JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berencana merevisi secara terbatas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Dengan revisi tersebut, pembahasan rancangan undang-undang yang belum tuntas tidak lantas berhenti ketika DPR dan pemerintah berganti, tetapi dapat dilanjutkan ke periode berikutnya.
Revisi UU No 12/2011 itu sudah masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2019 yang disepakati antara Badan Legislasi DPR dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/10/2018). Ada 55 RUU dalam Prolegnas 2019. Sebanyak 43 RUU adalah kelanjutan Prolegnas 2018 yang belum rampung, 4 RUU usulan Pemerintah, 7 RUU usulan DPR, dan 1 RUU usulan DPD.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, selama ini RUU yang belum tuntas dibahas berhenti begitu lima tahun periode masa jabatan DPR dan pemerintahan berakhir. Ketika RUU yang sama diusulkan untuk dibahas di periode berikutnya, pembahasan harus dimulai lagi dari nol dengan naskah akademik dan draf RUU yang baru.
Pasal 20 Ayat (3) UU No 12/2011 menyebutkan, jangka waktu Prolegnas adalah lima tahun masa keanggotaan DPR. Pasal itu berbunyi, penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu lima tahun.
”Bayangkan, biaya rapat konsinyering, studi banding ke negara lain, rapat-rapat, itu semua anggarannya besar. Jika pembahasan RUU berhenti begitu periode berganti, dimulai lagi dari nol, bayangkan berapa anggaran yang terbuang sia-sia,” katanya.
Dalam rapat penetapan Prolegnas 2019, kemarin, tidak ada yang menolak usulan revisi undang-undang tersebut. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah setuju dengan usulan menerapkan sistem carry over agar pembahasan RUU lebih efektif dan tidak mubazir.
Saat ini DPR tengah membahas sejumlah RUU yang pembahasannya berulang kali molor dari target dan sudah mencapai lebih dari lima kali masa sidang. Beberapa di antaranya, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU tentang Minuman Beralkohol, dan RUU tentang Aparatur Sipil Negara.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Miko Ginting, mengatakan, jika DPR dan pemerintah ingin menerapkan sistem carry over dalam pembahasan RUU, mekanismenya perlu diperjelas agar pengelolaan Prolegnas tetap efektif. Tanpa mekanisme yang jelas, kinerja legislasi bisa berujung lebih tidak produktif.