BONTANG, KOMPAS - Holding Industri Pertambangan (HIP) PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum mendorong terwujudnya hilirisasi tiga produk sektor pertambangan. Tiga produk sektor pertambangan itu adalah aluminum, bauksit, dan batubara.
"Dengan melakukan hilirisasi, maka kita akan menghemat devisa negara dan bahkan akan meningkatkan barang turunan hasil tambang yang akan mendatangkan devisa," kata Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, di Bontang, Minggu (28/10/2018).
Budi mengatakan, mendorong hilirisasi produk tambang merupakan salah satu dari tiga mandat Holding Industri Pertambangan. Beberapa proyek hilirisasi telah dibuat dan merupakan langkah nyata dalam mendukung terjadinya nilai tambah produk di sektor tambang dan upaya mendukung penghematan devisa negara.
Seluruh perusahaan pertambangan di bawah HIP akan didorong untuk melakukan hilirisasi. Dia mengatakan, dengan hilirisasi maka nilai tambah yang didapatkan Indonesia bisa mencapai lima kali lipat. "Jika ekspor kita saat ini mencapai 10 miliar dollar, maka dengan dilakukan hilirisasi, devisa yang didapat bisa mencapai 50 miliar dollar AS," ujar Budi.
HIP juga menjadi salah satu tulang punggung negara dalam mendulang devisa dari hasil ekspor dan mengurangi ketergantungan bahan baku dari impor. HIP memperkirakan penjualan hasil ekspor hingga 2018 sebesar 2,51 miliar dollar AS atau sekitar Rp 37 triliun. Hingga Agustus 2018, terealisasi 1,57 miliar dollar AS atau 62,5 persen dari proyeksi.
Budi mencontohkan produk alumina sebagai bahan baku alumunium. Selama ini Inalum mengimpor alumina dari Australia, China, dan India. Padahal, bahan baku alumina, yakni bauksit, merupakan produk PT Antam yang diekspor ke Australia, China, dan India. Harga bauksit sebesar Rp 35 dollar per ton, sementara harga alumina sebesar 611 dollar per ton.
"Hal seperti inilah yang membuat neraca transaksi berjalan kita menjadi defisit. Apabila bauksit bisa kita hilirisasi sendiri, maka tidak ada devisa yang keluar. Oleh karena itu, kami akan membangun pabrik smelter bauksit di Mempawah, Kalimantan Barat," jelas Budi.
Untuk pabrik alumina itu, Inalum akan berkolaborasi dengan PT Antam Tbk dan produsen alumina terbesar kedua di dunia Aluminum Corporation of China Ltd (CHALCO). Pembangunan pabrik pemurnian ini akan dilakukan dalam 2 tahap dengan total kapasitas produksi 2 juta metrik ton alumina.
Investasi untuk membangun pabrik tahap 1 tersebut diperkirakan sekitar 850 juta dollar AS dan di targetkan mulai berproduksi pada tahun 2021. Harga penjualan alumina kepada Inalum tetap dengan harga 611 dollar AS per ton, tetapi uang tersebut tidak akan keluar dari Indonesia sehingga menyehatkan neraca transaksi berjalan.
Gasifikasi
Anggota HIP lainnya, PT Bukit Asam Tbk, akan berkolaborasi dengan PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk untuk mengkonversi batubara muda menjadi syngas yang merupakan bahan baku untuk diproses lebih lanjut menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar, urea sebagai pupuk, dan polypropylene sebagai bahan baku plastik.
Pabrik pengolahan gasifikasi batubara ini direncanakan mulai beroperasi pada November 2022. Produksi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500.000 per tahun, 400.000 ton DME per tahun, dan 450.000 ton Polypropylene per tahun. Dengan target pemenuhan kebutuhan sebesar itu, kebutuhan batubara sebagai bahan baku diperkirakan akan sebesar 9 juta ton per tahun. Kebutuhan itu sudah termasuk untuk mendukung kebutuhan batubara bagi pembangkit listriknya. Nilai keseluruhan proyek tersebut diperkirakan lebih dari 3 miliar dollar AS.
Sementara PT Timah Tbk akan melakukan hilirisasi dari sisa pengolahan timah, yakni mineral tanah jarang. Mineral ini dibutuhkan untuk magnet khusus pengeras suara.
"Selama ini sisa pengolahan timah dibuang begitu saja. Ternyata setelah dipisahkan, bisa diambil mineral tanah jarang, yang harganya mencapai 70.000-80.000 dollar AS per ton. Magnet dari tanah jarang bisa membuat speaker berukuran kecil tetapi menghasilkan suara yang lebih menggelagar dan bagus," jelas Budi.
Dia mengatakan, untuk investasi beragam hilirisasi itu membutuhkan 10 miliar dollar. "Investasinya sangat besar. Oleh karena itu, kami harus melakukan kerja sama dengan perusahaan lain. Tetapi karena kerja sama, maka modal yang dibutuhkan oleh Inalum hanya sekitar 30 persen saja. Dan itu bisa dihasilkan dari Global Bond," ujar dia.