Sejak masa revolusi fisik, para pemuda Bekasi tak gentar berada di garis terdepan arena pertempuran untuk memertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, mereka juga mempertaruhkan nasib dengan menuntut keluar dari Distrik Federal Jakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Meski tuntutan tersebut membuahkan ketertinggalan baik dari segi sosial maupun ekonomi karena harus terlepas dari Ibu Kota, hal itu tak pernah disesali. Kini, pemuda Bekasi kembali berjuang membangun identitas dan kebanggaannya sendiri.
Bagi pemuda Bekasi, merasa bangga atas wilayah serta kultur yang sudah dianugerahkan kepada mereka memang bukan perkara sederhana. Letaknya yang hanya berjarak 30-50 kilometer dari DKI Jakarta membuat sebagian besar masyarakat lebih akrab dan merasa menjadi bagian dari Ibu Kota.
Apalagi, sejak 2014, cibiran terhadap Bekasi, baik kota maupun kabupaten seolah tak berhenti, mulai dari dunia maya hingga memasuki obrolan sehari-hari. Meski lokasinya begitu dekat dengan Jakarta, namun kehidupan seolah berbanding terbalik. Mulai dari infrastruktur jalan yang buruk, kemacetan parah, hingga cuaca panas yang menyengat, semua ada di Bekasi.
“Identitas Bekasi dan warganya pun belum terlalu menonjol, sebab potensi-potensi yang ada belum dikembangkan secara optimal,” kata Muhammad Khalid (27), pegiat komunitas seni Kedutaan Besar (Kedubes) Bekasi, Minggu (28/10/2018). Bahkan, anak muda perlu melakukan hal nekat untuk menonjolkan identitas Bekasi.
Misalnya, pada 2016, Kedubes membuat galeri seni di dalam Gedung Juang Tambun, selama enam bulan. Padahal, bekas rumah tuan tanah di masa kolonial yang digunakan tentara republik pada masa perang kemerdekaan itu selama bertahun-tahun tidak digunakan, hingga menjadi sarang kelelawar.
“Kami juga membuat paspor Bekasi,” kata Khalid. Pembuatan paspor itu merupakan cara mereka merespons ejekan warganet bahwa Bekasi berada di luar Indonesia, bahkan di luar bumi, karena kondisi infrastrukturnya yang sangat berbeda dengan Jakarta.
Ide-ide serupa juga dilaksanakan komunitas lainnya. Mereka sama-sama berharap perbaikan Bekasi dengan mengedepankan isu dari sektornya masing-masing. Di Bekasi Raya, setidaknya ada 150 komunitas yang bergerak di berbagai bidang antara lain kepemudaan, kebudayaan, sejarah, dan olahraga.
Kolektivitas
Ide untuk mengumpulkan komunitas kemudian muncul pada 2016. Hellen Consinta Howar (25), Presiden Young on Top Bekasi 2016/2017, mengatakan, saat itu sekitar 40 komunitas di Bekasi yang berasal dari berbagai bidang sepakat mengadakan Hari Komunitas Bekasi (Hakabe). “Melalui Hakabe, kami ingin saling mengenal agar bisa berkolaborasi dan saling menginspirasi,” ujar Hellen.
Ia menambahkan, Hakabe diselenggarakan secara swadaya. Setiap komunitas berkontribusi dengan keahlian dan tenaga. Tidak ada imbalan uang atas kerja-kerja yang telah dilakukan.
Mereka hanya saling mempromosikan melalui akun media sosial. Juga membantu keperluan setiap komunitas dengan menghubungkan mereka pada jejaring yang sudah dimiliki sebelumnya. “Misalnya, karena saya punya banyak rekanan di mal dan hotel, bisa membantu teman-teman mencarikan tempat gratis untuk mengadakan acara,” kata Hellen.
Kekuatan yang terhimpun secara kolektif itu kemudian mendorong mereka untuk membentuk Bekasi Community Connection (BCC) pada awal 2018, sebagai forum komunikasi antarkomunitas. Abi Sutanrai Abdilah (25), Ketua BCC, mengatakan, saat ini anggota BCC sudah lebih dari 60 komunitas.
Mereka pun kembali menyelenggarakan Hakabe 2018 pada Sabtu-Minggu (27-28/10/2018). Tidak hanya jumlah komunitas peserta yang meningkat, tetapi juga keragaman. Kini, Hakabe juga diikuti oleh komunitas anak jalanan, keagamaan, klub mobil, klub drone, dan kaum tuli. Mereka diberi ruang untuk menampilkan kebolehan, antara lain menyanyi, membaca puisi, hapalan Al Quran, dan stand up comedy. Adapun tema yang diambil adalah Bangga Bekasi.
“Kami ingin membangun ikatan emosional antara warga dan kotanya,” kata Abi. Menurut dia, cibiran terhadap Bekasi yang telah mengemuka bertahun-tahun telah menutup prestasi warganya. Berbagai prestasi dan potensi daerah yang lain perlu dipublikasikan kembali.
Abi menambahkan, pengalaman dari berbagai kegiatan komunitas juga disiapkan menjadi masukan bagi pemerintah. Sebab, pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan perkotaan seringkali tidak kontekstual dengan kondisi di lapangan.
Selain itu, kegiatan bersama juga memberikan manfaat bagi para pegiat komunitas. Bella Rosa Paramitha (24), Ketua Komunitas Bambu Tuli, mengatakan, sejak berdiri pada 2015, sulit mencari relawan yang mau mempelajari bahasa isyarat guna membantu kaum tuli. Namun, dengan jejaring yang dibangun bersama dalam Hakabe, dalam dua hari saja sudah ada lima orang yang mendaftar menjadi relawan.
Menurut Abi, melalui Hakabe dan BCC, komunitas di Bekasi ingin menguatkan jejaring internal sesama pemuda Bekasi. “Sehingga ketika Bekasi memanggil, kami akan selalu siap,” ujar dia.