PALEMBANG, KOMPAS - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi kekurangan pesawat untuk teknologi modifikasi cuaca. Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi akan menginisiasi pengadaan pesawat bekerjasama dengan kementerian lain dan sejumlah instansi.
Komitmen dan rencana itu muncul saat Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir hadir di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan yang menjadi Posko Kebakaran Hutan dan Lahan di Palembang, Sabtu (27/10/2018).
Pelaksana Harian Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Wimpie Agoeng Noegroho mengatakan, saat ini BPPT hanya memiliki satu pesawat untuk penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Hujan buatan sebagai bentuk TMC terbukti mampu menjadi bagian upaya pencegahan bencana terkait kekeringan.
BPPT pernah memiliki empat pesawat untuk TMC. Namun, dua pesawat tidak bisa difungsikan lagi sehingga dialihkan untuk kebutuhan lain. Adapun satu pesawat lagi sedang diperbaiki di PT Dirgantara Indonesia, serta satu lagi sedang dipasang sejumlah peralatan mutakhir.
“Praktis, saat ini kami hanya mengandalkan pesawat dari swasta dan bantuan TNI untuk TMC,” kata Wimpie.
Akibat keterbatasan armada ini, BPTT tidak bisa melakukan TMC secara optimal, terutama untuk mitigasi bencana. Penerapan TMC saat kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah tidak bisa dilakukan serentak. Pesawat hanya difungsikan di Sumsel yang dijadikan prioritas, karena menjadi lokasi penyelenggaraan Asian Games.
Untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan tahun ini, TMC dilakukan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. TMC di Sumsel dilaksanakan 16 Mei 2018 hingga saat ini. Jumlah garam yang digunakan mencapai 110 ton dengan 130 penerbangan.
Dari hasil penyemaian itu, ujar Wimpie, sudah dihasilkan air hujan sekitar 693 juta meter kubik. “Fungsi dari TMC adalah untuk membasahi lahan dan juga mengurangi titik panas,” kata dia.
Adapun untuk di Kalimantan Barat, TMC telah dilakukan 19 Agustus hingga 9 Oktober. Jumlah air hujan yang dihasilkan mencapai 472 juta meter kubik. Saat ini, TMC di Kalbar dihentikan karena kondisi curah hujan yang cukup tinggi.
Pindahkan awan
Kepala Bidang Pelayanan Teknologi TMC Sutrisno menerangkan, fungsi dari TMC tidak hanya untuk menurunkan hujan saja. Namun, juga mencegah meluasnya banjir dengan cara memindahkan awan hujan di tempat lain seperti di laut atau di tempat lain yang kekeringan.
Keberadaan TMC juga mampu menyokong kedaulatan pangan dengan menambah curah hujan menyuplai pasokan air irigasi di 10 provinsi penghasil beras. “Harapannya, curah hujan meningkatkan hasil produksi beras nasional," kata dia.
Berkaca pada Thailand, ungkap Sutrisno, yang sudah memiliki 30 pesawat untuk membuat hujan buatan, hasil produksi beras mereka baik. “Jika hal ini dilakukan di Indonesia, bukan tidak mungkin produksi beras kita meningkat pesat,” katanya.
Saat ini, jumlah ideal pesawat TMC untuk membuat hujan buatan dan keperluan lain sebanyak 3-5 unit pesawat.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, melihat kebutuhan ini, ia akan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) guna membahas pengadaan pesawat untuk TMC. “Saya juga akan menyampaikan hal ini kepada Presiden,” kata dia.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi menambah pesawat untuk TMC, karena PT Dirgantara Indonesia bisa membuat. “Thailand saja memesan pesawat untuk hujan buatan dari Indonesia. Tidak tanggung-tanggung 30 unit. Kenapa Indonesia tidak?” kata Nasir.
Demi efisiensi dana, perlu kerja sama antarlembaga dan instansi agar biaya pengadaan dapat ditekan. “Harga satu pesawat untuk TMC sekitar Rp 160 miliar. Dengan kerja sama, biaya tersebut dapat ditekan. Apalagi buatan sendiiri,” ucapnya.