Teknologi Mengasyikkan ”Frogman”
”Frogman” tak sekadar film yang menampilkan kecanggihan teknologi. Karya tersebut juga memanggungkan marwah teater yang menuturkan kisah tentang guncangan psikologis seorang gadis. Perpaduan dua media seni itu pun tak ayal menimbulkan kekikukan bagi sebagian penontonnya.
Di Negara Bagian Queensland, Australia, Meera Clarke (Ava Ryan), Lily McCullen (Indiah Morris), dan Shaun Jacobs (Sol Costanho) asyik berjingkrak-jingkrak ditingkahi lagu teranyar kelompok musik Green Day, ”When I Come Around”. Saat itu, tahun 1995.
Anak-anak baru gede yang karib itu menginap di kediaman Meera di suatu kota kecil. Kota yang tak disebutkan namanya itu sangat tenang. Terang saja, saat Asleigh Richardson (Milla Webb), sahabat Meera, dinyatakan hilang, kota itu menjadi hiruk pikuk.
Adegan itu berselang-seling dengan ruang laboratorium terumbu karang pada 2018. Wajah Meera dewasa (Georgina Strawson) yang awalnya berseri-seri berangsur meredup saat detektif Fiona Webb (Sarah Woodward) mencecarnya dengan pertanyaan.
Fiona menanyakan perihal hilangnya Asleigh. Tak perlu waktu lama bagi Meera untuk menunjukkan kegelisahannya. Pecahan-pecahan memori kelam masa silam berkelindan dalam benak Meera. Dia menjadi saksi kunci lenyapnya Asleigh yang masih berumur 13 tahun saat dinyatakan hilang.
Kilas balik ingatan Meera selanjutnya berganti-ganti menjadi adegan masa lalu dan kini. Meera teringat kenangan saat bersama sahabat-sahabatnya bermain Sega Mega Drive, konsol permainan video yang populer pada dasawarsa 1990-an; dan perbincangan dengan Asleigh.
Meera remaja akhirnya tak dapat menahan diri untuk curhat kepada sahabat-sahabatnya. Lily dan Shaun pun menyimak kesaksian Meera yang amat ganjil. Asleigh tenggelam di Great Barrier Reef, ekosistem terumbu karang terbesar di dunia yang berada di Quuensland.
”Aneh sekali. Asleigh amat tenang ketika dia berada di dalam air. Dia seakan bisa bernapas lalu sekonyong-konyong menghilang,” ujar Meera seraya tertegun. Sebagai teman-teman terbaiknya, Lily dan Shaun berjanji tidak akan membocorkan rahasia itu.
Kembali ke laboratorium terumbu karang, investigasi yang semakin gencar menyibak kekalutan Meera. Mata Meera membelalak dan raut wajahnya muram, termenung, bahkan mengiba. Kerapuhan jiwa Meera ditunjukkan dengan amat nyata saat menelusuri memori traumatis pada masa remaja.
Adegan-adegan itu saling bertautan pula dengan penyelaman di Great Barrier Reef, di mana Meera terlibat. Beberapa penyelam mengalami kejadian aneh. Kejutan lain pada penyelaman itu pun mencengangkan Meera.
Menonton Frogman menjadi keasyikan tersendiri. Betapa tidak, para penonton dihadapkan dengan dua panggung: film dan teater. Teater ketika menyaksikan secara langsung akting Strawson yang memerankan Meera, serta film saat adegan-adegan di kamar dan bawah laut disuguhkan.
Realitas virtual
Peranti yang tergolong baru bagi pencandu film adalah virtual reality. Teknologi itu berwujud headset atau semacam kacamata besar dengan layar dan tali pengikat untuk disesuaikan dengan ukuran kepala penonton. Perangkat itu dilengkapi penyuara telinga.
Mereka yang menonton Frogman bisa melihat adegan dengan format 360 derajat. Saat adegan di kamar Meera berlangsung misalnya, setiap penonton bisa melihat atap, dinding, hingga lantai. Tak ayal, teknologi itu memicu polah audiens yang tak lazim.
Mereka menoleh ke atas, bawah, kiri, kanan, hingga belakang untuk menikmati setiap detail kamar. Pada layar, terjemahan juga tertera pada bagian depan, kiri, dan kanan. Pandangan setiap penonton pun berbeda-beda. Beberapa penonton tampak menengadah, sementara sebagian penonton lain menunduk.
Tak pelak menggelikan pula saat kaki-kaki penonton beradu, karena badan mereka yang sesekali berputar. Kemutakhiran tak urung menimbulkan kecanggungan sekaligus kejenakaan saat kaki-kaki itu berbenturan. Beberapa penonton harus melepaskan atau memakai kacamata saat peralihan adegan.
Mereka mengernyitkan dahi saat harus mengenakan kacamata lagi untuk menyimak kesaksian Meera. Di Studio TOM Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Jakarta, Rabu (24/10/2018), para penonton disediakan kursi biasa.
Kursi yang bisa diputar itu lazim terdapat di kantor-kantor. Sekitar 50 penonton membentuk lingkaran dengan Meera berada di tengah-tengah. Sementara beberapa kru terlihat bekerja di sisi studio dan mengawasi jalannya pertunjukan. Mereka juga membantu penonton yang mengalami kesulitan.
Frogman yang diproduksi Curious Directive, kelompok teater dari kota Norwich, Inggris, diputar di Jakarta pada 24-28 Oktober 2018. Setiap hari selama tanggal itu, film diputar dua kali, yakni pukul 16.00 dan 18.00, dengan durasi sekitar satu jam.
Film itu merupakan penutup dari Djakarta Teater Platform, program yang dibentuk Dewan Kesenian Jakarta dan diselenggarakan sejak tahun 2016. Djakarta Teater Platform 2018 merupakan kerja sama Dewan Kesenian Jakarta, IKJ, British Council, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Jack Lowe, sutradara Frogman, mengatakan, film itu mengetengahkan kerapuhan mengenai memori remaja yang beranjak dewasa. ”Film itu berupaya mengeksplorasi memori yang sangat rapuh. Meera syok ketika ingatannya mengenai Ashleigh diungkit lagi,” ucapnya.
Raja Ampat
Sebagian adegan dari film itu dekat dengan publik Indonesia karena syuting bawah laut dilakukan di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. ”Terumbu karang di Raja Ampat termasuk yang paling baik di dunia. Saya sendiri yang melakukan syuting di bawah laut,” katanya.
Pembuatan Frogman jauh lebih sulit dibandingkan memproduksi film biasa. Begitu kompleksnya pengambilan gambar Frogman hingga Lowe langsung angkat tangan ketika ditanya kesediaannya membuat film dengan teknologi virtual reality lain.
”Banyak sekali pihak yang mengirim surat elektronik kepada saya. Bukannya saya tak mau pekerjaan. Saya mau, tetapi film virtual reality sangat susah dibuat,” ucapnya. Pembuatan Frogman berlangsung tahun 2017 selama dua pekan. Menurut Lowe, teknologi yang digunakannya tergolong baru di dunia.
Lowe mengatakan, jangankan di Indonesia, di Inggris pun teknologi itu termasuk mutakhir. Selain di Inggris, film itu sudah diputar di Australia dan China. ”Jadi, sepengetahuan saya, perpaduan film virtual reality dan teater seperti Frogman baru pertama kali dipentaskan di Indonesia,” ujarnya.
Adam Pushkin, Direktur Seni British Council Indonesia, mengatakan, pihaknya senang bisa membawa Curious Directive ke Jakarta. ”Karya-karya Curious Directive sangat menarik karena mengeksplorasi ide, teknologi, dan teater yang tergolong baru di Indonesia,” kata Pushkin.