Ribuan Pelari, Berjuta Ekspresi
Meski dikenal polutif, salah satunya karena kemacetan lalu lintas, Jakarta tetap menjadi magnet bagi pelari. Terbukti, 12.314 pelari mengikuti Electric Jakarta Marathon 2018, Minggu (28/10/2018), sebanyak 314 di antaranya anak-anak.
Salah satu yang bersemangat tampil di Electric Jakarta Marathon 2018 tak lain Andreea Bollinger, pelari asal Romania.
Bagi perempuan pelari berusia 30-an tahun itu, uang bukan hadiah yang dia incar. Baginya, menyentuh finis menjadi bukti kemenangan, dan hadiah terbesarnya adalah bisa melihat spot-spot indah di Jakarta.
Andreea tidak sendiri. Ia bersama suaminya, Levi Bollinger yang asal Amerika Serikat, berpartisipasi di nomor half marathon (21 K). Ini kedua kalinya mereka ikut Jakarta Marathon.
Ketika melintasi Monumen Nasional (Monas), Andreea merasa seperti berlari di Paris, ibarat melewati Menara Eiffel. Selain Monas, ia mengagumi kawasan Kota Tua Jakarta. ”Indonesia selalu spesial untukku. Banyak tempat yang indah. Aku cinta Indonesia, cinta budayanya,” ujar Andreea yang akan mengikuti lagi Jakarta Marathon 2019.
Perempuan berambut pirang sebahu itu menilai, secara keseluruhan Jakarta Marathon cukup bagus. Selain menawarkan spot-spot indah, para sukarelawan dan orang Indonesia sangat baik dan murah senyum.
Meski begitu, untuk ukuran maraton internasional, Jakarta harus sedikit berbenah untuk merapikan rute yang idealnya steril dari kendaraan bermotor. Maklum, pada perhelatan Minggu pagi, sejumlah rute masih dilalui kendaraan, sekaligus dilintasi pelari.
Dulmi (58), pelari asal Sabah, Malaysia, juga berpandangan hampir sama dengan Andreea, terkait rute yang dilalui pelari. ”Seharusnye rute steril dari kendaraan mobil dan motor, tapi untungnya ada yang mengatur. Secara keseluruhan Jakarta Marathon bagus, pemandangan bagus, dan saya suka,” ujar Dulmi yang mengikuti maraton, dengan waktu 4 jam 48 menit.
Andreea dan Dulmi adalah dua dari 1.067 pelari asing yang ambil bagian di Electric Jakarta Marathon 2018. Pelari asing lain berasal dari India, Hongaria, Perancis, Polandia, Kenya, Uganda, Brasil, dan Jepang. Peserta asing dari Jepang menjadi yang terbanyak, dengan 427 pelari.
Tak melunturkan
Antusiasme juga tergambar dari penuturan dua pelari domestik peserta maraton, Vivi Dimitrio dan Ravhie Walimaher. Keduanya gagal menyentuh finis. Namun, kegagalan itu tak lantas melunturkan semangat untuk berpartisipasi lagi tahun depan.
Wajah Vivi memerah ketika didorong menggunakan kursi roda, masuk ke posko kesehatan. Ia tampak lesu, matanya berkaca. Ia seakan tak percaya, dirinya tidak mampu menyelesaikan rute maraton.
Padahal, tahun sebelumnya, ia menaklukkan jarak 42,195 km tanpa mengalami cedera. ”Sedih enggak bisa menyelesaikan Jakarta Marathon kali ini,” kata perempuan warga Jakarta itu sambil menahan sakit di lutut kirinya.
Rasa sakitnya mulai terasa di Km 7, tetapi ia tetap meneruskan lari. Memasuki Km 32, rasa sakit itu makin menjadi. Ia memutuskan beristirahat sejenak, dan berjuang lagi dengan berjalan kaki, sesekali berlari. Sayang, dua kilometer sebelum finis, Vivi tak lagi kuat berjalan. Kedua telapak kakinya kram, dan lutut kirinya makin sakit. Vivi pun diangkut dengan ambulans dan dirawat tim medis.
Ravhie Walimaher (21) juga berlari pelan tertatih. Kakinya tidak lagi kuat menopang tubuhnya yang sudah letih sehingga ia harus dibopong untuk mencapai finis. Tak heran, rona wajahnya sedih, tak seperti pelari lain yang gembira dan tersenyum lebar saat tiba di finis.
Pria yang tinggal di Sorong, Papua, ini terjun di nomor maraton. Ketika memasuki Km 9, ia mulai merasa ada masalah di kaki kanannya. Namun, ia tetap berlari dan tetap bertekad untuk mencapai garis finis.
Sayang, belum mencapai Km 11 kakinya semakin sakit dan ia mengalami kram, padahal finis masih jauh. ”Saya istirahat sejenak. Dari situ saya berjalan ringan, sesekali berlari. Karena saya memaksakan untuk mencapai finis, akibatnya kaki kanan saya semakin sakit,” ujarnya sambil terbaring di posko kesehatan, dengan kaki dibalut es.
Nomor maraton didominasi pelari asal Kenya, dengan merebut tiga posisi terbaik. Bernard Mwendia Muthoni menjadi yang tercepat dengan waktu 2 jam 19 menit 10 detik. Ia meraih hadiah Rp 100 juta. Posisi kedua diraih Peter Kipleting Keter, dan posisi ketiga Josphat Kiptanui T Chobei.
Pada kategori maraton putri, pelari Kenya, Chesang Sheila Jepkosgei, juga tampil sebagai juara dengan waktu 2 jam 46 menit 33 detik. Runner-up dan peringkat ketiga juga milik pelari Kenya, Chemutai Immaculate dan Margaret Njuguna.
Sementara untuk kategori maraton nasional, Agus Prayogo menjadi yang tercepat di bagian putra, dengan catatan waktu 2 jam 36 menit, 55 detik. Posisi kedua direbut Rudi Febriade, disusul Yahuza. M Arief Hartani (52), pelari kategori 5K, meninggal karena gagal jantung seketika. (E20/E19)