Sumpah Pemuda: Dari Kesadaran Etnik Menjadi Kesadaran Berbangsa
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Anggota grup orkestra Taman Suropati Chamber membawakan beberapa nomor komposisi lagu nasional pada Konser bertajuk ”Muda Bersatu dan Peduli” di Taman Suropati, Jakarta Pusat, Minggu (28/10/2018). Konser tersebut, selain untuk memperingati 90 tahun Sumpah Pemuda, juga untuk menggalang donasi peduli bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi Sulawesi Tengah. Momentum kesadaran bersama menjadi satu bangsa, tanah air, dan bahasa mencapai puncaknya pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 saat Kongres Pemuda II. Sebelumnya, berbagai kesadaran kebangsaan sudah muncul, tetapi masih berbasis kelompok etnik (etno nasionalis).
Sejarawan Didi Kwartanada pun mengingatkan, persatuan dan kekuatan bisa diraih ketika kesadaran kebangsaan sudah melampaui sekat etnis, agama, dan berbagai identitas kelompok.
Ketika identitas bangsa menguat di atas identitas kelompok, barulah sebuah pergerakan akan mencapai hasil.
Sejarah membuktikan bahwa pergerakan kebangsaan di Asia dan di Nusantara (Hindia Belanda) dimulai seiring sejumlah kekalahan Belanda. Di antaranya kekalahan dalam Perang Boer di Afrika Selatan (1880-1881) dan (1899-1902), pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, Revolusi Katipunan di Filipina (1896), Perang Amerika-Spanyol (1898), yang diikuti Revolusi Filipina terhadap Amerika (1898-1899).
Ditambah lagi, kemenangan Jepang terhadap Rusia dalam perang laut di Selat Tsushima yang semakin mengobarkan kesadaran akan hak, kesetaraan, dan kebebasan rakyat Asia, termasuk kesadaran penduduk Nusantara yang dijajah oleh Belanda.
Kekalahan orang-orang Boer (keturunan Belanda) dalam Perang Boer juga menampar harga diri kolonial Belanda. Salah satu tokoh yang terlibat dalam Perang Boer II (1899-1902) adalah Ernest Douwes Dekker yang kemudian mendirikan partai modern Indische Partij bersama Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
Indische Partij, menurut Didi Kwartanada, mulai inklusif dan terbuka sebagai partai politik. Turut bergabung 5.000 orang Eropa, 1.500 orang Bumiputera, dan 500 orang Tionghoa ketika partai berdiri dalam kurun 1912-1913.
Sementara sejarawan dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Andi Achdian, menerangkan tentang kesadaran kesetaraan dan kebangsaan. Apabila semula berbasis kelompok menjadi saling memotivasi sesama aktivis muda pada awal 1900-an.
”Salah satu contohnya adalah komunitas Tionghoa Surabaya,” ujar Andi Achdian. Politik di Kota Surabaya ada akhir 1800-an dan awal 1900-an bahkan sudah matang. Terbit pula surat kabar Melayu Tionghoa, yakni Bintang Soerabaja yang membahas lingkungan kota hingga pergerakan antikolonial.
Ketika muncul kesadaran untuk menjadi sederajat dengan Eropa, yang menjadi tuan di negeri-negeri Asia dan Afrika, golongan muda pun merantau. Mereka belajar ke Singapura (koloni Inggris) hingga Shanghai.
Ketika kembali, mereka membawa kesadaran kebangkitan nasional kelompok Tionghoa dengan membentuk Tionghoa Hwee Kwan atau THHK pada tahun 1900. Mereka membangun sistem pendidikan yang mengadopsi kurikulum Jepang yang sudah lebih dulu mengalami Restorasi Meiji.
Menurut Didi Kwartanada, langkah tersebut juga menginspirasi kaum intelektual Arab dengan mendirikan Jamiat Kheir sebagai perkumpulan modern pada tahun 1905.
Keberhasilan THHK dipuji Abdul Rivai, tokoh cendekia Bumiputera dalam terbitan Bintang Hindia, yakni majalah bergambar pertama Indonesia.
Kelahiran organisasi modern pertama Bumiputera, yakni Boedi Oetomo (BO), juga dihubungkan dengan kehadiran THHK sebagai sesama gerakan pembaruan kaum muda.
Dokter Wahidin Soedirohoesodo sebagai motor pendirian Boedi Oetomo dan redaktur koran Retno Dhoemillah banyak menulis tulisan tentang reformasi politik di Tiongkok ketika itu. Dia mengimbau kaum Bumiputera turut bergerak seperti kaum muda Tionghoa dan Arab di Hindia Belanda.
Kaum Bumiputera disarankan turut bergerak seperti kaum muda Tionghoa dan Arab di Hindia Belanda.
Para pemuda pergerakan dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan berbagai golongan masyarakat pun bahu-membahu menggelar Kongres Pemuda II.
RM Daradjadi, penulis buku sejarah Geger Pacinan 1740-1743: Koalisi Jawa Tionghoa Melawan VOC menjelaskan, Kongres Pemuda II berlangsung dalam semangat kebersamaan yang melampaui sekat suku, agama, dan ras serta kelas sosial.
”Kongres hari pertama dibuka di Jonge Katholiek Bond di kompleks Gereja Kathedral. Lalu, penutupan kongres dilakukan di tempat yang sekarang menjadi Museum Sumpah pemuda yang dimiliki dan disediakan Sie Kong Liong, pemilik rumah sekaligus bapak kost Muhammad Yamin dan kawan-kawan,” ujar Daradjadi.
Para aktivis muda dari Jawa dan Sumatera yang sebagian besar juga pemeluk Islam dapat bergandengan tangan dengan pemuda Kristiani dari berbagai daerah, dan juga para aktivis Tionghoa, Indo, dan Arab. Oleh karena tercapailah Sumpah Pemuda dan dapat dilantunkannya lagu ”Indonesia Raya” oleh WR Supratman.
WR Supratman kala itu pun bekerja di koran Melayu Tionghoa, yakni Sin Po yang secara khusus mengeluarkan naskah Indonesia Raya di terbitan ekstra untuk pertama kali di masa penjajah Belanda.
Supratman juga terlebih dahulu merekam lagu gubahannya di tempat studio rekaman Populaire milik Yo Kim Tjan di Pasar Baru. Rekaman asli tersebut kemudian dibawa keluarga besar Yo Kim Tjan mengungsi ke Garut, Jawa Barat, ketika berlangsung perang Kemerdekaan Indonesia.
Ketika kesadaran kepentingan bangsa mampu mengemuka, barulah sebuah bangsa—dalam hal ini Indonesia—bisa bergerak maju dalam kesetaraan dan persaudaraan mencapai cita-cita bersama yang dirumuskan dalam dasar negara, yakni Pancasila.