Satu fakta yang terus memunculkan pertanyaan terkait tragedi penerbangan JT-610 Lion Air adalah betapa barunya pesawat yang jatuh itu. Boeing 737 MAX 8 tidak hanya baru bagi Lion Air, tetapi juga baru bagi Boeing, pabrikan pesawat utama asal AS.
Program 737 MAX diluncurkan Boeing pada 2011 dengan tujuan membuat generasi terbaru Boeing 737, pesawat penumpang tersukses sepanjang masa. Generasi terbaru ini menggunakan mesin baru yang lebih efisien dan berbagai peningkatan kekuatan struktur, aerodinamika, dan avionik.
Lion Air Group langsung tertarik dengan pesawat baru ini. Menurut keterangan resmi Boeing, Lion Air Group memesan 201 unit 737 MAX pada 17 November 2011, tak sampai dua bulan sejak program 737 MAX resmi diluncurkan Boeing.
Boeing 737 MAX 8 beregistrasi PK-LQP yang jatuh di perairan Karawang, Senin (29/10/2018), adalah 737 MAX 8 ke-10 yang dioperasikan Lion Air. CEO Lion Air Edward Sirait mengatakan, pesawat ini baru diterima pada 13 Agustus 2018 dan dioperasikan pertama kali pada 15 Agustus 2018.
Jadi, bagaimana bisa pesawat sebaru itu bisa jatuh? Jelas terlalu dini untuk mengetahui penyebab pasti jatuhnya pesawat pada saat ini. Akan tetapi, jatuhnya pesawat yang masih baru bukan baru pertama kali terjadi di dunia penerbangan.
Bukan pertama
Kita tentu ingat dengan tragedi Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100) yang menabrak dinding Gunung Salak, Jawa Barat, 9 Mei 2012, menewaskan 45 orang. Waktu itu, pesawat ini baru melakukan demo terbang untuk mempromosikan pesawat penumpang terbaru buatan Rusia tersebut sebelum menurut rencana dioperasikan sejumlah maskapai nasional.
Penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyimpulkan tragedi itu terjadi akibat tiga faktor, salah satunya kelalaian awak pesawat dalam merespons peringatan terrain awareness and warning system (TAWS) pesawat (Kompas, 19/12/2012).
Faktor kedua, menurut Ketua KNKT Marsekal Muda TNI (Purn) Tatang Kurniadi, adalah pelayanan Jakarta Radar yang belum mempunyai batas ketinggian minimum pada pesawat yang diberikan vektor (perintah berupa arah yang diberikan oleh pengatur lalu lintas udara kepada pilot pada pelayanan radar) di kawasan jatuhnya pesawat. ”Sistem dari Jakarta Radar belum dilengkapi dengan MSAW (minimum safe altitude warning) yang berfungsi untuk daerah Gunung Salak,” kata Tatang.
Kemudian, terjadi pengalihan perhatian terhadap awak pesawat dari percakapan yang berkepanjangan dan tidak terkait dengan penerbangan. Hal ini menyebabkan pilot yang menerbangkan pesawat tidak dengan segera mengubah arah pesawat ketika orbit dan pesawat keluar dari orbit tanpa disengaja. ”Percakapan ini (terjadi) dengan potential buyer (calon pembeli),” ujar Tatang.
Insiden lain yang mendunia adalah jatuhnya pesawat Airbus A320 nomor penerbangan AF 296 milik maskapai Air France dalam pameran dirgantara di Bandara Mulhouse-Habsheim, Perancis, 26 Juni 1988. Ini adalah penerbangan perdana berpenumpang (passenger flight) A320 dan bertujuan mendemontrasikan teknologi fly-by-wire pertama pada pesawat komersial.
Video kecelakaan yang hingga kini banyak beredar di Youtube menunjukkan, pesawat melakukan terbang lintas (fly pass) dalam kondisi roda pendarat diturunkan. Pesawat melintas dengan ketinggian rendah di hadapan para pengunjung Habsheim Air Show. Seharusnya, setelah fly pass itu, pesawat kembali menambah ketinggian.
Namun, pesawat tidak segera menambah ketinggian dan akhirnya menabrak barisan pepohonan di ujung landasan sebelum jatuh dan meledak dalam gumpalan asap hitam pekat. Tiga orang tewas dalam kecelakaan ini.
Hasil penyelidikan Biro Keselamatan Penerbangan Perancis (BEA) yang dikutip Aviation Safety Network (ASN) menyimpulkan, pesawat jatuh karena terbang dengan ketinggian dan kecepatan terlalu rendah. Pilot juga dipersalahkan karena dinilai telat menaikkan tenaga pesawat untuk menambah ketinggian lagi (go around power).
Tragedi besar lainnya menimpa maskapai Air France saat pesawat Airbus A330-200 nomor penerbangan AF447 jatuh di Samudra Atlantik, 1 Juni 2009, menewaskan 228 orang. Saat kejadian, pesawat ini adalah A330 terbaru di armada Air France dan baru dioperasikan sekitar empat tahun.
Penyelidikan BEA menyebutkan kecelakaan dipicu ketidakakuratan pembacaan kecepatan pesawat akibat tertutupnya alat pengukur kecepatan pesawat (pitot tube) oleh es. Hal ini menyebabkan sistem autopilot mati otomatis dan respons pilot setelah itu dinilai menyebabkan pesawat stall dan jatuh ke laut.
Pesawat-pesawat terbaru dibuat dengan desain dan teknologi terkini untuk memaksimalkan faktor keselamatan. Namun, berbagai insiden ini mengingatkan, setinggi-tingginya teknologi tetap tak boleh membuat manusia lalai dan abai dengan berbagai faktor bahaya yang mengancam.