JAKARTA, KOMPAS - Kehadiran teknologi komunikasi digital menggeser perilaku mengonsumsi media menjadi dua arah sehingga terjalin kedekatan antara kreator dengan konsumen. Kondisi tersebut perlu disikapi dengan cara menciptakan konten yang terus relevan.
Head of Emerging Markets and Small Medium Business Facebook untuk Indonesia dan Filiphina, Ferdy Nandes, di sela-sela sesi konferensi di Ideafest 2018, Sabtu (27/10/2018) di Jakarta mengatakan, warga sekarang suka mempergunakan 94 persen waktu mereka di depan layar ponsel pintar. Mereka mengonsumsi konten apa saja, tetapi bentuk yang paling disukai adalah video. Sekitar 75 persen paket data seluler dipakai menonton video.
Berangkat dari riset itu, Ferdy Nandes berpendapat, semestinya kreator media mulai menaruh perhatian lebih terhadap perilaku konsumen dan ponsel pintar mereka. Tujuannya adalah menjaga relevansi.
"Kunci keberhasilan adalah materi konten itu sendiri, baru eksekusi teknis. Di era semuanya serba mobile, aplikasi pengolah konten melimpah sehingga tak perlu khawatir. Konten dikatakan sukses apabila merangsang orang melirik," ujar Ferdy.
Dia menambahkan, setiap hari konsumen disodorkan ribuan jenis konten. Oleh karena itu, kreator media ataupun pemilik merek perlu memiliki karakteristik produk yang unik dibandingkan pemain sejenis.
Keterlibatan
Founder Narasi TV, Najwa Shihab berpendapat, digital menggeser cara produksi dan konsumsi informasi. Salah satu contoh nyata adalah konsumen ikut terlibat dan dilibatkan. Kini, siapapun bisa menciptakan konten sendiri. Meski begitu, menurut dia, tidak banyak pembuat konten sekarang memikirkan mengenai konteks dan nilai dari apa yang mereka produksi.
"Tetap relevan (dengan platform digital) itu penting. Bagi saya pribadi, setiap konten pasti memiliki pengaruh terhadap sikap konsumen, baik sekarang maupun masa depan," tutur Najwa.
Narasi TV memiliki 14 kanal konten. Pendekatan jurnalisme tetap dia pakai di beberapa kanal, misalnya Buka Mata, Narasi People, dan Mata Najwa. Kanal lainnya dikemas dengan pendekatan lebih kekinian dengan tujuan mendekatkan diri pada penonton. Sebagai contoh, Mata-Mata yang berisi konten pengalaman anak muda Indonesia di berbagai negara serta Shihab dan Shihab membahas isu sehari-hari dari perspektif Alquran.
Lebih jauh, dia mengemukakan pentingnya komunitas dan kolaborasi selama produksi konten di era digital. Kedua hal ini akan memudahkan pula menjaga relevansi konten terhadap tren.
Creative Executive Walt Disney Imagineering, Luc Mayrand mengungkapkan, organisasinya memiliki sejumlah karyawan yang berlatar belakang lebih dari 100 disiplin ilmu. Kondisi kerja tersebut membantu dalam produksi konten atraksi Disney.
Walt Disney Imagineering merupakan lembaga penelitian dan pengembangan dari The Walt Disney Company. Tugasnya bertanggung jawab atas pembuatan, desain, konstruksi taman, serta atraksi Disney di seluruh dunia.
Setiap konten atraksi yang dibuat menjanjikan kepada konsumen sebuah pengalaman tak terlupakan. Oleh karena itu, Walt Disney Imagineering berinvestasi besar di desain sampai teknologi.
Luc menambahkan, pihaknya juga memanfaatkan digital, seperti augmented reality dan virtual reality. Contoh penerapannya pada rancangan permainan Virtual Reality Star Wars di Disney World.
"Tantangan setiap kreator konten adalah harus bisa menampilkan kebaruan dan inovatif. Teknologi digital memungkinkan tantangan tersebut bisa dilalui," katanya.
McKinsey dalam Global Media Report 2015 menyebutkan, pembelajaan di media terus bergeser dari produk dan layanan tradisional ke digital. Produk dan layanan digital yang dimaksud meliputi video digital transaksional berbentuk aplikasi internet (over-the-top/OTT), video digital langganan OTT, unduhan musik, berlangganan rekaman digital, sirkulasi media cetak secara digital, gim daring, dan belanja pita lebar. Pada 2019, perusahaan konsultan manajemen ini memperkirakan porsi belanja digital akan berkontribusi lebih dari 50 persen dari total pengeluaran media.
Global Media Report 2015 mengumpulkan data historis serta menampilkan tren di industri media global dari kurun waktu 2009 - 2014. McKinsey meneliti 12 kategori media. Laporan ini juga berisi proyeksi tren dari tahun 2015 menuju 2019.
Meski terjadi pergeseran, Global Media Report 2015 mengatakan, keberadaan media tradisional tetap jadi perhatian masyarakat. Sebagai ilustrasi, televisi tradisional masih mendominasi total belanja iklan di seluruh dunia, yakni sekitar 38,7 persen. Di negara-negara maju, pertumbuhan media tradisional terus menurun signifikan, sementara di negara berkembang belum.
Pertumbuhan pembangunan jaringan pita lebar mempengaruhi pembelanjaan media dari produk dan layanan tradisional ke digital. Global Media Report 2015 memperkirakan, akan ada tambahan belanja sekitar 195 miliar dollar AS yang dengan sendirinya mewakili 43 persen dari total peningkatan belanja media sampai lima tahun mendatang.