Pelaksanaan integrasi antarmoda sebaiknya memperhatikan akses perpindahan penumpang. Fasilitas seperti trotoar atau jembatan penyeberangan memiliki peran penting untuk menjaga keamanan pengguna.
Hingga kini, integrasi menjadi kata kunci yang masih butuh dibuktikan realisasinya oleh para pemangku kebijakan pengelola transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya.
Pengamatan pada Selasa (23/10/2018) siang, integrasi antarmoda angkutan umum ada di Stasiun Klender. Akses jalan dari Halte Stasiun Klender ke Stasiun Klender dan sebaliknya di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur belum terhubung dengan baik. Trotoar tidak memungkinkan untuk digunakan pejalan kaki karena terhalang sejumlah pilar penopang jembatan penyeberangan orang (JPO).
Trotoar menuju ke stasiun juga kemudian menyempit hingga tidak menyisakan jalan yang layak untuk pejalan kaki. Hanya ada pembatas jalan yang dipasang untuk memisahkan pohon-pohon dengan jalanan. Pejalan kaki harus turun ke badan jalan yang dilewati oleh kendaraan bermotor agar tidak terhalang pohon di tengah trotoar.
Menurut salah satu warga, Nonna, kesulitan akses dari halte ke stasiun dan sebaliknya amat merepotkan dirinya. Sebelum stasiun direnovasi, ia biasa menyambung perjalanannya dengan kereta rel listrik (KRL). Menurut Nonna, akses pejalan kaki dari dan ke stasiun atau halte amat buruk.
"Trotoar tidak mungkin lebarnya hanya segitu. Orang yang menggunakan kan juga cukup banyak. Saya sering sekali lewat badan jalan karena itu (trotoar) sangat sempit," ujarnya.
Nonna juga mengatakan sebaiknya renovasi stasiun juga dibarengi dengan perbaikan fasilitas pendukung di sekitar stasiun seperti akses pejalan kaki yang layak. Wanita 29 tahun itu juga menyarankan pihak pengelola untuk menyediakan ruang henti khusus pengemudi ojek daring karena mereka kerap menggunakan badan jalan untuk menunggu.
Hal sama juga dikeluhkan Rizki. Pria berusia 37 tahun ini mengaku pernah terserempet motor saat hendak menuju Stasiun Klender dari halte Transjakarta. Hal tersebut terjadi saat Rizki harus berjalan melalui badan jalan yang saat itu tengah dipenuhi kendaraan. Pria yang bekerja sebagai karyawan swasta itu menginginkan adanya akses yang aman dan jelas bagi pengguna kereta maupun bus Transjakarta.
"Saya yakin bukan cuma saya yang pernah mengalami kejadian seperti itu. Paling tidak JPO nya dihubungkan sampai ke pintu masuk stasiun yang baru. Begitu kan orang pasti aman," Rizki mengungkapkan.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengakui kurangnya akses integrasi antarmoda yang memenuhi standar keamanan. Masalah yang dihadapi adalah kurangnya lahan yang tersedia karena perencanaan kurang matang saat pembangunan sarana transportasi.
Saat ini, pihaknya tengah mengkaji bentuk penggabungan yang tepat untuk masing-masing stasiun maupun halte. Rekayasa penataan juga telah dilakukan berulang-ulang untuk memastikan penyatuan tidak merugikan salah satu pihak. "Kami mencoba mengoptimalkan tempat yang telah tersedia secara maksimal," katanya.
Bambang menambahkan, pengerjaan integrasi antar moda transportasi masih dikerjakan secara mandiri oleh masing-masing instansi seperti PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) selaku pengelola KRL dan PT Transportasi Jakarta (Transjakarta). Contohnya adalah pembangunan akses pejalan kaki di Stasiun Tebet oleh PT KCI.