Setia Menanti Kabar Terakhir
Kabar jatuhnya Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610, menyentak keluarga korban. Mereka setia menanti kabar dari proses penyelamatan, demi memastikan nasib orang yang dicintai.
Kabar jatuhnya Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610, menyentak keluarga korban. Mereka setia menanti kabar dari proses penyelamatan, demi memastikan nasib orang yang dicintai.
Putri Pratiwi (30) lemas duduk di bawah tenda yang didirikan sebagai posko pendataan keluarga korban di kawasan Bandara Depati Amir, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (29/10/2018). Air matanya terus mengalir melihat foto di ponsel.
Foto itu adalah kenangan terakhir yang dikirimkan suaminya, Wahyu Aldilla (32) bersama anak sulungnya Zerdan (4). Foto itu melukiskan bapak-anak ini saat menonton pertandingan sepakbola Piala AFC U-19 antara Indonesia menghadapi Jepang di Gelora Bung Karno Jakarta, Minggu (28/10/2018).
Putri tak banyak bicara. Bahkan, sesendok nasi yang disodorkan anggota keluarganya tidak dihiraukan. “Ayo makan, ini untuk anak di kandunganmu juga,” ujar Fatma, ibunya.
Putri sedang mengandung anak ketiga. Usia kandungannya baru lima bulan. Mendengar perkataan ibunya, pegawai Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Kepulauan Bangka Belitung (Babel) itu mau menyuapkan nasi ke mulutnya.
Selepas makan, ia menuju posko disaster victim investigation (DVI) Pangkalpinang untuk pendataan ante mortem. Sebuah map merah berisi fotokopi kartu keluarga ia bawa. Dokter polisi menanyakan ciri-ciri suami dan anak sulungnya. Putri menjawab seadanya. Kadang ia tak kuasa menahan air matanya.
Putri tidak menyangka, kedua orang yang disayanginya itu berada di Lion Air JT 610. Pesawat yang sedianya membawa mereka dari Jakarta ke Pangkapinang, jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, Senin pagi.
Fatma mengatakan, Putri sempat melakukan video call dengan suaminya dan Zardan. Saat itu, sang anak menangis tersedu-sedu minta pulang. “Mungkin Zardan kangen ibunya.”
Komunikasi terakhir terjadi ketika keduanya akan memasuki pesawat, Senin pagi. Ternyata, bapak-anak itu tidak sampai ke Pangkalpinang.
Di sudut lain, Mala Koma Sari (51) termenung di posko pendataan keluarga di Bandara Depati Amir. Anak keduanya, Emma Ratna Putri, juga masuk daftar penumpang pesawat JT 610.
Penantian panjangnya untuk bertemu Emma pupus sudah. Emma tengah menempuh studi di Universitas Islam Internasional Indonesia, Depok. Setelah lulus dan tinggal menunggu wisuda, Emma berencana ikuti tes PNS di Kejaksaan Tinggi di Pangkal Pinang. Senin itu seharusnya jadwal Emma mengikuti ujian.
“Rencananya ingin bertemu, namun Tuhan berkata lain,” katanya.
Sebelum kejadian, Mala berkomunikasi dengan Emma. Mala tidak cemas karena Emma sering bepergian naik pesawat termasuk saat berlibur ke Perancis.
Pukul 07.20 kemarin seharusnya menjadi saat paling membahagiakan karena pesawat yang ditumpangi Emma tiba di Pangkalpinang. Namun, Mala justru sangat terkejut mengetahui pesawat yang jatuh adalah pesawat yang ditumpangi putrinya.
Hal yang dirasakan Putri dan Mala ini dirasakan pula ratusan orang keluarga penumpang JT 610 yang menunggu di Bandara Depati Amir. Beberapa di antaranya sampai pingsan dan harus dibawa ke ruang kesehatan.
Cincin emas di jari manis
Cincin emas di jari manis Lutfiyani Eka Putri (23) masih tampak berkilau meskipun tangannya berulang kali dipakai mengusap air mata yang berlinang dari kedua matanya. Maklum saja, cincin pernikahan itu baru dua minggu dipakainya usai menjadi istri Deryl Fida Febrianto (22).
“Saya baru menikah dengan Mas Deryl dua minggu lalu, tetapi baru dua hari menikah sudah berangkat ke Jakarta. Bulan madu saja pun belum sempat,” kata Lutfiyana, Senin di Surabaya, Jawa Timur.
Lutfiyana mengungkapkan, Deryl bertolak ke Pangkalpinang untuk menjalani pekerjaannya sebagai juru mudi di sebuah kapal kargo. Setelah beberapa bulan melamar pekerjaan dan dua kali gagal dalam seleksi anggota TNI, suaminya akhirnya mendapatkan pekerjaan di kapal kargo. Senin itu, Deryl hendak memulai pekerjaan pertamanya usai menikah.
Kepergian awak pesawat
Kesedihan juga berkecamuk di hati Yulmahdi (51), warga Cisoka, Kabupaten Tangerang. Pesawat yang sama itu membawa anak satu-satunya, Mery Yulinda.
Mery adalah salah satu dari 5 pramugari pesawat JT 610. Bersama empat kawan pramugari yakni Shintia Melina, Citra Novita Anggelia, Alfiani Hidayatul Solikah, dan Fita Damayanti, mereka bertugas di pesawat yang diterbangkan pilot Bhavye Suneja dan copilot Harvino.
"Kepala saya pusing. Mau pecah. Enggak tahu mau bikin apa. Saya enggak tahu bagaimana kebeberadaan anak saya," kata Yulmahdi sembari berjalan.
Tidak ada air mata dari dua kelopak mata Yulmahdi. Terlihat matanya saja yang memerah. Akan tetapi, dari raut wajahnya memancarkan kesedihan dan kepedihan mendalam saat keluar dari Pusat Krisis di Terminal 1 B Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selanjutnya, ia dikawal sejumlah keluarga berjalan menuju arah Terminal 1 B Keberangkatan. Tak balik lagi ke Pusat Krisis.
"Saya bingung mau kemana lagi," ujar Yulmahdi.
Di dalam gedung pusat krisis itu, ia dan keluarga hanya melakukan registrasi. Mereka belum mendapat satupun informasi keberadaan pesawat dan putri semata wayangnya.
Sebulan terakhir, Mery yang sudah hampir lima tahun menjadi pramugari di maskapai itu memberi hadiah berupa sebuah rumah buat ayah dan ibunya di Cisoka. Dulunya, mereka tinggal di wilayah Cengkareng.
"Beberapa bulan terakhir anak saya itu jarang pulang ke rumah karena terbang terus ke luar daerah. Makanya kami dibeliin rumah di Cisoka. Baru bulan lalu kami pindah ke rumah baru," kata Yulmahdi.
Minggu lalu, Mery baru saja pulang ke rumah baru. Senin, ia sudah bertugas lagi. "Cuma sebentar kami ketemu," cerita Yulmahdi.
Kabar jatuhnya pesawat B737-8 Max milik Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 ini juga membuat Novi Cahyadi (44) meninggalkan kantornya di Jakarta. Co-pilot pesawat ini, Harvino, adalah adiknya. “Saya berharap adik saya masih dapat ditemukan selamat,” tutur Novi yang menerima kabar itu sekitar pukul 09.00 kemarin.
Hal serupa juga disampaikan adik korban, Vinni Wulandari (36). Sejauh ini, ia baru mendapatkan kabar dari Basarnas bahwa pencarian korban masih berlanjut. Sambil terus berharap, ia juga terus menanti kabar dari otoritas bandara melalui kerabatnya.
Sementara, di bangku penumpang, duduk 181 orang dengan beragam profesi seperti hakim, polisi, petugas pajak, dan aparatur sipil negara.
Menanti kepastian
Pencarian sepanjang 24 jam sehari oleh tim penyelamat juga menyematkan harapan pada Endo Prabowo (59). Ia terus menunggu kalau-kalau ada kabar tentang putrinya, Christi Prabowo (30). "Tadi saya masuk ke dalam ruang crisis center. Hanya registrasi saja. Sekarang tinggal menunggu kabar bagaimana keberadaan puteri saya."
Christi, anak bungsunya, bertugas di Airnav Bandara Pangkalpinang. "Dia ke Jakarta karena ada rapat dua hari dan pulang tadi pagi mau balik lagi ke Pangkal Pinang," kata Endo.
Ketidakpastian itu membuat sebagian keluarga memilih berada di posko ketimbang menginap di hotel yang disediakan Lion Air.
(PIN/RAM/SYA/E19/E21)