Kesedihan dan isak tangis pasangan Bambang Supriyadi dan Surtiyem mengiringi kedatangan jenazah putri sulung mereka, Jannatun Cintya Dewi (21), di Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (1/11/2018) pagi. Meskipun diliputi duka mendalam, sang ayah dan ibunda mendapatkan kepastian takdir yang digariskan bagi putrinya.
Jannatun menjadi korban pertama pesawat PK-LQP Lion Air JT-610 yang dimakamkan setelah tim Identifikasi Korban Bencana (DVI) Polri berhasil mengidentifikasinya melalui analisis sidik jari. Sementara itu, ratusan keluarga masih harus terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Rabu (31/10/2018) siang, Hastuti (53) mengunjungi dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) 2, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejak tiba di Jakarta, Selasa pagi, hanya KTP dan kartu mahasiswa putrinya, Nurul Rezkianti (22), yang dilihatnya. Harap-harap cemas yang dirasakannya di Hotel Ibis Cawang dan Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur, membuatnya penat. ”Saya mau di sini dulu, siapa tahu bisa lihat sesuatu,” kata Hastuti.
Minggu (28/10/2018) malam sebelum Nurul menaiki pesawat PK-LQP Lion Air JT-610, Hastuti yang berdomisili di Kecamatan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah, sempat bertelepon dengan putrinya itu. ”Dia bilang, ’Bu, saya mau ke Bangka’. Saya tahu itu untuk pekerjaannya di organisasi Aiesec. Cita-citanya tinggi sekali, dia bermimpi membesarkan pariwisata Indonesia,” tutur Hastuti.
Hingga Rabu siang, 858 personel dari Badan SAR Nasional (Basarnas), TNI Angkatan Laut, Polisi Laut Udara Polda Metro Jaya, dan sejumlah instansi lain yang tergabung dalam tim pencarian telah mengumpulkan bagian tubuh jenazah yang terserak di permukaan laut. Total 24 kantong jenazah berisi bagian tubuh korban telah dibawa ke JICT 2 untuk diidentifikasi tim DVI Polri di RS Polri Kramatjati. Namun, belum ada DNA jenazah yang cocok dengan DNA Hastuti.
Meski demikian, Hastuti tetap mempertahankan harapannya. Baginya, masih belum tertutup kemungkinan putrinya ditemukan selamat dan dalam keadaan baik.
”Kami belajar dari gempa di Palu, 28 September. Alhamdulillah, rumah kami enggak roboh dan kami selamat di antara ribuan yang meninggal. Sekarang, 29 Oktober, anak saya kecelakaan pesawat. Selama belum ada keputusan terakhir, saya masih berharap ada pertolongan Yang Mahakuasa,” tutur Hastuti.
Ketidakpastian yang terus melingkupi posko krisis Lion Air juga mendorong beberapa anggota keluarga mendatangi JICT 2 menjelang sore hari. Epi Samsul Qomar, ayah korban bernama Muhammad Rafy Andrian (24), berinisiatif mengunjungi JICT 2, tempat barang-barang korban diletakkan.
Epi, bersama beberapa kerabat korban lainnya, bernegosiasi dengan tim Basarnas yang berjaga sebelum dibolehkan melihat sendiri barang-barang yang mungkin menjadi kepemilikan anaknya. Beberapa saat kemudian, Epi menangis tersedu-sedu sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia segera mengenali sepatu hitam merek Adidas milik Rafy yang sudah dalam keadaan rusak.
Setelah dihibur dan ditenangkan di tenda Basarnas, Epi diiringi keponakannya menuju mobil yang mengantarnya. ”Saya sudah ikhlas, tapi saya ingin lihat jasad anak saya. Saya yakin anak saya masih di pesawat,” ujarnya. Suaranya lirih dan datar, nyaris tanpa intonasi. Saat ini, yang diharapkan Epi hanya kejelasan keberadaan Rafy, secepat mungkin.
Rafy pergi ke Jakarta bersama sahabatnya, Rian Ariandhi (24), untuk menonton tim sepak bola nasional U-19 Indonesia melawan timnas U-19 Jepang. Mereka memilih penerbangan JT-610 yang paling pagi agar bisa tetap masuk kerja di pertambangan timah pada Senin, 29 Oktober.
Abdul Rahman (49), ayah Rian, juga mendapati sepatu anak keduanya. ”Waktu Lebaran Haji lalu, dia bawa sepatu itu pulang ke rumah. Ukurannya 42, merek Adidas,” ucap Abdul.
Sebelum berangkat ke Jakarta, Rian yang tinggal di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, menghubungi ibunya yang berada di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Namun, komunikasi dengan sang ayah cenderung terbatas.
Menurut Ahmad, kurangnya komunikasi antara dirinya dan putra keduanya itu merupakan hal yang biasa. Mungkin, karena sesama laki-laki, Rian lebih sering curhat kepada ibunya. Kabar tentang jatuhnya pesawat PK-LQP Lion Air JT-610 yang dinaiki Rian pun diketahui Ahmad dari tetangga dan kawan-kawan Rian.
Saat ini, sama seperti Epi, Ahmad telah siap menerima dan rela jika putranya memang harus pergi selamanya. ”Dalam keadaan apa pun, walau tidak utuh, kami sebagai orangtua ikhlas menerima. Semua sudah terjadi dan ditakdirkan. Semoga pemerintah dan Lion Air terus membantu supaya secepatnya ditemukan,” tuturnya sebelum kembali ke Hotel Ibis Cawang.
Sepanjang Rabu, pencarian berjalan di bawah pengawasan Kepala Basarnas Muhammad Syaugi dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Syaugi menegaskan, jumlah empat kapal dan 858 personel, termasuk tim penyelam, sudah sangat cukup untuk mengevakuasi korban. Pencarian pun terhambat arus bawah laut yang kuat sehingga peralatan seperti ROV (remotely operated underwater vehicle) ikut terombang-ambing.
Seiring dengan terdeteksinya sinyal ping kotak hitam pesawat di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, Syaugi dan Hadi yakin, badan pesawat akan segera ditemukan tidak jauh dari sana. Namun, Syaugi menegaskan, adanya korban selamat adalah seutuhnya kuasa Tuhan. ”Itu (korban selamat) adalah kuasa Tuhan. Bukan kewenangan kami memperkirakan,” ujarnya. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)