JAKARTA, KOMPAS – Selama tiga bulan ke depan, kebijakan pengendalian impor perintah akan diuji. Kebijakan itu diharapkan dapat mengurangi defisit neraca perdagangan di tengah-tengah kenaikan kebutuhan Natal dan Tahun Baru.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia Januari-September 2018 defisit 3,78 miliar dollar AS. Pada periode itu, neraca perdagangan bulanan yang surplus hanya terjadi pada Maret, Juni, dan September. Adapun pada bulan-bulan lainnya defisit.
Melihat pola tahunan neraca perdagangan, lonjakan impor terjadi setiap menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Lonjakan itu terjadi pada impor bahan baku atau penolong, konsumsi, serta minyak dan gas bumi (migas).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal kepada Kompas, Senin (29/10/2018), mengatakan, ekspor sebenarnya masih terus tumbuh. Namun, pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan pertumbuhan impor.
Kalau kebijakan pemerintah seperti menaikkan pajak penghasilan impor barang konsumsi dan mandatori B20 yang dijalankan mulai September lalu berjalan efektif, laju impor tiga bulan ke depan dapat ditahan. Kendati bisa ditahan, tetapi diperkirakan tidak akan sampai membuat neraca perdagangan surplus pada akhir tahun.
“Dengan asumsi kebijakan-kebijakan menekan impor berjalan efektif, maka defisit neraca perdagangan berpotensi turun sampai 3 miliar dollar AS di akhir tahun. Tetapi kalau tidak efektif, defisitnya bisa membengkak lebih dari 4 miliar dollar AS,” ujarnya.
Menurut Faisal, komoditas impor yang masih tumbuh tinggi adalah migas. Untuk impor nonmigas, impor besi dan baja diperkirakan masih tinggi karena terkait proyek infrastruktur. Di samping itu, barang-barang intermediate seperti komponen barang elektronika, telepon pintar, dan komponen produk otomotif juga masih tinggi impornya.
“Impor barang konsumsi kemungkinan tumbuh melambat akibat kebijakan PPh impor barang konsumsi, terutama pada Oktober 2018. Namun, menjelang akhir tahun permintaan barang konsumsi impor juga meningkat, sehingga diperkirakan perlambatan impor barang konsumsi tidak terlalu besar,” kata dia.
Adapun untuk eskpor, lanjut Faisal, hasil tambang masih menjadi komoditas dengan pertumbuhan paling pesat, kendati pertumbuhannya dalam 3 bulan terakhir ini akan lebih lambat dibandingkan dengan triwulan-triwulan sebelumnya. Selain itu beberapa produk manufaktur juga masih tumbuh positif seperti semen, alas kaki, dan bahan kimia.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengemukakan, pengendalian impor akan terus dilakukan pemerintah hingga akhir tahun ini. Barang-barang impor yang masih bisa ditunda, bisa dijadwalkan kembali waktu impornya.
Di sisi lain, pemerintah akan berupaya meningkatkan ekspor hingga akhir tahun. Berbagai upaya telah dilakukan seperti meningkatkan ekspor tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, furnitur, perikanan, dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
“Kami juga terus berupaya mengatasi kenaikan bea masuk CPO dan produk turunannya ke India. Dalam pertemuan terakhir, India akan menurunkan bea masuk itu jika Indonesia menambah impor dari India. Hal itu akan kami bahas,” kata dia.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), volume ekspor CPO dan produk turunan selama Januari-Agustus 2018 meningkat lambat. Pada Januari 2018, volume ekspornya sebanyak 2,83 juta ton sedangkan pada Agustus 2018 sebanyak 3,29 juta ton.
Dalam periode sama, serapan domestik CPO dan produk turunan juga meningkat lambat. Pada Januari 2018, serapan domestik itu sebanyak 974.000 ton dan pada Agustus 2018 sebanyak 1,07 juta ton.