JAKARTA, KOMPAS – Sejak Februari 2017, terhitung ada empat warga Pulau Pari yang dipenjara sebagai buntut sengketa lahan di pulau tersebut. Persoalan lahan di salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, ini mesti segera diselesaikan agar tidak berbuntut pada kriminalisasi warga.
“Sengketa lahan di Pulau Pari harus segera diselesaikan agar kriminalisasi warga bisa dihentikan,” kata Nelson Nikodemus Simamora, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang mendampingi warga Pulau Pari, Minggu (28/10/2018).
Kriminalisasi antara lain menimpa tiga warga yaitu Mustaghfirin, Mastono, dan Bahrudin. Mereka divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena melakukan pemerasan, dan dipenjara enam bulan yakni 15 Mei- 17 November 2017.
Pada 5 September 2018, Pengadilan Tinggi Jakarta memenangkan banding warga dan memutus bebas Mustaghfirin, Mastono, dan Bahrudin. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan, tuduhan pemerasan itu tidak terbukti karena uang pungutan digunakan untuk kepentingan masyarakat setempat.
“Mustaghfirin, Mastono, dan Bahrudin ditangkap serta diadili tanpa ada pihak yang melaporkan,” ujar Nelson. Mereka tertangkap dalam operasi polisi Sapu Bersih Pungutan Liar.
“Uang yang kami dapat dari pengunjung Pantai Pasir Perawan sebesar Rp 5.000 itu digunakan untuk membuat penerangan dan menjaga kebersihan pantai itu,” ujar Mastono, kemarin.
Adapun Bahrudin menyesalkan penangkapan itu. Ia berpendapat, seharusnya pemerintah bangga terhadap warga Pulau Pari yang mampu mengelola swadaya potensi pariwisata di situ. "Yang terjadi kami justru ditangkap karena dituduh malak.”
Saat ini, Sulaiman, warga Pulau Pari, sedang menunggu sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara setelah Direktur Utama PT Bumi Pari Asri Pintarso Adijanto melaporkan dugaan penyerobotan lahan. Sejumlah warga lain juga beberapa kali dipanggil menghadap ke Polres Kepulauan Seribu atas tuduhan serupa.
Sebelumnya, Edi Priadi, warga Pulau Pari, divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas tuduhan menyerobot lahan perusahaan. Ia dipenjara empat bulan yakni 2 Februari-7 Juni 2017.
Sengketa di Pulau Pari berawal ketika Kantor Pertanahan Jakarta Utara menerbitkan 14 Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa, keduanya anak perusahaan Bumi Raya Utama Group. Selain itu, ada 62 Sertifikat Hak Milik dengan nama pemilik terkait perusahaan itu. Ke-76 sertifikat itu membuat perusahaan menguasai 90 persen lahan di Pulau Pari (Kompas, 17/4/2018).
Terlantar
Sejumlah warga Pulau Pari yang terjerat pemidanaan tersebut merasakan dampak konflik berkepanjangan yang lebih parah. Saat mereka dipenjara, perekonomian keluarga goyah dan istri serta anak pun ikut jadi korbanya.
Mustaghfirin misalnya, selama mendekam di penjara, istri dan anaknya bergantung pada tabungan yang jumlahnya tak seberapa. Untuk bertahan hidup mereka menjual apa saja yang laku dijual.
“Dulu waktu ditangkap, saya suruh istri agar bilang ke anak yang paling kecil kalau saya kerja di luar kota,” ujar Mustaghfirin. Ia menuturkan, enam bulan itu merupakan yang terberat dalam hidupnya.
Sebagai keluarga nelayan, hidup warga Pulau Pari bergantung dari hasil kepala keluarga melaut. Hanya Sabtu dan Minggu mereka bisa mendapat penghasilan dari wisatawan yang datang.
Namun, dengan sengketa lahan yang berlarut dan suami yang mendekam di penjara, kini mereka kehilangan arah untuk menyambung hidup. “Selalu seperti itu, akhirnya yang menjadi korban adalah perempuan dan anak,” ujar Kepala Divisi Perempuan dan Konflik Sumber Daya Alam Solidaritas Perempuan Aliza Yuliana yang menjadi pendamping warga Pulau Pari.