Tes genetika menjadi kunci untuk identifikasi korban jatuhnya pesawat Lion Air. Hal ini dilakukan dengan mencari kecocokan pola genetika keluarga dengan tubuh yang ditemukan di lokasi kejadian.
Oleh
·4 menit baca
Tes genetika menjadi kunci untuk identifikasi korban jatuhnya pesawat Lion Air. Hal ini dilakukan dengan mencari kecocokan pola genetika keluarga dengan tubuh yang ditemukan di lokasi kejadian.
Sampai Selasa (27/10/2018), Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, telah menerima 37 kantong jenazah korban jatuhnya pesawat Lion Air di perairan Karawang, Jawa Barat. Akibat kesulitan mengenali anggota tubuh yang tidak utuh serta sudah rusak, dokter forensik mengutamakan tes genetika.
“Kondisi tubuh korban tidak utuh,” ujar Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto, Selasa, di RS Polri.
Sebelum melakukan tes genetika (deoxyribonucleic acid), tim forensik RS memeriksa fiisik tubuh jasad. Tetapi, tubuh yang rusak akibat lama berada di air laut, membuat proses ini semakin sulit dilakukan.
"Sebelumnya, kami lakukan rekonsiliasi karena ada beberapa bagian tubuh masih memiliki tanda medis, yaitu ada tato sesuai data dari antemortem (data sebelum meninggal). Tetapi, kami pending karena ada keluarga korban yang tidak setuju dengan tanda tato itu, jadi kami tetap tunggu proses pengecekan DNA," kata Kepala RS Polri Kramat Jati Komisaris Besar Musyafak.
Dalam proses forensik, menurut Musyafak, pengecekan fisik dapat dilakukan dengan melihat bentuk fisik, misalnya tahi lalat yang khas, bekas operasi, atau cincin. Minimal ada dua tanda untuk memastikan.
Jika dua tanda fisik tidak ditemukan, maka dilakukan pemeriksaan sidik jari. Bila tidak bisa lagi, akan dilakukan pemeriksaan gigi. Bila itu juga belum bisa mengenali jenazah, selanjutnya dilakukan tes DNA. Proses ini mulai dilakukan pihak RS karena tidak bisa menemukan petunjuk jelas dari pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya.
RS Polri Kramat Jati telah mengambil 147 sampel DNA dari 185 data antemortem. Total 189 orang di pesawat yang jatuh.
Sementara, sampel dari tubuh jenazah dibawa ke Laboratorium Forensik Polri, Cipinang, Jakarta Timur, untuk diperiksa. Dari satu kantong jenazah, bisa diambil hingga lima sampel.
Proses pengecekan DNA paling cepat 4-8 hari. Karenanya, sampai kemarin belum ada korban yang bisa diidentifikasi. Adapun total 189 orang di pesawat yang jatuh itu
Orang tua atau anak korban diimbau datang ke RS Polri untuk memberikan sampel DNA.
Tes genetika
Ahli genetik yang juga Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Herawati Sudoyo Supolo, mengatakan, DNA merupakan materi genetik yang ada di setiap jaringan tubuh individu.
Karena sifatnya diwarisi dari orang tua, setiap orang memiliki DNA yang unik. Setiap anak akan menerima setengah pasang kromosom dari ayah dan setengah pasang kromosom lainnya dari ibu, sehingga setiap individu membawa sifat yang diturunkan baik dari ibu maupun ayah. Dengan karakteristik ini, DNA bisa menjadi bukti kuat untuk mengidentifikasi seseorang sekalipun hanya dari sebagian jaringan yang ditemukan.
"Materi DNA dari tubuh korban bisa didapat dari bagian mana saja, terutama untuk kasus kecelakaan seperti ini idealnya dari gigi atau tulang yang relatif masih bisa bertahan dibandingkan jaringan tubuh," katanya di Jakarta, kemarin.
Dalam kasus kecelakaan seperti ini, bukti DNA menjadi penting dalam ranah hukum, misalnya untuk asuransi bagi keluarga korban.
Untuk identifikasi ini, pertama-tama dibutuhkan data antemortem atau DNA dari keluarga korban. Diutamakan ayah dan ibu, jika korbannya belum punya anak. Jika sudah berkeluarga, dibutuhkan DNA istri atau anak. Selain itu, juga bisa dari adik atau kakak korban.
DNA keluarga ini dicocokkan dengan jaringan tubuh korban yang telah diisolasi genetiknya.
"Analisis genotipe ini bisa sehari selesai. Namun yang jadi kendala dan butuh waktu lama dan biaya mahal jika jaringan tubuh yang ditemukan sangat banyak dan harus dikelompokkan satu per satu untuk diserahkan kepada keluarga korban, kecuali yang dibutuhkan cukup untuk memastikan status korban telah meninggal," ujarnya.
Menurut Herawati, laboratorium DNA Forensik milik Polri yang dibangun di Cipinang telah memiliki kapasitas untuk melakukan pemeriksaan ini. "Di awal pembentukannya setelah bom Bali 2004, Eijkman turut membantu pengembangan kapasitas di sana. Namun sekarang sudah bisa sendiri. Dalam kasus-kasus tertentu, Eijkman siap membantu," kata dia.
Herawati menambahkan, ada beberapa kasus analisis DNA sulit dilakukan, yaitu jika jaringan tubuh sangat rusak, misalnya karena bom atau ledakan. "Namun, teknologi analisis DNA ini juga sudah berkembang menjadi lebih sensitif untuk membaca jaringan yang sudah rusak sekalipun. Laboratorium kami menggunakan PowerPlex Fusion 23 loki yang cukup sensitif. Jadi, makin banyak lokus, makin sensitif dalam membandingkan satu individu dengan lainnya," kata dia.
Kalau di air laut, DNA di dalam tulang juga bisa rusak. Degradasi sudah dimulai sejak 24 jam. Setelah 72 jam, degradasi hampir maksimal sehingga identifikasi DNA terhadap jasad korban yang terendam di air laut akan lebih sulit. Dibutuhkan DNA yang jumlahnya lebih banyak dan teknologi yang lebih sensitif. (AIK/AYU/E12)