Mengenang Pendaratan Garuda GA 421 di Bengawan Solo
Insiden penerbangan tidak terjadi sekali, dua kali di negeri ini. Enam belas tahun lalu, juga pernah terjadi insiden penerbangan yang melibatkan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 421. Ketika itu, wartawan Kompas Stefanus Osa terjun untuk meliput insiden tersebut. Kisahnya dapat diikuti berikut ini. (red).
Sully, sebuah film aksi Hollywood, baru saja tuntas saya tonton pada akhir pekan lalu. Film yang mulai tayang tahun 2016 itu mengisahkan pengalaman pilot US Airways Flight 1549 bernama Chesley Sullenberger yang terpaksa mendaratkan Airbus A320-nya di Sungai Hudson, Amerika.
Airbus tersebut mendarat darurat akibat matinya kedua mesin yang diduga disebabkan tabrakan antara pesawat dengan sekawanan angsa. Pendaratan US Airways Flight 1549 itu kemudian ditulis dalam buku otobiografi “Highest Duty” karya pilot Chesley "Sully" Sullenberger dan Jeffrey Zaslow. Sebelum akhirnya, pengalaman tersebut difilmkan.
Terlepas dari perdebatan dengan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) Amerika, Sully sukses menyelamatkan ratusan nyawa. Kalkulasinya yang matang, dan keberaniannya untuk memutuskan telah mengurangi potensi dari kehilangan yang lebih besar.
Setelah menonton Sully, saya terdiam sejenak. Saya seolah tersedot melalui mesin waktu ke sebuah peristiwa yang terjadi 16 tahun silam.
Rabu, 16 Januari 2002.
Solo baru saja diguyur hujan deras disertai angin kencang. Saya beruntung sore itu sudah tiba di kantor meski masih di belakang meja untuk mengetik berita. Namun setidaknya, saya bersyukur tidak sedang berada di lapangan dalam cuaca yang tidak baik itu.
Menjelang pukul 17.00, sambil mengetik berita, saya mendengarkan handy talky. Di tahun 2002 itu, internet belum merajalela, aplikasi percakapan juga belum ada. HT masih jadi pegangan bagi setiap wartawan Kompas termasuk saya. Komunikasi antara wartawan di lapangan dengan kantor biro di Semarang juga lebih banyak memakai HT.
Di sela suara-suara sejumlah wartawan Kompas Jateng-Yogyakarta yang secara bergiliran mendaftarkan judul-judul berita, tiba-tiba Kepala Biro Kompas Jawa Tengah Hariadi Saptono menyampaikan kabar “pendaratan” pesawat Garuda Indonesia rute Ampenan (Mataram)-Yogyakarta-Jakarta di Bengawan Solo.
Kabar dari Semarang
Saya tersentak. Bengawan Solo, tepatnya yang melintas di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, merupakan wilayah kerja saya di Karesidenan Solo. Bila ada jarum jatuh di sudut Karesidenan Solo pun ibaratnya harus saya ketahui.
Jujur saja, saya sempat heran mengapa Semarang lebih dulu mengetahui berita itu? Bukan merasa kecolongan tapi lebih merasa heran. Saya hanya menduga Kepala Biro Kompas Jawa Tengah mendapatkan informasi langsung dari kepolisian. Apakah waktu itu HT Kantor Kompas mampu mendengarkan lalu lintas percakapan polisi yang waktu itu juga masih banyak mengandalkan HT? Entahlah.
Apapun, saya mendengar kabar itu nyaris 30 menit setelah pendaratan darurat pesawat Garuda pada sekitar pukul 16.25. Dan, kira-kira 15 menit kemudian, Redaktur Pelaksana Kompas Trias Kuncahyono mengontak saya langsung dari Jakarta. Dia tidak lagi sekedar menginformasikan kejadian itu tetapi juga menginstruksikan apa yang harus saya lakukan.
Peristiwa itu terjadi ketika saya baru 11 bulan diangkat menjadi wartawan tetap di Kompas. Pendaratan darurat pesawat Garuda di Sungai Bengawan Solo tentu peristiwa besar, peristiwa yang tidak mungkin terjadi tiap hari.
Ketika saya menerima telepon dari Redpel, rekan kerja saya di Kantor Kompas Solo, wartawan senior Kompas Ardus M Sawega (ASA) tiba di ruang kantor. Ketika informasi itu saya sampaikan kepada dirinya, wajah Mas ASA—begitu kami terbiasa menyapa dia dengan inisial namanya, tampak begitu tenang. Wajah Mas ASA yang tenang itu sangat berkesan buat saya selama beberapa waktu.
Meluncur ke Bengawan Solo
Kami pun segera bergegas menyiapkan peralatan jurnalistik. Mulai dari alat tulis hingga block note khas Kompas yang dahulu masih terbuat dari kertas buram atau daur ulang mirip kertas roti. Kertasnya tidak putih, melainkan agak kecoklatan dan mudah lepas-lepas. Tidak ketinggalan, saya memasukkan kamera pocket ke dalam tas. Sementara itu, Mas ASA menyiapkan seperangkat kamera yang besar. Waktu itu, kamera digital belum lazim digunakan. Kamera Mas ASA pun masih kamera analog dengan film roll.
Khawatir hari semakin gelap, kami segera meluncur dengan mobil pribadi Mas ASA. Di dalam mobil, kami berbagi tugas dan menyiapkan skenario liputan. Mas ASA juga memberi arahan terkait unsur-unsur yang harus ada di dalam berita selama perjalanan menuju lokasi.
Hanya dalam setengah jam, kami sudah tiba di sekitar lokasi kejadian di Desa Serenan, Kabupaten Klaten, sekitar 20 km arah selatan Kota Solo. Meski kami sempat berputar-putar mencari Desa Serenan. Lima belas tahun lalu, jalanan di Solo belum seramai sekarang. Kami pun masih bisa ngebut dengan Daihatsu Taruna milik Mas ASA.
Menjelang lokasi kejadian, Mas ASA kemudian memarkir mobilnya di tepi jalan. Mobil memang tidak dapat parkir tepat di tepi sungai. Saat itu, beberapa mobil sudah parkir di tepi jalan desa meski kami tidak tahu itu milik siapa. Namun, mobil ambulance sama sekali belum terlihat.
Wartawan juga belum banyak hadir. Kami hanya kalah cepat dengan wartawan Solo Pos yang ada di tiap kabupaten.
Ketika kami tiba, hujan rintik-rintik mulai turun meski kami tidak memedulikannya. Sambil menenteng tas kamera, mas ASA mulai berlari menyusuri jalan desa. Saya juga ikut berlari, dan terus berlari. Napas pun tersengal-sengal.
Tiba-tiba, lensa kamera Mas ASA terjatuh dan menggelinding di jalan. Saya melihat hal itu, segera memungut dan berlari menyusul mas ASA untuk memberikan lensa itu.
Makin dekat dengan sungai, kerumunan warga sekitar makin banyak. Ada warga yang sekadar ingin melihat maupun ada pula yang tergerak menyelamatkan para korban. Kami mulai bertemu polisi meski jumlahnya belum banyak.
Proses Evakuasi
Ketika kami tiba di tepi Bengawan Solo, badan pesawat sudah teronggok di sungai itu. Kabar itu tepat sekali, pesawat Garuda Indonesia ternyata berhasil mendarat darurat di Bengawan Solo.
Saya amati posisi pesawat tidak lurus dengan arah aliran sungai. Bahkan, kokpit pesawatnya justru mengarah ke daratan perkampungan sehingga mempercepat proses evakuasi.
Meski Bengawan Solo di lokasi kejadian tidak terlalu dalam tapi arus sungai cukup deras. Badan pesawat sempat terlihat sedikit bergerak-gerak tetapi tidak mengubah posisinya. Badan pesawat juga masih utuh, hanya saja salah satu sayap pesawat yang sedikit rusak.
Saya melihat pintu darurat pesawat sudah terbuka dengan semacam bantalan peluncuran. Para penumpang pun terlihat berusaha keluar dari kabin pesawat. Beberapa orang polisi dan warga juga telah terjun ke Bengawan Solo untuk membantu evakuasi.
Adzan Magrib pun terdengar.
Saya dan Mas ASA seolah tersadarkan bahwa kami harus mengumpulkan fakta-fakta. Kemudian, saya mendatangi penduduk sekitar yang rumahnya sangat dekat dengan lokasi “jatuhnya” pesawat itu.
Saya mewawancara beberapa warga untuk mendapatkan gambaran tentang fakta-fakta yang dilihat, didengar maupun dirasakan tentang pendaratan darurat pesawat Garuda itu. Ada warga yang mengatakan, pesawat tiba-tiba terlihat terbang rendah dan suaranya semakin terdengar kencang.
Seorang bapak lainnya mengisahkan tentang hujan yang deras sekali. Tahu-tahu terdengar suara keras mirip bom yang jatuh dari langit. Sang bapak mengira ada gempa ternyata ada pesawat yang mendarat di sungai.
"Saya lihat pesawat itu terbang rendah. Mula-mula datang dari arah timur lalu mendadak berbelok kembali ke timur, sebelum kemudian berputar lagi, dan akhirnya terjun ke sungai. Saya lihat mesin di sayap kiri tampak mengepulkan asap," tutur Mulyono (30), warga yang tengah memancing di dekat lokasi kecelakaan. Hasil wawancara dengan Mulyono itu kemudian dicetak di Harian Kompas keesokan harinya.
Mas ASA di saat bersamaan, mengejar waktu untuk memotret pesawat Garuda itu. Apalagi, ketika itu dia tidak membawa lampu flash sehingga dia mengejar momen sebelum kegelapan benar-benar menyelimuti Bengawan Solo. Waktu yang tersedia memang sangat terbatas oleh karena sudah melewati pukul 18.00, dan suasana mendung.
Mengganggu Evakuasi
Selama saya mengorek fakta dari warga, tiba-tiba saja perkampungan itu menjadi ramai. Lahan kosong perkebunan milik warga pun berubah menjadi tempat parkir sepeda motor. Kebanyakan warga ingin melihat kejadian tersebut.
Padahal, saya saja merasa khawatir berada terlalu dekat dengan badan pesawat. Bagaimana bila pesawat itu tiba-tiba meledak? Terus terang, saya sempat khawatir kalau Garuda itu meledak. Kerusakan terlihat ada di bagian sayap, padahal di situlah bahan bakar pesawat ditempatkan.
Mas ASA juga sempat mengingatkan agar tetap berhati-hati dalam meliput kecelakaan ini. “Jangan sampai kita mau memberitakan peristiwa, eh malah kita sendiri yang diberitakan,” begitu kira-kira kata Mas ASA.
Kehadiran warga di lokasi kejadian sesungguhnya juga mengganggu proses investigasi terhadap kecelakaan.
Di Harian Kompas, keesokan harinya, saya baca kalau Komandan Lanud Adisutjipto Kolonel Boy Syahrul Qamar menyesalkan antusiasme warga yang hanya menonton, yang memperlambat upaya evakuasi terutama barang- barang.
Di sisi lain, saya juga tahu betul ada warga yang bekerja keras untuk menolong para korban. Sebagian warga juga terlihat menjadikan rumahnya sebagai posko untuk evakuasi korban sebelum akhirnya para korban dibawa ke RS Dr Oen di Solo Baru.
Hingga Tengah Malam
Pada pukul 19.30, Mas ASA mengajak saya untuk segera bergegas meninggalkan lokasi. Saya kebetulan sudah pula selesai mencari-cari informasi dengan bertanya ke sejumlah warga maupun petugas kepolisian di lapangan.
Ajakan Mas ASA untuk segera kembali ke Solo cukup beralasan, karena tahun itu pemotretan masih menggunakan kamera analog. Film negatif dengan demikian harus segera dicuci di toko cetak foto sebelum di-scan dan dikirim via internet ke Jakarta. Proses yang memakan waktu tentu saja terkait pencucian film negatif.Kalau kami telat mengirimkan foto maka kantor pusat di Jakarta bisa menegur kami. Sekali lagi, tidak tiap hari ada pesawat terbang mendarat darurat di Bengawan Solo.
Dalam perjalanan, Mas ASA langsung menelepon toko cetak foto langganannya untuk bersiap menerima film negatif darinya dan memprioritaskan pengerjaannya. Kalau bisa bahkan didahulukan dari pelanggan lainnya.
Kami juga berbagi tugas. Mas ASA akan mencuci foto kemudian kembali ke kantor untuk mulai menyusun laporan sedangkan saya menuju RS Dokter Oen, Solo, untuk kembali meliput.
Dari 54 orang penumpang yang selamat, sebanyak 24 orang penumpang yang mengalami cedera memang dilarikan ke Rumah Sakit Dr Oen, Solo Baru. Kemudian, diketahui ada satu orang pramugari yang meninggal dunia yakni Santi Anggraeni (25). Dari rumah sakit itu, saya beberapa kali menelepon Mas ASA untuk melaporkan informasi-informasi terbaru yang dirangkumnya dalam sebuah berita.
Makin malam, rasa lelah dan pusing mulai menyerang saya. Mungkin akibat diguyur hujan gerimis saat meliput di tepi Bengawan Solo, atau mungkin karena saya belum sempat makan malam.
Apapun, saya bersikeras liputan di malam itu harus tuntas. Dari RS Dr Oen, saya masih menuju Hotel Cakra di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Para penumpang yang luka ringan diinapkan di hotel, dimana kantor Garuda Solo juga berada di sana.
"Saat itu, hujan turun begitu deras. Tiba-tiba kami merasakan pesawat anjlok lalu bergoyang-goyang. Setelah itu, anjlok lagi dan terus anjlok dan bergoyang-goyang. Penumpang pun panik dan berteriak-teriak," tutur Ny Sutji Suharyanti (56), Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusa Tenggara Barat (NTB), salah seorang penumpang pesawat dari Mataram.
Hasil wawancara dari Ny Sutji itu kemudian dimuat di Harian Kompas keesokan harinya.
Saya juga mendengar kabar bahwa pilot maupun awak pesawat yang selamat dibawa di hotel lain di Solo, saya pun meluncur ke hotel tersebut. Namun, hingga sekitar pukul 23.30, tak satu pun kepastian maupun informasi keberadaan awak pesawat itu sehingga baru tengah malam saya kembali ke Kantor Kompas Solo di Jalan Kalitan.
Pada Rabu malam itu, saya tidak berhasil menemui pilot Abdul Rozaq sehingga tidak mengetahui latar belakang pendaratan di Bengawan Solo. Dari artikel di Harian Kompas, 24 Januari 2002 di halaman1 dengan judul, “Saya Buat Sungai Seolah-olah Runwaynya”, saya baru tahu latar belakang pendaratan pesawat itu di Bengawan Solo.
Tulisan itu dibuat oleh Dudi Sudibyo, wartawan Kompas yang boleh dibilang sebagai spesialis liputan kedirgantaraan.
Ternyata, pendaratan darurat tersebut dipicu oleh kedua mesin pesawat yang mati, flame out. Karena mesin pesawat tidak dapat dihidupkan akhirnya pilot dan kopilot memutuskan untuk mendarat darurat di Bengawan Solo. Sungai itu pun kebetulan terlihat dari kokpit ketika Boeing 737-300 itu berhasil keluar dari badai.
Awalnya kopilot senior Heriyadi Gunawan menyarankan pendaratan di sawah, namun pilot Abdul Rozaq memilih pendaratan di sungai untuk meminimalkan dampaknya.
“Begitu lihat sungai itu, saya jadikan seolah-olah runway, landasan pacu. Pikiran saya melayang (seolah) ketika berada di flying school (Curug) dimana dulu ada latihan force landing seakan-akan mesinnya mati dan harus mencari lapangan untuk mendarat,” demikian dikatakan Abdul Rozaq.
“Miracle of Flight”
Lima belas tahun telah berlalu. Kisah sang pilot Abdul Rozaq, pilot Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 421 telah diangkat menjadi sebuah buku berjudul Miracle of Flight karya Ahmad Bahar. Buku ini diluncurkan oleh mantan Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar pada tahun 2009 atau tujuh tahun setelah pendaratan darurat itu terjadi.
Namun sayang sekali, saya belum menyaksikan film dari pendaratan darurat Garuda Indonesia di Bengawan Solo. Meski pendaratan Garuda Indonesia di Bengawan Solo tentu tidak kalah heroiknya dengan aksi Sully di Sungai Hudson, Amerika.
Semoga suatu hari nanti, saya dapat menyaksikan film tentang GA 421 Bengawan Solo. Semoga.