Sepi. Itulah kesan pertama saat mengunjungi museum MH Thamrin di Jalan Kenari II Nomor 15, Jakarta, pertengahan Oktober lalu. Hari itu hanya ada beberapa petugas museum. Dari buku tamu, ada 954 pengunjung dari Januari hingga Juli 2018 atau rata-rata 136 pengunjung setiap bulan.
Di bagian dalam museum dipamerkan beragam peninggalan pahlawan nasional MH Thamrin. Di dalam museum ada replika sepeda, radio, alat kesenian Betawi, delman, dan belangkon. Ada juga foto-foto Thamrin berikut foto beberapa kongres yang pernah digelar di Batavia ataupun di gedung itu.
Museum ini merupakan gedung yang dibeli oleh Thamrin pada 1929 dari seorang Belanda. ”Gedung ini awalnya rumah pemotongan hewan, lalu sempat juga menjadi tempat penimbunan buah-buahan dari Australia. Setelah membelinya, Thamrin menghibahkan gedung ini untuk aktivitas pergerakan,” kata Ayu Dipta, pemandu di museum itu.
Bangunan dengan luas 800-900 meter persegi itu dahulu dikenal dengan nama Gedung Permufakatan. Tempat itu jadi ”rumah” berbagai organisasi yang menggunakan ”nama” Indonesia untuk beraktivitas, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pada 1929, Partai Nasional Indonesia menggelar kongres keduanya di gedung itu. Persatuan Arab Indonesia juga sempat menggelar kongres di gedung tersebut pada 1935. Kongres Perempuan Indonesia yang kedua juga diselenggarakan di tahun yang sama di gedung tersebut. Di gedung itu pula, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang diinisiasi MH Thamrin mulai berbentuk. Perwakilan berbagai organisasi, seperti Partai Islam Indonesia, Partai Serikat Indonesia, Paguyuban Pasundan Rakyat, Persatuan Minahasa, dan Persatuan Katolik Indonesia, hadir di pertemuan itu pada 1939.
Sejarawan Anhar Gonggong dalam Muhammad Husni Thamrin (1985) menuturkan, GAPI dibentuk untuk menghimpun semua kekuatan sosial politik dalam satu wadah untuk menciptakan persatuan. GAPI menghasilkan Kongres Rakyat Indonesia dengan topik Indonesia Berparlemen. Di pertemuan itu juga kemudian disepakati Merah Putih sebagai bendera dan ”Indonesia Raya” sebagai lagu persatuan bangsa Indonesia.
Namun, gedung ini tidak hanya menjadi lokasi kongres. Gedung itu juga jadi tempat para pemuda yang aktif di pergerakan kemerdekaan untuk beradu gagasan, sekaligus menyusun siasat untuk membawa Indonesia menuju kemerdekaan. Perdebatan, tukar pandangan, dan pidato-pidato di gedung itu turut mengisi ”imajinasi” tentang bangsa yang saat itu mereka perjuangkan.
Tokoh pers Hadji Soebagijo IN dalam artikelnya di harian Kompas (11/11/1971) menyampaikan, di Gedung Permufakatan, para ”jago mimbar”, seperti MH Thamrin, M Yamin, dan Amir Sjarifuddin, pernah berpidato, membakar semangat rakyat dan mengobarkan jiwa kebangsaan.
Ingatan
Dari sisi fisik, museum itu terpelihara dengan baik. Hal yang mungkin perlu ditambahkan di museum tersebut adalah ”narasi” yang mampu mengingatkan pada perjuangan pemuda di era itu dalam menyumbang gagasan atas ”imajinasi” Indonesia. Padahal, Thamrin dan narasi perjuangannya bersama pemuda di masa itu bisa jadi ”bahan bakar” yang luar biasa dalam menjaga kesadaran nasionalisme pada saat ini. Semoga ingatan itu bisa dijaga dan disajikan secara kreatif….