FBI juga memperlakukan penyidikan ini layaknya menghadapi tindakan terorisme. Sebelumnya, sejumlah orang Republik, termasuk anak Trump, Donald Jr, menuduh bom-bom itu hoaks dari Demokrat menjelang pemilu tengah periode (midterm election), bulan depan.
Pengiriman paket bom mengingatkan pada peristiwa yang dialami hakim federal Robert Vance tahun 1989. Naas menimpanya, hakim pengadilan banding Alabama ini tewas di rumahnya setelah membuka amplop berisi bom. Istri Vance menderita luka serius.
Pelakunya, Walter Leroy Moody, sebagaimana diberitakan The New York Times, beberapa bulan lalu dieksekusi setelah Mahkamah Agung memvonis hukuman mati. Moody menjalani suntik mati dalam usia 83 tahun.
Pengadilan tingkat sebelumnya menghukum tujuh hukuman seumur hidup ditambah hukuman penjara selama 400 tahun. Moody, yang mempunyai obsesi terhadap sistem hukum, mengirim bom ke berbagai alamat. Selain hakim Vance, bom yang dirakitnya sendiri juga menewaskan seorang pengacara kulit hitam pejuang hak sipil. Dua bom lainnya berhasil diamankan.
Bangkitkan trauma
Bom yang dikirim lewat pos membangkitkan trauma mereka yang pernah mengalaminya. Lisa Mc Nair, perempuan kulit hitam, terbawa pada kejadian tahun 1963 ketika paket bom meledak di sebuah gereja di Alabama, menewaskan empat perempuan kulit hitam, antara lain kakak perempuannya yang berusia 11 tahun. ”Aduh, (terulang) lagi? Sudah 55 tahun sejak Dennis terbunuh. Mengapa terus terjadi di Amerika?” kata Mc Nair menyayangkan rangkaian paket bom beberapa hari terakhir.
Mohammed Omar, Direktur Eksekutif Pusat Islam Dar Al-Farooq, diingatkan dengan pengiriman paket bom pada Agustus 2017. Sebuah masjid di Minneapolis diserang hanya beberapa saat menjelang waktu shalat Subuh. Penyerang memecah kaca jendela di ruang imam masjid dan melempar bom pipa.
Tiga tersangka yang kemudian ditangkap mengaku bermaksud ”menakut-nakuti” warga Muslim. ”Amat sulit bagi kami melewati yang sudah kami alami. Kini lebih sulit lagi,” kata Omar menyikapi kasus paket bom.
Dalam 60 tahun belakangan, sejumlah orang tewas akibat ledakan bom dengan motivasi ideologi. Pelakunya berasal dari berbagai kelompok, mulai kelompok rasis Ku Klux Klan sampai mereka yang keras menentang praktik aborsi.
Sebuah studi menyebutkan, pada tahun 1969 hingga 1970, bom, termasuk dalam bentuk kiriman pos, marak terjadi di seantero Amerika. Terhitung jumlahnya sampai 370 buah. Kebanyakan bom dipasang atas alasan politik. Pada masa itu, tercatat, misalnya, bom sebagai bentuk protes atas Perang Vietnam atau terkait isu lingkungan hidup. Bom tidak hanya ditujukan kepada perorangan, tetapi juga menyasar lembaga.
Untungnya, hampir semua pelaku pengiriman bom berhasil ditangkap. Tak jauh-jauh, tahun 2016-2017, pelaku pengirim bom di Palo Alto, di Chicago, Philadelphia, ditangkap petugas. Di antara waktu itu, ada pula bom yang dilayangkan untuk Barack Obama.
Jauh sebelum itu, pada 1947, bom surat dikirimkan buat Presiden Harry Truman. Koran The New York Times yang memberitakan hal itu berdasarkan sumber Margareth, putri Truman, menyebutkan, bom dikirim sebuah kelompok yang berafiliasi dengan grup Black September. (AP)