JAKARTA, KOMPAS — Program bahan bakar minyak satu harga yang dikhususkan di wilayah terdepan, tertinggal, dan terluar telah mencapai 112 lokasi di seluruh wilayah Indonesia. Program ini menjual premium dan solar bersubsidi sesuai harga ketetapan pemerintah, yakni masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter. Sampai 2019 nanti, target yang akan dituntaskan PT Pertamina (Persero) adalah sebanyak 150 lokasi.
Di sejumlah wilayah terpencil, seperti di Papua dan Maluku, harga BBM eceran per liternya bisa mencapai 10 kali lipat dari harga resmi yang ditetapkan pemerintah. Program BBM satu harga mencoba mengatasi masalah tersebut lewat pembangunan lembaga penyalur resmi yang dikerjakan Pertamina bersama swasta. Dengan demikian, masyarakat di wilayah terpencil dapat membeli BBM dengan harga yang wajar.
Menurut Koordinator Proyek BBM Satu Harga Pertamina, Zibali Hisbul Masih, sampai 29 Oktober 2018, realisasi program BBM satu harga tahun ini sebanyak 58 lokasi. Adapun target yang ditetapkan pada 2018 adalah sebanyak 67 lokasi. Secara akumulasi sejak 2017, program BBM satu harga sudah terealisasi di 112 lokasi di seluruh Indonesia.
"Sejak Januari 2017 sampai September 2018, volume BBM yang disalurkan pada program ini sebanyak 53 juta liter untuk premium dan 23 juta liter untuk solar bersubsidi. Jumlahnya kecil sekali atau sekitar 0,05 persen dari total penyaluran BBM Pertamina di seluruh Indonesia," kata Zibali, Selasa (30/10/2018), di Jakarta.
Zibali menambahkan, tantangan pada program BBM satu harga adalah medan yang berat untuk mendistribusikan BBM ke lokasi lembaga penyalur berada. Pengiriman BBM dilakukan lewat darat, laut, dan udara dengan menggunakan pesawat khusus (air tractor). Pemakaian air tractor ditujukan untuk memasok BBM di wilayah terpencil yang ada di Papua dan Kalimantan Utara.
"Lantaran menggunakan pesawat, ongkos angkutnya menjadi mahal, yaitu berkisar Rp 40.000 per liter sampai Rp 50.000 per liter. Pengangkutan menggunakan pesawat udara dilakukan karena BBM tidak memungkinkan dikirim menggunakan jalur darat maupun laut," ucap Zibali.
Data yang diperoleh Kompas, ongkos angkut lewat darat pada program BBM satu harga sekitar Rp 2.400 per liter, lewat laut Rp 3.200 per liter, dan lewat udara Rp 42.500 per liter. Secara keseluruhan, ongkos pengangkutan BBM dalam sebulan sekitar Rp 17,5 miliar. Adapun proporsi biaya angkut berdasarkan moda transportasi, pengangkutan lewat laut sebesar 52,4 persen, melalui udara 36,3 persen, dan melalui darat sebesar 11,3 persen.
Sebelumnya, pemerintah sempat berencana menaikkan harga premium menjadi Rp 7.000 per liter pada 10 Oktober lalu. Namun, rencana tersebut kemudian dibatalkan. Laba Pertamina diperkirakan merosot lantaran menjual premium dan solar bersubsidi di bawah harga keekonomian. Dengan harga minyak tembus di atas 70 dollar AS per barrel, selisih harga keekonomian premium dan solar bersubsidi sekitar Rp 2.500 per liter.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dengan kebijakan harga BBM, khususnya premium dan solar bersubsidi. Kendati alasan menjual premium dan solar bersubsidi di bawah harga keekonomian adalah untuk menjaga daya beli masyarakat, kebijakan tersebut bakal membebani fiskal negara maupun Pertamina.
"Dengan dua variabel utama, yaitu harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga jual premium dan solar bersubsidi semestinya perlu disesuaikan," ujar Komaidi.
Harga minyak dunia yang cenderung naik, sementara rupiah melemah terhadap dollar AS, memaksa Pertamina menaikkan harga pertamax naik dari Rp 9.500 per liter jadi Rp 10.400 per liter di Jawa dan Bali per 10 Oktober 2018.