Impian Pyongyang Jadi Pusat Transportasi di Kawasan
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Korea Utara tampaknya sungguh-sungguh ingin fokus pada pembanguan ekonomi. Laporan terakhir menyebutkan, pemerintah negara itu sedang menggodok rencana besar untuk menjadi pusat (hub) transportasi regional. Rencana ini terinspirasi oleh Singapura dan Swiss. Korea Utara juga kemungkinan akan bergabung dengan institusi-institusi finansial dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF) jika negara-negara anggota IMF tidak lagi bersikap memusuhi Korea Utara.
Ri Ki Song, peneliti senior dan ekonom di Institut Ekonomi Akademi Ilmu Sosial Korut, kepada kantor berita The Associated Press, Senin (29/10/2018) silam, mengatakan, meski Korut ditekan dengan sanksi internasional untuk menghentikan program rudal dan nuklir, perekonomian Korut masih bisa bertumbuh. Hal ini terlihat dari produk domestik bruto yang meningkat dari 24.998 miliar dollar AS (2013), menjadi 29.595 miliar dollar AS (2016) dan 30.704 miliar dollar AS (2017).
Data statistik Korut ini diragukan para ekonom. Prakiraan yang dikeluarkan Juli lalu oleh Bank Sentral Korea Selatan, misalnya, justru menunjukkan data PDB Korut turun 3,5 persen pada 2017. Jika hal ini benar, berarti penyusutan itu merupakan yang terbesar sejak tahun-tahun bencana kelaparan Korut pada akhir 1990-an.
Menurut Ri, pertumbuhan ekonomi Korut membuktikan sanksi justru memecut negara itu untuk mendorong perekonomian dan membuatnya lebih efisien karena bergantung pada kemampuan diri sendiri. Korut telah mengembangkan semacam pupuk yang memanfaatkan batu bara produksi dalam negeri dan bukan produk minyak impor. Hal ini membuat metode produksi baja berkembang.
Ri tidak menyebutkan berkembangnya pasar-pasar bergaya kapitalis yang secara resmi masih diremehkan. Namun, banyak pengamat curiga pasar itu justru menjadi faktor utama ekonomi negara memang berkembang.
Ri optimistis pada situasi Semenanjung Korea saat ini dan pada hasil pertemuan Pemimpin Korut Kim Jong Un dengan Presiden China Xi Jinping serta Kim dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. “Banyak perubahan yang terjadi di sekitar Korut,” ujarnya.
Jika sanksi dicabut, lanjut Ri, dan iklim politik diperbaiki, Korut bisa menyamai bahkan menandingi Swiss dan Singapura yang tidak memiliki banyak sumber daya dan memiliki wilayah kecil tetapi berhasil mengembangkan perekonomian. Negara-negara itu memanfaatkan lokasi geografis mereka dengan sebaik-baiknya.
“Kami berada di tengah Asia Timur sehingga Semenanjung Korea mempunyai posisi geografis yang sangat menguntungkan. Ke depan, kita akan berusaha bekerja sama dengan negara-negara tetangga untuk mengembangkan industri transportasi. Kalau kami memakai jalur kereta kami dari Selatan menuju Siberia, banyak negara akan memilih jalur kereta itu daripada kapal laut,” ujarnya.
Ide ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu bahkan barangkali 10 tahun lalu. Korut sudah memiliki jaringan kereta dengan Rusia, China, dan Korsel. Presiden Korsel Moon Jae-in sudah mendukung rencana memulai operasional kereta lintas perbatasan sesegera mungkin. Sebelumnya, rencana membuat pusat transportasi itu beberapa kali gagal karena ada friksi politik atau minimnya investasi.
Namun, sebelum rencana ini bisa terwujud, Amerika Serikat harus mengurangi tekanan dengan meringankan sanksi pada Korut. Meski Trump memuji inisiatif diplomatik Kim Jong Un, Trump tetap menilai sanksi yang berat harus tetap diberikan pada Korut sampai Korut betul-betul melucuti rudal dan nuklirnya.
Dengan bergabung ke institusi finansial dunia, akan terbuka pintu bagi Korut untuk mendapatkan bantuan dana bagi pembangunan perekonomian serta transfer ilmu dan teknologi. Moon mengindikasikan Kim tertarik untuk bergabung dengan Bank Dunia atau IMF. Namun, untuk bisa mewujudkan hal itu, Korut harus melakukan reformasi struktural dan transparan. Kedua hal ini yang akan sulit dipenuhi Korut. (AP)